Angkasa hitam memayungi bangunan besar di puncak bukit yang gemerlap. Sebuah gedung megah berdiri di antara pepohonan dan danau yang indah. Anggota aliansi mulai memenuhi kediaman Refendra dari kesunyian.
Adhira memasuki pintu utama paviliun dengan pakaian super mewah yang baru dibelinya dari hasil berjudi. Semerbak rockrose yang menyeruak dari tubuhnya, membuat beberapa tamu undangan sempat terkesima dengan pemuda yang biasanya selalu tampil lebih kumal dari para pelayan. Rambutnya tertata rapi dan licin. Jas merah kirmizi yang melingkupi tubuh rampingnya kontras dengan semarak paviliun besar itu.
Dia melangkah sambil memandang ke para ketua aliansi. Orang pertama yang akan diamatinya tak lain adalah Teodro Refendra. Pria itu masuk bersama rombongan keluarga Refendra yang lain. Lodra tak tampak dalam peredaran.
Teodro tersenyum ke setiap pengunjung yang hadir. Tak jauh darinya ada keluarga Pranadipa. Mereka mengenakan pakaian serba putih karena masi
“Aku tidak membunuhnya!” Tawa Teodro kembali mengisi ketegangan ruangan itu. “Adhira, kita tidak bisa menuduhmu tanpa bukti. Begitupun dengan dirimu tak bisa menuduh kami tanpa bukti,” ujar Haris. “Jika yang ingin kamu tanyakan adalah persekongkolan kami menghabisi nyawa ayahmu, kurasa ucapanmu itu sangat tidak berdasar. Bagaimanapun Furan adalah adik iparku. Dia mati di tambang yang dimiliki Limawan. Aku tidak akan tinggal diam bila memang ada orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya.” “Haris benar,” timpal Teodro. “Pulangkah, Nak. Kulihat kamu sangat lelah dan frustrasi. Semua yang kami kerjakan di sini semata-mata untuk kebaikan anggota aliansi. Kamu salah satunya. Jadi, jangan berburuk sangka pada kami, atau kamu akan gila sendiri.” Adhira menahan amarahnya yang meletup-letup itu. “Kuswan, ajak temanmu berjalan-jalan di taman!” “Dia bukan temanku!” lontar Kuswan dengan aura kebencian yang tak berkurang satu inci pun.
Setelah mengantar Odin melalui prosesi pemakaman ibu dan neneknya, anak itu pun dibawa ke Panti Asuhan Karya Asih. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka di depan pintu masuk. Mereka mendaftarkan Odin dan menjadikan Ervan wali dari anak tersebut.“Apa aku juga bisa tinggal di sini?” celetuk Adhira dengan tampang tanpa malu itu.“Ini panti asuhan. Bukan panti sosial,” tandas Laila geram.“Maaf sekali, tapi ini untuk anak-anak di bawah delapan belas tahun.” Ibu kepala pun menjawab pertanyaan Adhira dengan sopan. “Tapi kalau memang mau berkunjung, tentu saja bisa.”Ervan mengangguk. Dia menatap Odin yang masih terlihat belum siap pindah dari rumah lamanya yang sudah terbakar hangus itu. Adhira menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke ruangan tempat di mana dia pernah tinggal selama beberapa tahun itu.“Hei, di sini lebih seru lho. Ada berbagai jenis kebun buah yang bisa kamu makan buahnya set
“Daffin… ada kecoa!”Atas entakan yang dilakukan Adhira, minuman soda yang tengah diteguk Ervan sebagian tumpah, membuat cairan lengket kebiruan itu mengotori tubuhnya. Sementara Adhira sendiri masih gemetar ketakutan. Dia memeluk tubuh Ervan dengan erat dengan mata terpejam. Kini dua pria itu tepat melekat satu sama lain dengan hanya dibatasi oleh handuk basah dari bagian pinggang ke bawahnya.“Daffin, aku minta maaf kalau sering mengusilimu. Aku juga minta maaf kalau aku buat kamu selalu kesal. Aku bakal memberikan apa pun yang kamu minta. Tapi tolong aku! Tolong singkirkan kecoa itu!”Adhira memelas berulang kali. Dia sudah tidak peduli tubuhnya yang bugil dan bersabun itu membuat Ervan tak bisa berkutik dari tempatnya berdiri.Kepala Adhira yang masih berbusa berada di atas dada Ervan yang bidang. Dia menatap jakunnya bergejolak naik turun.Ervan tak menyingkirkannya sebab dia tahu Adhira tidak menggunakan apa-apa
