Kuswan mengenakan jas bercorak loreng dengan kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Dia datang bersama Adhira dan Ucep dengan pakaian yang serupa. Demi meladeni kegilaan Kuswan, Adhira harus merelakan dirinya dipermak menjadi anak punk abad pertengahan dengan gaya rambut semi mohawk. Beruntungnya tidak ada lagi guru BP yang akan memplontosi kepala mereka lagi di acara prom ini.
“Malam ini kita bakal jadi macan prom!” ujar Kuswan penuh gairah.
Secara beriringan mereka memasuki gedung berkelap-kelip dengan musik keras memekakkan telinga itu. Kuswan tak peduli. Dia melambai dengan penuh semangat ke para gadis di sekeliling mereka.
Adhira bisa melihat beberapa murid melongok bingung. Dia hanya bisa mengandalkan kaca mata hitam itu untuk menutup malunya. Sesekali dia menarik lengan baju yang kelebaran. Dia tak sempat memilih pakaiannya sebab Kuswan sudah menjemputnya saat dia masih tidur siang.
“Sayang Kiara
Pesta perpisahan sudah berlalu. Masa-masa SMA sudah usai. Liburan panjang akan datang dan masa depan yang tak tentu arah ini kian dekat. Adhira tak memiliki pilihan untuk bekerja di waktu senggangnya sampai semester depan untuk memulai kuliah. Dia sudah memutuskan untuk mengambil statistika bisnis.Tadinya dia berminat menjadi koki, berkat pengalaman di dapur menjadi budak keluarga Osman selama belasan tahun. Namun Adhira sadar pekerjaan itu hanya mengingatkannya pada masa kecil yang kelam. Dia tidak ingin dibayangi kenangan buruk itu di sisa hidupnya.Lagi pula kuota untuk menempati bangku kuliah pada jurusan ini terbilang cukup berlimpah. Persaingannya pun tidak sulit. Dengan kemampuan matematikanya yang luar biasa, Adhira tak akan kesulitan mendaftar di fakultas ini.Malam itu hujan deras. Adhira membawa mobil Tuan Yasir Pranadipa memasuki lahan parkir yang kosong. Dia berhenti dan mendapati tuan besar itu duduk di bangku depan sebuah kelap malam. Beberapa or
Adhira terjaga tanpa tahu apakah ini sudah pagi atau masih malam. Tempat ini selalu gelap karena tidak ada jendelanya. Beberapa orang tengah duduk mengobrol dengan logat yang Adhira agak asing. Lodra bersama mereka sambil bersenda gurau.“Sudah bangun?”Kepala Adhira sakit seakan mau pecah. Dia memandang nanar.“Kamu ada di tempatku. Kamu tidak apa-apa kan?”Setelah merunut kejadian semalam Adhira mulai bisa menjernihkan pikirannya. Tubuhnya begitu bau alkohol. Asap rokok dan minyak wangi memenuhi udara di ruangan gelap tersebut. Adhira bangkit dengan gontai.“Pelan-pelan. Kamu mau ke mana?”Adhira melangkah menuju pintu keluar tanpa menjawab pertanyaan Lodra. Matanya mengerjap berulang kali ketika sinar terang dari luar menimpa tubuhnya. Sekarang dia mulai sadar kalau tidak seharusnya dia meninggalkan Yasir di mobil seorang diri. Pikirannya sangat kacau ditaburi remah-remah kedengkian. Namun dia tak lagi
Berita kematian Yasir Pranadipa dengan cepat sampai ke telinga petinggi aliansi. Ketakutan mereka kian memuncak. Teodro lantas mengadakan rapat aliansi di pertengahan tahun secara mendadak. Mereka mengundang hanya beberapa anggota yang telah ditentukan sebelumnya. Undangan dibagikan oleh Profesor Alan langsung. Tentu Adhira tidak mendapatkan undangannya malam itu. “Akan ada rapat aliansi lagi dalam waktu dekat,” ucap Lodra seraya mengibas-ibaskan kartu undangan berkode acak itu. “Apa mereka mengundangku?” tanya Adhira. “Aku bisa membuatmu diundang.” “Bu Tamara bilang kalau selama ini undangan yang kamu kasih ke aku adalah darinya,” kata Adhira. “Apa hubungan kalian?” Lodra terkekeh geli, “Bukan cuma kamu murid kesayangan Tamara, Adhira. Dia asisten Prof. Alan, orang yang sangat vital bagi aliansi Lima Pilar. Posisinya strategis, tapi juga sangat riskan. Saat para anggota tahu kalau dia adalah keluarga Limawan, dia langsung didepak dari aliansi
