Awalnya kening Ibu berkerut bingung menatap Rahman dan Rumi secara bergantian. Apalagi saat ia menatap wajah Rumi yang sudah pias. Baru kali ini Rahman menunjukkan sifat aslinya di depan Ibu seperti ini. Tanpa kami sadari, Rahman sudah bergerak maju lalu mendorong tubuh Karina. Hampir saja tubuh gadis kecil itu terhuyung jatuh jika tidak di tahan oleh Ibu. Aku juga sudah reflek maju untuk menangkap tubuh Karina. Keterlaluan sekali Rahman. Aku jadi heran apa saja yang di ajarkan oleh Rumi padanya selama ini.“Kamu nggak boleh ngomong begitu Rahman. Mulai sekarang Karina itu keluarga kita. Anaknya Ibu Nada dan Ayah juga. Bukan anak pungut. Kamu juga tidak boleh mendorong Karina seperti tadi. Apa kamu paham?” Nasihat Ibu dengan intonasi yang terkendali dan pandangan mata tajam. Tapi, Rahman tetap takut lalu menghambur ke pelukan Mamanya. “Nenek Asih jahat Ma. Aku benci sama mereka semua.” Tangis Rahman yang keras membuat Kanaya dan Hanum keluar dari dapur. Melihat jika Rahman sedang men
Rasa pusing sekaligus mual langsung menghantam kepala begitu aku sadar. Baru saja aku bangun, aku langsung muntah hingga mengotori baju pasien dan selimut yang menutup tubuh. Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Adi yang terus memanggil Dokter. Suamiku itu kini sudah meletakan baskom di atas pangkuan sebagai tempat muntahku. Beberapa detik kemudian, aku sudah berhenti muntah.“Keadaan Bu Nada sudah mulai membaik. Tenang saja Pak Adi, ini reaksi yang normal dari pasien setelah mengalami keracunan makanan.” Apa? Keracunan makanan? Tiba-tiba ingatanku terlempae saat aku, Mas Adi, anak-anak dan semua keluarga kami yang lain sedang makan malam bersama di rumah Ibu. Untuk menyambut kedatangan Karina sekaligus acara syukuran sederhana untuk kesembuhan Nasya. Hal terakhir yang aku ingat adalah menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulut hingga kepalaku merasa pusing dan perutku merasa mual. Setelah itu, aku sudah tidak sadarkan diri.Dengan cekatan Mas Adi sudah mengganti pakaianku yang kot
BUUUK. Pria itu tiba-tiba terjatuh setelah wajahnya di pukul. Tidak hanya itu, Mas Adi menghajar pria itu berulang kali hingga pingsan. Seluruh wajahnya sudah lebam karena pukulan suamiku itu. “Sudah mas. Jangan habisi dia. Lebih baik kamu panggil perawat sekarang.” Aku takut jika pria itu tiba-tiba bangun lalu berbalik menyerang Mas Adi. Tidak lama kemudian perawat yang datang bersama dengan satpam sudah masuk ke dalam kamar. Dua satpam bertubuh kekar segera meringkus pria botak yang memakai masker itu. Mas Adi bicara pada perawat akan meminta pihak pengacaranya untuk datang ke kantor polisi guna mengusut pria itu. Baik aku dan Mas Adi sama sekali tidak pernah melihatnya. Jadi, pria itu pasti suruhan seseorang yang berniat buruk untuk melukaiku.“Kamu baik-baik sajakan Nad?” Tanya Mas Adi begitu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Raut wajahnya masih nampak sangat khawatir. Aku hanya bisa menganggukan kepala sambil tersenyum. Menggenggam tangan besarnya agar Mas Adi jadi lebih tena
“Waalaikumsalam.” Jawab kami secara serempak. Meskipun rasa kesal masih terasa di hati pada adik maduku itu.“Bagaimana keadaan kamu mbak?” Rumi sudah duduk di kursi tempat Mama duduk sebelumnya. Sedangkan Bu Saroh meletakan parcel buah di atas nakas. Ia tetap berdiri di belakang Rumi.“Alhamdulillah baik. Terima kasih karena sudah menjengukku Rum.” Ucapku datar. Pandangan Rumi terus menoleh ke belakang. Ke tempat Mas Adi dan Papa duduk. Melihat istri keduanya datang sama sekali tidak membuat Mas Adi berniat untuk menghampiri kami. Mama masih setia berdiri di samping tempat tidurku. “Apa kata dokter kemarin? Apa kamu salah makan sebelumnya?” Tanya Bu Saroh dengan raut wajah cemas. Seolah ada rahasia yang sedang ia sembunyikan. Aneh sekali melihatnya. Apa Bu Saroh sama sekali tidak terlibat dengan ulah Rumi?“Keracunan makanan Bu. Kemungkinan besar dari makanan terakhir yang saya makan. Karena racun dalam makanan itu terkontaminasi secara cepat.” Jawabku jujur karena ingin melihat leb
Mobil terus melaju di tengah sawah dengan kecepatan yang sangat cepat. Mas Adi lalu membelokan mobilnya ke sebelah kiri hingga menabrak sebuah pohon mangga besar di pinggit jalan. Airbag mobil yang otomatis mengembang membuatku dan Mas Adi jadi tidak terhantam bagian depan mobil. Tapi, tetap saja rasanya sakit karena mobil yang tiba-tiba di tabrakkan pada pohon.Aku bisa mendengar suara pintu di sisi kanan yang terbuka. Tidak lama kemudian, Mas Adi sudah membuka pintu di sampingku lalu menarik tanganku keluar dari mobil. “Kamu baik-baik sajakan Dek?” Aku menganggukan kepala sambil terbatuk karena kaget. Dadaku masih berdebar kencang. Begitu juga dengan tubuhku yang masih gemetar hebat.Banyak orang yang sudah mengerubungi kami. Aku dan Mas Adi di tuntun menuju rumah terdekat untuk duduk disana. Pemilik rumah sudah memberikan kami dua gelas air putih yang hangat. Mas Adi menceritakan tentang mobil kami yang remnya blong sehingga Mas Adi memilih untuk membanting setirnya turun ke sawah.