“Daffin… darahnya… mengapa tidak mau berhenti?”Ervan melirih pilu. Dia sadar Adhira yang dikenalnya ini tak kuasa menahan sakit begitu lama. Dulu dia akan bermanja-manja pada pemuda bunga es ini demi mencari perhatian. Kini yang muncul di hadapannya adalah pria gizi buruk yang bersimbah darah.Dengan lembut Ervan meraih tubuh Adhira. Dia mengangkatnya dari lantai toilet yang sudah basah, kembali ke kamarnya.“Biarkan aku membantumu, Hira.”Ervan mendudukannya ke atas kasur dan mulai mengusap luka yang masih sebagian terobati itu. Perasaannya hancur lebur saat membayangkan tentang cara Adhira mendapatkan luka-luka ini. Bekas-bekas penyiksaan bertahun-tahun lalu tumpang tindih dengan luka yang baru. Jaringan parut yang belum sepenuhnya hilang kembali dilukai berulang kali.“HAhhkk….” Desau perih Adhira membuat Ervan tersentak. “Daffin… sakit….”Adhira merebahka
Adhira ingat sebelas tahun yang lalu, setelah kematian Profesor Alan, dia diringkus dan disiksa habis-habisan oleh orang-orang dari aliansi. Jelas peristiwa itu membakar kemarahan seluruh anggota aliansi dan Adhira adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian tersebut.Dia pingsan dan baru bangun keesokan harinya. Dia tidak bangun di dalam rumah tahanan atau lapas. Dia berada di tempat yang tidak diketahui. Gelap, pengap, dan berbau alkohol.Kedua tangannya terikat ke belakang tubuhnya. Darah dan sembab mewarnai wajahnya.Ketika dia mencob bangkit, seorang pria muncul dari sebuah pintu. Dia menyalakan lampu yang menyilaukan. Adhira berusaha mengintip dari celah kelopak matanya yang bengkak.“Kau sudah melakukan tugasmu dengan sangat baik, Hira.”Jantung Adhira bergemuruh bagai badai. Dia bereaksi saat tangan itu menyentuh wajahnya yang masih terluka.“Sayangnya, kau kalah dalam pertempuran akhir.”A
Adhira melangkah masuk ke pekarangan rumah lamanya. Semak memenuhi halaman depan. Gudang tempatnya dulu tinggal sudah terbengkalai. Ervan menyusulnya dari belakang. Setelah keduanya mencapai teras depan, seseorang muncul dari dalam.“Om Willian?”“A… dhi… ra?”Suara pelo terdengar dari mulut pria yang tengah duduk di kursi roda itu. Dia mendongak ke arah Adhira dengan pandangan kosong dan dalam, seperti ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi tak sanggup diutarakannya.“Papa, siapa yang….” Seorang perempuan muncul dari dalam sambil membawa nampan berisi minuman dan tiga butir obat. “Kak Adhi?!”“Kiara, hai,” sapa Adhira ramah.Raut muka Kiara membeku. Dia menatap Adhira seperti menembus ke jaringan otak di balik tempurung kepalanya. Nampan yang dipegangnya hampir terjatuh jika Willian tak segera memotong lamunan tersebut.“Apakah Adhi
Adhira dan Ervan bersembunyi di balik tembok. Keberadaan mereka belum bisa diketahui orang-orang.“Lodra meminta kami menjemputmu.”“Aku bisa ke sana sendiri. Kalian tidak perlu menjemputku,” jawab Kiara.“Kami hanya menjalankan perintah, Nona,” jawab laki-laki dengan suara serak itu lagi.“Perintah siapa?”“Calon suami Anda tentu saja.”Kiara mendorong kursi roda Willian seolah enggan melibatkan ayahnya dalam percekcokannya dengan dua orang laki-laki di depan.“Bilang sama dia, aku bisa ke sana sendiri. Silakan kalian kembali.” Kiara hendak menutup pintunya ketika salah satu dengan mereka menghadang pintu.“Kalian mau apa?” tandas Kiara lebih keras.Dengan cepat tangan laki-laki tadi mencengkeram pergelangan tangan Kiara.Adhira nyaris muncul dari balik tembok untuk mencegah orang asing itu memaksa Kiara keluar dari rumah ini jika
Keterkejutan keduanya menjadikan situasi di ruangan tersebut kian panas. Adhira menoleh dengan senyum getir. Kuswan langsung berlari menyerang tubuhnya. Ervan melangkah menengahi mereka, yang segera disergah olehnya.“Ervan, minggirlah, jangan ikut campur!”Ervan bergeming. Dia memelotot ke arah Kuswan sebagai tanda perlawanan. Adhira yang berdiri di belakangnya segera menggeser tubuh Ervan, “Tidak apa-apa. Biar aku berbicara dengannya.”Dengan enggan Ervan melangkah ke samping. Kuswan masih melihat ke arah Adhira dengan geram. Dia menarik kerah baju Adhira dan mendorongnya ke salah satu sisi dinding. “Kau pembunuh!”Adhira berucap pasrah, “Kamu sudah memakiku dengan sebutan itu, Kuswan. Aku terima makianmu. Kamu mau memukulku? Membunuhku? Aku juga terima.”“Kak Kuswan, jangan lakukan ini,” pinta Kiara.“Heh, lihatlah, betapa rendahnya dirimu sekarang. Bahkan adik perempuanmu