Angkasa hitam memayungi bangunan besar di puncak bukit yang gemerlap. Sebuah gedung megah berdiri di antara pepohonan dan danau yang indah. Anggota aliansi mulai memenuhi kediaman Refendra dari kesunyian. Adhira memasuki pintu utama paviliun dengan pakaian super mewah yang baru dibelinya dari hasil berjudi. Semerbak rockrose yang menyeruak dari tubuhnya, membuat beberapa tamu undangan sempat terkesima dengan pemuda yang biasanya selalu tampil lebih kumal dari para pelayan. Rambutnya tertata rapi dan licin. Jas merah kirmizi yang melingkupi tubuh rampingnya kontras dengan semarak paviliun besar itu. Dia melangkah sambil memandang ke para ketua aliansi. Orang pertama yang akan diamatinya tak lain adalah Teodro Refendra. Pria itu masuk bersama rombongan keluarga Refendra yang lain. Lodra tak tampak dalam peredaran. Teodro tersenyum ke setiap pengunjung yang hadir. Tak jauh darinya ada keluarga Pranadipa. Mereka mengenakan pakaian serba putih karena masi
“Aku tidak membunuhnya!” Tawa Teodro kembali mengisi ketegangan ruangan itu. “Adhira, kita tidak bisa menuduhmu tanpa bukti. Begitupun dengan dirimu tak bisa menuduh kami tanpa bukti,” ujar Haris. “Jika yang ingin kamu tanyakan adalah persekongkolan kami menghabisi nyawa ayahmu, kurasa ucapanmu itu sangat tidak berdasar. Bagaimanapun Furan adalah adik iparku. Dia mati di tambang yang dimiliki Limawan. Aku tidak akan tinggal diam bila memang ada orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya.” “Haris benar,” timpal Teodro. “Pulangkah, Nak. Kulihat kamu sangat lelah dan frustrasi. Semua yang kami kerjakan di sini semata-mata untuk kebaikan anggota aliansi. Kamu salah satunya. Jadi, jangan berburuk sangka pada kami, atau kamu akan gila sendiri.” Adhira menahan amarahnya yang meletup-letup itu. “Kuswan, ajak temanmu berjalan-jalan di taman!” “Dia bukan temanku!” lontar Kuswan dengan aura kebencian yang tak berkurang satu inci pun.
Setelah mengantar Odin melalui prosesi pemakaman ibu dan neneknya, anak itu pun dibawa ke Panti Asuhan Karya Asih. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka di depan pintu masuk. Mereka mendaftarkan Odin dan menjadikan Ervan wali dari anak tersebut.“Apa aku juga bisa tinggal di sini?” celetuk Adhira dengan tampang tanpa malu itu.“Ini panti asuhan. Bukan panti sosial,” tandas Laila geram.“Maaf sekali, tapi ini untuk anak-anak di bawah delapan belas tahun.” Ibu kepala pun menjawab pertanyaan Adhira dengan sopan. “Tapi kalau memang mau berkunjung, tentu saja bisa.”Ervan mengangguk. Dia menatap Odin yang masih terlihat belum siap pindah dari rumah lamanya yang sudah terbakar hangus itu. Adhira menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke ruangan tempat di mana dia pernah tinggal selama beberapa tahun itu.“Hei, di sini lebih seru lho. Ada berbagai jenis kebun buah yang bisa kamu makan buahnya set
“Daffin… ada kecoa!”Atas entakan yang dilakukan Adhira, minuman soda yang tengah diteguk Ervan sebagian tumpah, membuat cairan lengket kebiruan itu mengotori tubuhnya. Sementara Adhira sendiri masih gemetar ketakutan. Dia memeluk tubuh Ervan dengan erat dengan mata terpejam. Kini dua pria itu tepat melekat satu sama lain dengan hanya dibatasi oleh handuk basah dari bagian pinggang ke bawahnya.“Daffin, aku minta maaf kalau sering mengusilimu. Aku juga minta maaf kalau aku buat kamu selalu kesal. Aku bakal memberikan apa pun yang kamu minta. Tapi tolong aku! Tolong singkirkan kecoa itu!”Adhira memelas berulang kali. Dia sudah tidak peduli tubuhnya yang bugil dan bersabun itu membuat Ervan tak bisa berkutik dari tempatnya berdiri.Kepala Adhira yang masih berbusa berada di atas dada Ervan yang bidang. Dia menatap jakunnya bergejolak naik turun.Ervan tak menyingkirkannya sebab dia tahu Adhira tidak menggunakan apa-apa
“Daffin… darahnya… mengapa tidak mau berhenti?”Ervan melirih pilu. Dia sadar Adhira yang dikenalnya ini tak kuasa menahan sakit begitu lama. Dulu dia akan bermanja-manja pada pemuda bunga es ini demi mencari perhatian. Kini yang muncul di hadapannya adalah pria gizi buruk yang bersimbah darah.Dengan lembut Ervan meraih tubuh Adhira. Dia mengangkatnya dari lantai toilet yang sudah basah, kembali ke kamarnya.“Biarkan aku membantumu, Hira.”Ervan mendudukannya ke atas kasur dan mulai mengusap luka yang masih sebagian terobati itu. Perasaannya hancur lebur saat membayangkan tentang cara Adhira mendapatkan luka-luka ini. Bekas-bekas penyiksaan bertahun-tahun lalu tumpang tindih dengan luka yang baru. Jaringan parut yang belum sepenuhnya hilang kembali dilukai berulang kali.“HAhhkk….” Desau perih Adhira membuat Ervan tersentak. “Daffin… sakit….”Adhira merebahka