“Kamu takut aku kena HIV, begitu?”
Ervan memilih bungkam. Seharusnya dia memang tak perlu mendengar kata-kata Renal tentang membujuk Adhira. Walau Adhira selalu menanggapi kata-katanya dengan santai, pertanyaan ini jelas menyinggung dirinya.
“Kamu tidak perlu mengurusiku,” cetus Adhira.
Dengan pelan, Ervan pun bergumam, “Kamu bisa diobati bila memang terbukti benar.”
“Apanya? Kamu mau mengobatiku?”
“Aku hanya menyampaikan apa yang harus kusampaikan.”
Nyeri di kepalanya masih tersisa dan Ervan bukannya membawakan sesuatu yang enak, tapi malah membahas tentang hal tidak jelas itu. Ini membuat Adhira mulai terusik dengan campur tangannya.
“Sejak kapan kamu peduli padaku?”
Ervan hanya membungkam. Sorot matanya yang semula padam kembali tersulut, menjerat kemarahan dalam satu tatapan.
Melihat ini, Adhira malah menimpal, “Sudahlah, Daffin, bagusan ka
Dalam tiga hari kondisi Adhira tak kunjung membaik. Karena dia lelah dengan desakan Bunda Safira, Adhira pun memutuskan untuk mengikuti saran Ervan. Dia memberanikan diri mengunjungi klinik untuk memeriksakan dirinya.Tempat itu berada di persimpangan jalan. Bukan klinik yang terlalu besar, tapi mereka melayani pemeriksaan dan penanganan terhadap pasien dengan infeksi menular secara gratis. Sesuatu yang membuat Adhira tidak lagi bisa menolak saran Ervan.Adhira masuk ke pintu klinik memastikan tidak ada orang yang dia kenal berada di sekitarnya. Pengunjung tempat ini rata-rata pasangan muda yang hendak melakukan pemeriksaan pranikah.Jika memang yang dikatakan Ervan kalau penyakit ini bisa diobati, seharusnya memang tidak semengerikan bayangannya. Dia diminta untuk masuk ke ruangan khusus dan mengisi beberapa lembar formulir data diri. Lalu seorang laboran meminta izin untuk mengambil darahnya.Dia mengambil tempat duduk sampai hasil keluar beberapa jam k
Laila mengais-ngais tanah, mencari marmut kecilnya yang masih malu-malu bersembunyi di balik semak. “Lili! Ayo pulang, sudah sore!” Adhira memekik gadis kecil berusia 3 tahun tadi. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada macan tutul besar yang tengah memadu kasih dengan seorang pemuda berwajah es. Adhira segera menahan napasnya. Dia belum sepenuhnya kenal dengan macam tutul itu. Jadi sebisa mungkin tidak membuat suara yang terlalu mencolok. Saat menyadari Adhira ada di dekatnya, Ervan langsung mengarahkan hewan buas tadi padanya. “Ckckck… gara-gara hewan ini kamu sampai bertengkar dengan Papamu,” ucap Adhira. Mendapati hewan tersebut tidak lagi melakukan penyerangan, Adhira mulai berani menyentuh hewan tersebut dengan jemarinya. Ervan menyodorkan potongan daging terakhir padanya. Wilis begitu takluk dalam pengaruh mereka sekarang. Laila bahkan berani memeluknya tanpa segan. “Hei, Lili! Kamu mau tinggal di sini?” “Tidak!”
Tamara mengangguk dengan tawa kecil.Adhira langsung terdiam. Ada perasaan kehilangan kecil yang pelan-pelan merasuki pikirannya. Tapi dia harus menekannya agar wanita itu tak ikutan bersedih.“Memang kamu kira kenapa saya berhenti tiba-tiba?”“Saya kira….”Suara Adhira terputus. Dia terlalu malu untuk menjawabnya. Padahal pikiran aneh sudah berkecamuk sejak pengumuman yang disampaikan Ervan tadi. Ervan baru menyusul di belakangnya dengan tersengal. Kuswan dan segelintir murid juga turun melepas kepergian guru matematika mereka itu.“Apakah Ibu akan kembali lagi? Apakah saya masih bisa menemuimu?”Tamara tak kuasa menjawab.“Kamu belajar yang rajin ya, jangan tidur di kelas.” Tamara membelai-belai kepala Adhira penuh kelembutan dan melambai pada murid yang sudah berkumpul di depan sekolah. “Maaf harus pergi mendadak.”Adhira merunduk. Dia sudah tidak memiliki or
