Adhira duduk dalam keadaan resah. Tamara menyuguhkan minuman hangat dan memintanya untuk tetap tenang. Rumah ini tampak luas, tapi mengapa hanya ada gurunya itu di tempat ini. Adhira memandang berkeliling penasaran.
“Lodra sudah mengabarkan kepadaku tentang kejadian yang akan terjadi di Atrium Eudaimonia,” ucap Tamara.
“Ibu sudah tahu tentang rapat lima pilar ini?”
“Undangan yang selalu kamu terima dari Lodra berasal dariku.”
“Jadi… kenapa bisa? Apakah Ibu juga anggota aliansi?”
Tamara menggeleng. “Sejak keluarga Limawan tidak lagi menjadi anggota aliansi, aku pun bukan lagi bagian dari mereka.”
“Ibu Tamara… adalah keluarga Limawan?”
“Aku adik perempuan Arman Limawan. Jadi bisa dibilang aku adalah bibimu.”
Dengan pelan, Tamara pun mengangguk. Adhira tak tahu harus merasa senang atau marah. Wanita di depannya yang sudah dua tahun le
“Mereka cenderung memakai seseorang sebagai tumbal. Dan orang yang paling mudah digunakan adalah….”“Aku.” Adhira melanjutkan perkataan Tamara yang belum selesai itu. Senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Sejak awal semua ini hanya skenario yang dipakai seseorang untuk menjebakku.”“Aku tahu kecurigaanmu pada Teodro sangat besar, tapi dengan kekuatan yang dimiliki Teodro, akan sangat sulit bagimu memberikan perlawanan.”“Dia yang menabrak Kiara. Dia pula yang mengutus orang untuk menembakku. Tentu saja aku mencurigainya.”Adhira meraih sebuah permen jahe dari stoples kaca di depannya. Konon katanya, rasa manis yang ditebarkan sebiji permen dapat menenangkan pikiran.“Bukan Teodro yang mengendarai mobil itu.”“Tidak mungkin. Aku melihat jelas mobil pajero hitam melindas Kiara. Kalau bukan Teodro siapa lagi?”Tamara melangkah ke depan Adhira dan me
Ujian sekolah yang mengakhiri tiga tahun masa muda mereka di Equator akhirnya usai. Sudah waktunya menutup cerita suka dan duka yang telah mereka alami menjadi kenangan belaka. Ervan masih dengan perawakan dingin bercahaya teduh nan memesona. Sementara Adhira, si pembuat onar yang jenius itu harus mengakui perubahan kecil dalam hidupnya. Dia sudah menerima banyak hukuman dan kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Mempermainkan dunia bukan lagi sebuah kesenangan baginya. Terlepas dari kenyataan pahit tersebut, Adhira harus kembali menghadapi hidup dengan keceriaan. Menambal luka dengan senyuman dan berhenti menyakiti dirinya. “Daffin!” teriaknya pada pemuda berwajah es itu. Ervan berbalik sedikit tanpa menjawab. Saat dia tahu orang yang memanggilnya Adhira dia terus berjalan. “Hei, jangan cemberut terus dong. Kan nilaimu sudah di urutan teratas se-Khatulistiwa ini?” Ervan tetap melangkah dengan eskpresi dingin. Siapa pun juga tahu kalau Ervan ak
Kuswan mengenakan jas bercorak loreng dengan kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Dia datang bersama Adhira dan Ucep dengan pakaian yang serupa. Demi meladeni kegilaan Kuswan, Adhira harus merelakan dirinya dipermak menjadi anak punk abad pertengahan dengan gaya rambut semi mohawk. Beruntungnya tidak ada lagi guru BP yang akan memplontosi kepala mereka lagi di acara prom ini.“Malam ini kita bakal jadi macan prom!” ujar Kuswan penuh gairah.Secara beriringan mereka memasuki gedung berkelap-kelip dengan musik keras memekakkan telinga itu. Kuswan tak peduli. Dia melambai dengan penuh semangat ke para gadis di sekeliling mereka.Adhira bisa melihat beberapa murid melongok bingung. Dia hanya bisa mengandalkan kaca mata hitam itu untuk menutup malunya. Sesekali dia menarik lengan baju yang kelebaran. Dia tak sempat memilih pakaiannya sebab Kuswan sudah menjemputnya saat dia masih tidur siang.“Sayang Kiara
Pesta perpisahan sudah berlalu. Masa-masa SMA sudah usai. Liburan panjang akan datang dan masa depan yang tak tentu arah ini kian dekat. Adhira tak memiliki pilihan untuk bekerja di waktu senggangnya sampai semester depan untuk memulai kuliah. Dia sudah memutuskan untuk mengambil statistika bisnis.Tadinya dia berminat menjadi koki, berkat pengalaman di dapur menjadi budak keluarga Osman selama belasan tahun. Namun Adhira sadar pekerjaan itu hanya mengingatkannya pada masa kecil yang kelam. Dia tidak ingin dibayangi kenangan buruk itu di sisa hidupnya.Lagi pula kuota untuk menempati bangku kuliah pada jurusan ini terbilang cukup berlimpah. Persaingannya pun tidak sulit. Dengan kemampuan matematikanya yang luar biasa, Adhira tak akan kesulitan mendaftar di fakultas ini.Malam itu hujan deras. Adhira membawa mobil Tuan Yasir Pranadipa memasuki lahan parkir yang kosong. Dia berhenti dan mendapati tuan besar itu duduk di bangku depan sebuah kelap malam. Beberapa or