Kejadian itu sudah tertinggal tiga tahun yang lalu. Saat itu usia Nasya baru menginjak empat tahun. Kirana belum menikah. Shanum dan Hanum juga masih duduk di bangku SMP sekaligus belakar bersama anak-anak asrama yang lain. Seperti biasa Ibu dan Umi akan membuat acara makan malam bersama di rumah mereka untuk sekedar berkumpul bersama keluarga. Karena Mbak Aisyah, Mas Adi dan Kanaya yang sudah punya keluarga masing-masing membuat keluarga besar Abah jadi kesulitan berkumpul seperti dulu. “Masa kamu lupa sih mas? Kejadiannya waktu kita makan bersama di rumah Umi. Waktu itu bahkan Umi sampai marah besar dan menampar Rumi saat melihat melalui rekaman CCTV jika dia sengaja membiarkan Nasya terkunci di dalam mobil.” Mas Adi menggelengkan kepalanya. Seperti dia sudah benar-benar lupa tentang kejadian waktu itu. Terlihat sekali dari raut wajah dan kedua bola matanya yang sama sekali tidak berbohong padaku.“Aku beneran nggak ingat dek.” Aneh sekali. Padahal saat itu aku ingat jika Mas Adi j
Hari ini aku dan Mas Adi pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes darah dan makanan yang aku makan di rumah Ibu kemarin. Hasilnya darahku dan makanan itu mengandung jenis racun yang sama yaitu racun arsenik. Hanya satu hal saja yang harus kami lakukan sekqrang. Membuktikan jika racun itu memang ada di rumah Rumi. Entah itu ada di dalam kamar Rumi atau Bu Saroh. Jika kami tidak bisa mendapatkan bukti jika Rumi juga memiliki racun itu, maka percuma saja membuat adik maduku itu buka suara terkait kejahatannya. Jika hanya berdasarkan bukti telpon dan pencarian di markeplace, Rumi pasti bisa mengelak dengan mudah.“Apa kamu sudah melihat rekaman CCTV di rumah Rumi lagi, Mas?” Tanyaku saat kami masuk kembali ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian mobil sudah melaju meninggalkan basemen rumah sakit ini. Menuju ke tempat selanjutnya yang harus kami datangi lagi “Iya. Aku tidak melihat Rumi dan Mama Saroh membawa benda aneh lagi. Rekaman terakhir yang kita lihat bersama kemarin adalah
Sesuai dengan rencana yang sudah di katakan oleh Mas Adi hari ini, ia mengajak Rumi, Rahman dan Bu Saroh makan siang di restoran yang cukup jauh dari rumah Rumi. Setelah Mas Adi pergi, aku memantau layar hp yang menunjukkan rekaman kamera CCTV di rumah Rumi. Tampak Arman yang turun dari mobil lalu segera berjalan menuju teras samping. Ia masuk dengan mudah melintasi halaman rumah karena tidak ada tetangga rumah itu yang sedang ada di luar. Adik sepupuku itu menggali halaman belakang hingga menemukan sebuah kotak kecil. Itu adalah kotak yang sudah kulihat di rekaman CCTV. Karena tidak sabar dengan hasilnya, aku segera menghubungi Arman saat ini juga. “Halo assalamuakaum Man.” “Waalaikusamalm Mbak. Buru-buru amat sih telponnya.” Jawab Arman sambil terkekeh di sebrang sana. Aku hanya bisa berdecak kesal mendengar intonasi suara Arman yang menggodaku. “Iya memang. Cepat buka isi kotak itu.” Perintahku tidak sabaran. “Sabar Mbak. Aku mau duduk di teras dulu.” Terdengar suara langkah ka