Ervan mengeluarkan peralatan seperti botol dan usapan kapas, serta beberapa jenis wadah reagen lainnya. Adhira yang tak tahu-menahu tentang penelitian mereka hanya celingak-celinguk bingung.
Dia pun mendekati beberapa anak-anak dan mengajak mereka mengobrol.
Anak-anak memiliki kulit yang lebih gelap. Tadinya Adhira berpikir mungkin karena mereka terlalu sering terpapar sinar matahari.
Namun setelah diamati lebih jauh, penampakan anak-anak ini memang berbeda. Permukaan kulit yang sedikit bersisik dengan warna gelap kemerahan membuat mereka tak berhenti menggaruk.
Rambut mereka cenderung kecokelatan. Tentu saja mereka tidak mewarnainya dengan sengaja. Gigi mereka lebih kuning, dan pada beberapa anak, ditemukan karies yang sudah menghitam.
Masalah yang ditemukan juga ternyata tak sampai di sana, beberapa bayi juga menunjukkan keterlambatan perkembangan. Baru-baru ini anak pemilik rumah ini meninggal karena cairan di kepalanya. Sisanya mengalami k
Sebelum Adhira bisa bangkit, dia merasa kepalanya telah terantuk benda keras di salah batu tersebut. Ervan berusaha mempertahankan tubuhnya agar tidak menyentuh tubuh Adhira, tapi dia gagal. Seketika itu pula dia berdiri melanjutkan pekerjaannya menyiduk aliran limbah di belakang pabrik tekstil tersebut.Pengemudi perahu menunggui mereka di pinggir sungai hingga Ervan selesai mengambil seluruh bahan yang dibutuhkannya. Cuaca berganti cukup cepat. Matahari terik yang tadi melingkupi langit kini sudah terselubung oleh awan hitam. Ervan bergegas kembali ke tepian untuk selanjutnya mengambil sampel berikutnya dari sisi muara yang lain.Adhira menggosok kepalanya yang mulai membenjol. Matanya masih berkunang-kunang saat entakan itu terasa. Dia tidak ikut Ervan turun pada pemberhentian berikutnya. Rasa sakit kian berdenyut saat mereka berhenti ke muara sungai yang kedua.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ervan yang mulai curiga akan tingkah Adhira yang diam itu.
Adhira baru terbangun keesokan harinya. Dia menoleh ke arah wanita yang sejak tadi duduk gelisah sambil menyengir kosong. Wanita itu sudah duduk di sampingnya sejak subuh tadi.“Kamu masih bisa ketawa? Saya panik setengah mati waktu dengar kamu masuk rumah sakit….” omel Bunda Safira.Dengan cepat dia membantu Adhira duduk dan menuangkan air minum untuknya.Tangan Safira teracung ke hadapan Adhira untuk memastikan kalau dia bisa melihat dengan normal. Dia juga memeriksa tubuh Adhira yang lain dengan resah.“Aku tidak apa-apa, cuma terbentur saja. Sekarang sudah tak masalah,” jawab Adhira.Dia menyembunyikan lengannya yang masih penuh luka tusukan dari pengamatan Bunda Safira. Topeng ceria itu seolah melipisi rasa sakit yang masih mendera tempurung kepalanya.“Mana ada orang terbentur sampai babak belur begini,” tukas Bunda Safira masih belum tenang.Adhira tak menghiraukan ocehan Bunda S
“Kamu takut aku kena HIV, begitu?”Ervan memilih bungkam. Seharusnya dia memang tak perlu mendengar kata-kata Renal tentang membujuk Adhira. Walau Adhira selalu menanggapi kata-katanya dengan santai, pertanyaan ini jelas menyinggung dirinya.“Kamu tidak perlu mengurusiku,” cetus Adhira.Dengan pelan, Ervan pun bergumam, “Kamu bisa diobati bila memang terbukti benar.”“Apanya? Kamu mau mengobatiku?”“Aku hanya menyampaikan apa yang harus kusampaikan.”Nyeri di kepalanya masih tersisa dan Ervan bukannya membawakan sesuatu yang enak, tapi malah membahas tentang hal tidak jelas itu. Ini membuat Adhira mulai terusik dengan campur tangannya.“Sejak kapan kamu peduli padaku?”Ervan hanya membungkam. Sorot matanya yang semula padam kembali tersulut, menjerat kemarahan dalam satu tatapan.Melihat ini, Adhira malah menimpal, “Sudahlah, Daffin, bagusan ka