Adhira terjaga tanpa tahu apakah ini sudah pagi atau masih malam. Tempat ini selalu gelap karena tidak ada jendelanya. Beberapa orang tengah duduk mengobrol dengan logat yang Adhira agak asing. Lodra bersama mereka sambil bersenda gurau.“Sudah bangun?”Kepala Adhira sakit seakan mau pecah. Dia memandang nanar.“Kamu ada di tempatku. Kamu tidak apa-apa kan?”Setelah merunut kejadian semalam Adhira mulai bisa menjernihkan pikirannya. Tubuhnya begitu bau alkohol. Asap rokok dan minyak wangi memenuhi udara di ruangan gelap tersebut. Adhira bangkit dengan gontai.“Pelan-pelan. Kamu mau ke mana?”Adhira melangkah menuju pintu keluar tanpa menjawab pertanyaan Lodra. Matanya mengerjap berulang kali ketika sinar terang dari luar menimpa tubuhnya. Sekarang dia mulai sadar kalau tidak seharusnya dia meninggalkan Yasir di mobil seorang diri. Pikirannya sangat kacau ditaburi remah-remah kedengkian. Namun dia tak lagi
Berita kematian Yasir Pranadipa dengan cepat sampai ke telinga petinggi aliansi. Ketakutan mereka kian memuncak. Teodro lantas mengadakan rapat aliansi di pertengahan tahun secara mendadak. Mereka mengundang hanya beberapa anggota yang telah ditentukan sebelumnya. Undangan dibagikan oleh Profesor Alan langsung. Tentu Adhira tidak mendapatkan undangannya malam itu. “Akan ada rapat aliansi lagi dalam waktu dekat,” ucap Lodra seraya mengibas-ibaskan kartu undangan berkode acak itu. “Apa mereka mengundangku?” tanya Adhira. “Aku bisa membuatmu diundang.” “Bu Tamara bilang kalau selama ini undangan yang kamu kasih ke aku adalah darinya,” kata Adhira. “Apa hubungan kalian?” Lodra terkekeh geli, “Bukan cuma kamu murid kesayangan Tamara, Adhira. Dia asisten Prof. Alan, orang yang sangat vital bagi aliansi Lima Pilar. Posisinya strategis, tapi juga sangat riskan. Saat para anggota tahu kalau dia adalah keluarga Limawan, dia langsung didepak dari aliansi
Angkasa hitam memayungi bangunan besar di puncak bukit yang gemerlap. Sebuah gedung megah berdiri di antara pepohonan dan danau yang indah. Anggota aliansi mulai memenuhi kediaman Refendra dari kesunyian. Adhira memasuki pintu utama paviliun dengan pakaian super mewah yang baru dibelinya dari hasil berjudi. Semerbak rockrose yang menyeruak dari tubuhnya, membuat beberapa tamu undangan sempat terkesima dengan pemuda yang biasanya selalu tampil lebih kumal dari para pelayan. Rambutnya tertata rapi dan licin. Jas merah kirmizi yang melingkupi tubuh rampingnya kontras dengan semarak paviliun besar itu. Dia melangkah sambil memandang ke para ketua aliansi. Orang pertama yang akan diamatinya tak lain adalah Teodro Refendra. Pria itu masuk bersama rombongan keluarga Refendra yang lain. Lodra tak tampak dalam peredaran. Teodro tersenyum ke setiap pengunjung yang hadir. Tak jauh darinya ada keluarga Pranadipa. Mereka mengenakan pakaian serba putih karena masi
“Aku tidak membunuhnya!” Tawa Teodro kembali mengisi ketegangan ruangan itu. “Adhira, kita tidak bisa menuduhmu tanpa bukti. Begitupun dengan dirimu tak bisa menuduh kami tanpa bukti,” ujar Haris. “Jika yang ingin kamu tanyakan adalah persekongkolan kami menghabisi nyawa ayahmu, kurasa ucapanmu itu sangat tidak berdasar. Bagaimanapun Furan adalah adik iparku. Dia mati di tambang yang dimiliki Limawan. Aku tidak akan tinggal diam bila memang ada orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya.” “Haris benar,” timpal Teodro. “Pulangkah, Nak. Kulihat kamu sangat lelah dan frustrasi. Semua yang kami kerjakan di sini semata-mata untuk kebaikan anggota aliansi. Kamu salah satunya. Jadi, jangan berburuk sangka pada kami, atau kamu akan gila sendiri.” Adhira menahan amarahnya yang meletup-letup itu. “Kuswan, ajak temanmu berjalan-jalan di taman!” “Dia bukan temanku!” lontar Kuswan dengan aura kebencian yang tak berkurang satu inci pun.