Seharusnya Adhira menemui Kiara sepulang sekolah ini. Namun entah mengapa, saat membayangkan kejadian terakhir yang dialami Kiara setahun lalu, keberanian Adhira menyusut. Dia tahu Kiara senantiasa menantinya di terminal bus. Sengaja menunggu lima belas menit lebih lama agar dapat kesempatan berpapasan dengan Adhira di tempat itu.Adhira ingin menemuinya, tapi setiap menit kelima belas, niat itu selalu diurungkan. Tungkainya seolah dijerat sulur tanaman, meruntuhkan tekadnya yang sudah rapuh. Untuk menghindarinya, Adhira selalu bersembunyi dan mengamati dari balik pepohonan.Akhirnya, karena kesempatan itu tak kunjung datang, Kiara pun meminta bantuan Ervan untuk menyampaikan permintaannya pada Adhira.Dan di hari yang terik itu pula Adhira kembali menemukan sosok gadis di bawah atap terminal dengan dua wadah es krim di tangannya.Kebaikan seperti ini selalu membuat hati Adhira membengkak. Bagaimana bisa dia menolak gadis yang selalu menawarkannya makanan
Kuswan berdiri dengan seragam putih untuk menyamarkan keberadaannya di Atrium Eudaimonia itu. Dia menanti kedatangan Adhira sambil menyusun sajian makanan untuk nantinya diberikan kepada para tamu undangan.“Ssst!” desis Kuswan ke arah Adhira yang berhasil melewati tiga jenjang pengaman di rumah Kuswan itu.“Sial, mereka sampai merogoh sempakku. Benar-benar kurang kerjaan!” Adhira menggerutu sambil merapikan pakaiannya yang berantakan akibat dirogoh oleh penjaga.“Penjaga genit itu hanya merogoh pria muda sepertimu.”“Bajingan! Bahkan di Paviliun Centurion saja tidak ada yang menyentuh tubuhku. Otak penjaga di tempat ini harus direndam dalam bak deterjen lebih lama.”Kuswan terkekeh menampakkan geligi putih yang berbaris di balik bibirnya.“Jadi, sudah siap? Ini baju gantinya.”Adhira meraih pakaian serba putih tersebut gusar. Dalam seketika dia berubah menjadi sesosok koki a
“Adhira?”Tatapan tajam dari pemuda berdagu tirus itu memanggilnya sangsi, “Kamu kenapa memakai baju pelayan?”Adhira melepas topi panjangnya tadi dan bergegas menghadap ke arah Lodra. Dia berusaha tidak terlihat tengah menguping pembicaraan para ketua aliansi tadi. “Aku… hmmm, aku disuruh Kuswan buat menggantikannya.”“Menggantikan?” Lodra mengerutkan dahinya, “Oh, pantas saja Kuswan bisa masuk ke dalam atrium. Terus, kamu dibayar berapa sampai mau melakukan ini?”“Sst… jangan kasih tahu kalau aku ada di sini.”“Oh, oke.” Lodra mengedipkan matanya. Dia berjalan memasuki selasar dapur setelah mencomot tiga biji kacang rebus.Acara belum selesai sampai tengah malam. Jam besar di dalam atrium bahkan sudah berdentang dua belas kali dan para tamu masih sibuk membahas kas perusahaan mereka yang beberapa bulan ini agak kacau.Kekhusyukan mereka
Adhira duduk dalam keadaan resah. Tamara menyuguhkan minuman hangat dan memintanya untuk tetap tenang. Rumah ini tampak luas, tapi mengapa hanya ada gurunya itu di tempat ini. Adhira memandang berkeliling penasaran.“Lodra sudah mengabarkan kepadaku tentang kejadian yang akan terjadi di Atrium Eudaimonia,” ucap Tamara.“Ibu sudah tahu tentang rapat lima pilar ini?”“Undangan yang selalu kamu terima dari Lodra berasal dariku.”“Jadi… kenapa bisa? Apakah Ibu juga anggota aliansi?”Tamara menggeleng. “Sejak keluarga Limawan tidak lagi menjadi anggota aliansi, aku pun bukan lagi bagian dari mereka.”“Ibu Tamara… adalah keluarga Limawan?”“Aku adik perempuan Arman Limawan. Jadi bisa dibilang aku adalah bibimu.”Dengan pelan, Tamara pun mengangguk. Adhira tak tahu harus merasa senang atau marah. Wanita di depannya yang sudah dua tahun le
“Mereka cenderung memakai seseorang sebagai tumbal. Dan orang yang paling mudah digunakan adalah….”“Aku.” Adhira melanjutkan perkataan Tamara yang belum selesai itu. Senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Sejak awal semua ini hanya skenario yang dipakai seseorang untuk menjebakku.”“Aku tahu kecurigaanmu pada Teodro sangat besar, tapi dengan kekuatan yang dimiliki Teodro, akan sangat sulit bagimu memberikan perlawanan.”“Dia yang menabrak Kiara. Dia pula yang mengutus orang untuk menembakku. Tentu saja aku mencurigainya.”Adhira meraih sebuah permen jahe dari stoples kaca di depannya. Konon katanya, rasa manis yang ditebarkan sebiji permen dapat menenangkan pikiran.“Bukan Teodro yang mengendarai mobil itu.”“Tidak mungkin. Aku melihat jelas mobil pajero hitam melindas Kiara. Kalau bukan Teodro siapa lagi?”Tamara melangkah ke depan Adhira dan me