Dalam tiga hari kondisi Adhira tak kunjung membaik. Karena dia lelah dengan desakan Bunda Safira, Adhira pun memutuskan untuk mengikuti saran Ervan. Dia memberanikan diri mengunjungi klinik untuk memeriksakan dirinya.Tempat itu berada di persimpangan jalan. Bukan klinik yang terlalu besar, tapi mereka melayani pemeriksaan dan penanganan terhadap pasien dengan infeksi menular secara gratis. Sesuatu yang membuat Adhira tidak lagi bisa menolak saran Ervan.Adhira masuk ke pintu klinik memastikan tidak ada orang yang dia kenal berada di sekitarnya. Pengunjung tempat ini rata-rata pasangan muda yang hendak melakukan pemeriksaan pranikah.Jika memang yang dikatakan Ervan kalau penyakit ini bisa diobati, seharusnya memang tidak semengerikan bayangannya. Dia diminta untuk masuk ke ruangan khusus dan mengisi beberapa lembar formulir data diri. Lalu seorang laboran meminta izin untuk mengambil darahnya.Dia mengambil tempat duduk sampai hasil keluar beberapa jam k
Laila mengais-ngais tanah, mencari marmut kecilnya yang masih malu-malu bersembunyi di balik semak. “Lili! Ayo pulang, sudah sore!” Adhira memekik gadis kecil berusia 3 tahun tadi. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada macan tutul besar yang tengah memadu kasih dengan seorang pemuda berwajah es. Adhira segera menahan napasnya. Dia belum sepenuhnya kenal dengan macam tutul itu. Jadi sebisa mungkin tidak membuat suara yang terlalu mencolok. Saat menyadari Adhira ada di dekatnya, Ervan langsung mengarahkan hewan buas tadi padanya. “Ckckck… gara-gara hewan ini kamu sampai bertengkar dengan Papamu,” ucap Adhira. Mendapati hewan tersebut tidak lagi melakukan penyerangan, Adhira mulai berani menyentuh hewan tersebut dengan jemarinya. Ervan menyodorkan potongan daging terakhir padanya. Wilis begitu takluk dalam pengaruh mereka sekarang. Laila bahkan berani memeluknya tanpa segan. “Hei, Lili! Kamu mau tinggal di sini?” “Tidak!”
Tamara mengangguk dengan tawa kecil.Adhira langsung terdiam. Ada perasaan kehilangan kecil yang pelan-pelan merasuki pikirannya. Tapi dia harus menekannya agar wanita itu tak ikutan bersedih.“Memang kamu kira kenapa saya berhenti tiba-tiba?”“Saya kira….”Suara Adhira terputus. Dia terlalu malu untuk menjawabnya. Padahal pikiran aneh sudah berkecamuk sejak pengumuman yang disampaikan Ervan tadi. Ervan baru menyusul di belakangnya dengan tersengal. Kuswan dan segelintir murid juga turun melepas kepergian guru matematika mereka itu.“Apakah Ibu akan kembali lagi? Apakah saya masih bisa menemuimu?”Tamara tak kuasa menjawab.“Kamu belajar yang rajin ya, jangan tidur di kelas.” Tamara membelai-belai kepala Adhira penuh kelembutan dan melambai pada murid yang sudah berkumpul di depan sekolah. “Maaf harus pergi mendadak.”Adhira merunduk. Dia sudah tidak memiliki or
Seharusnya Adhira menemui Kiara sepulang sekolah ini. Namun entah mengapa, saat membayangkan kejadian terakhir yang dialami Kiara setahun lalu, keberanian Adhira menyusut. Dia tahu Kiara senantiasa menantinya di terminal bus. Sengaja menunggu lima belas menit lebih lama agar dapat kesempatan berpapasan dengan Adhira di tempat itu.Adhira ingin menemuinya, tapi setiap menit kelima belas, niat itu selalu diurungkan. Tungkainya seolah dijerat sulur tanaman, meruntuhkan tekadnya yang sudah rapuh. Untuk menghindarinya, Adhira selalu bersembunyi dan mengamati dari balik pepohonan.Akhirnya, karena kesempatan itu tak kunjung datang, Kiara pun meminta bantuan Ervan untuk menyampaikan permintaannya pada Adhira.Dan di hari yang terik itu pula Adhira kembali menemukan sosok gadis di bawah atap terminal dengan dua wadah es krim di tangannya.Kebaikan seperti ini selalu membuat hati Adhira membengkak. Bagaimana bisa dia menolak gadis yang selalu menawarkannya makanan
Kuswan berdiri dengan seragam putih untuk menyamarkan keberadaannya di Atrium Eudaimonia itu. Dia menanti kedatangan Adhira sambil menyusun sajian makanan untuk nantinya diberikan kepada para tamu undangan.“Ssst!” desis Kuswan ke arah Adhira yang berhasil melewati tiga jenjang pengaman di rumah Kuswan itu.“Sial, mereka sampai merogoh sempakku. Benar-benar kurang kerjaan!” Adhira menggerutu sambil merapikan pakaiannya yang berantakan akibat dirogoh oleh penjaga.“Penjaga genit itu hanya merogoh pria muda sepertimu.”“Bajingan! Bahkan di Paviliun Centurion saja tidak ada yang menyentuh tubuhku. Otak penjaga di tempat ini harus direndam dalam bak deterjen lebih lama.”Kuswan terkekeh menampakkan geligi putih yang berbaris di balik bibirnya.“Jadi, sudah siap? Ini baju gantinya.”Adhira meraih pakaian serba putih tersebut gusar. Dalam seketika dia berubah menjadi sesosok koki a