Share

Bab 4

Keesokan paginya, Dina dan Reza melangsungkan acara makan pagi seperti biasa. Awalnya, mereka tak bertukar kata dan lebih fokus pada hidangan ringan yang dimasak oleh Dina. Namun, beberapa menit berlalu, wanita dengan kepribadian mandiri dan kuat itu membuka topik obrolan.

"Semalam, kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Dina sembari menyendokkan sayur lodeh ke piring dan mengaduknya dengan sisa nasi yang ada.

"Jam dua belas kayanya." Reza mengira-ngira sambil melahap tempe dengan garpu yang digenggamnya dengan tangan kiri.

Mendengar hal itu, Dina mulai mengingat waktu semalam, dimana dirinya menanti sang suami sekian lama namun tak kunjung hadir. Kala itu, ia sedang berada di kamar mandi untuk menuntaskan buang air kecil. Beberapa menit setelahnya, ia memeriksa ponsel yang menunjukkan waktu pukul setengah dua belas.

Namun, di waktu sesudahnya, saat ia mulai memejamkan mata dan belum benar-benar terlelap, ia tak mendapati suara pintu dibuka, menandakan bahwa suaminya memasuki kamar. Dari sana lah, Dina merasa bahwa suaminya mulai tak jujur.

Setelah hening untuk beberapa saat, Dina kembali bersuara, "Tapi, kok aku engga dengar kamu masuk ke kamar ya, Mas? atau aku cuman mimpi."

Mendengar reaksi dari istrinya itu, mimik wajah Reza yang semula tenang berubah menjadi sedikit panik. Dari kedua manik hitamnya, tersirat rasa gelisah dari perbuatan yang semalam dilakukannya bersama sang sekretaris. Selain itu, ada rasa bersalah yang masih setia menggelayuti hatinya sejak beberapa bulan lalu.

"O-oh, mu-mungkin kamu lagi mimpi, Din. Aku langsung naik ke kamar kok begitu sampai di rumah." Reza sedikit tergagap saat menanggapi ujaran istrinya itu.

Dina yang tak ingin memancing pertengkaran hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Rupanya, ada rasa kecewa yang menyelimuti batinnya karena sang suami yang menurutnya terbilang jujur dan apa adanya mulai mengatakan sesuatu di luar fakta.

Setelah selesai dengan sarapan dan secangkir kopi, Reza pun berpamitan pada Dina yang mengantarnya hingga di pintu depan. Ia juga tak lupa membawa kotak makan siang yang sudah disiapkan oleh wanita yang serstatuskan sebagai istri sahnya itu.

"Aku jalan dulu ya. Kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan buat telpon aku." Reza berujar seraya menepuk bahu Dina lembut.

"Kamu hati-hati di jalan ya, Mas." Dina menanggapi dan menyunggingkan senyum lembut sesudahnya. Meski ada rasa kecewa bercampur curiga yang hadir dalam pikirannya, Dina berusaha untuk tetap tenang sembari mencari solusi yang tepat tanpa menuduh secara terang-terangan.

Dalam hitungan detik, mobil pajero putih milik Reza berlalu dari hadapan sang nyonya rumah. Di saat itu juga, Dina mulai berfokus pada pesanan custom cake yang diterimanya melalui aplikasi chatting, seperti biasanya.

-**-

Di sisi lain, Reza tengah sibuk dengan pertemuan dengan beberapa investor yang dilangsungkan di salah satu restoran bernuansa oriental yang ada di Surabaya Barat. Di tengah ramah tamah berlangsung, Naffa selaku sekretaris terus mengumbar senyuman saat mengunci pandang pada Reza yang tengah menjelaskan profil perusahaan dan beberapa contoh produk yang sudah sangat familiar di masyarakat.

"Lihat saja, Pak Reza. Aku akan membuatmu meninggalkan istri sahmu meski caranya pelan. Setelah itu, semua perhatian dan cintamu hanya akan tertuju padaku saja." Naffa mengukuhkan tekad dalam hatinya untuk merebut Reza dari Dina.

Sementara, Reza yang secara tidak sengaja menangkap senyuman di bibir Naffa berasumsi dalam pikirannya, "Senyuman itu semakin menawan hati ini. Kalau seperti ini caranya, aku harus lebih pandai menyembunyikan perselingkuhan ini dari Dina. Ya, aku harus menemukan caranya segera!"

Setelah menjelaskan seluruh materi presentasi, meeting tersebut ditutup dengan acara makan siang yang diselingi dengan obrolan santai. Reza yang senantiasa tersenyum dan menikmati hidangan pembuka memulai obrolan dengan beberapa investor yang duduk di hadapannya, "Jadi, menurut kalian bagaimana eksistensi dari produk makanan yang didistribusikan oleh perusahaan saya?"

Lalu, seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang bernama Viktor menanggapi, "Menarik. Saya tertarik untuk menanamkan saham di perusahaan Bapak, tapi dengan satu catatan."

"Apa itu?" Reza memicingkan kedua matanya seraya menatap Viktor dengan senyum tipis.

"Ijinkan tim multimedia dari perusahaan saya memperbaiki packaging chicken nugget dari perusahaan Bapak. Hal ini saya anjurkan agar penjualan produk-produk yang beredar meningkat lebih signifikan." Vikto menyarankan sembari membenarkan posisi kacamata tanpa framenya yang mulai turun.

"Baiklah. Itu bisa diatur," tandas Reza dengan senyum melebar. Ia terkesan dengan tawaran dari investor muda yang notabene adalah pemilik perusahaan multimedia ternama di Jakarta.

Kemudian, Reza kembali menerima tanggapan dari investor-investor lain. Dengan senyuman dan suasana hati yang baik, ia menanggapi dengan bijak dan terbuka. Setelah acara tersebut selesai, Reza dan Naffa kembali ke kantor dengan sekelumit pekerjaan yang tertunda.

Namun, sebelum direktur muda itu melanjutkan pekerjaannya, ia memeriksa notifikasi chat pada ponselnya terlebih dahulu. Dari sekian pemberitahuan yang ada, ia mendapati tiga pesan yang dikirimkan oleh sang istri.

Dina:

Mas, udah makan siang 'kan?

Nanti lembur lagi engga?

Aku rindu..

Dalam sekejap, pertanyaan tentang makan siang itu membuat Reza teringat akan lauk yang sudah dikemas pada kotak makan siang yang dibawanya. "Duh, lupa!" Ia menepuk keningnya perlahan dan mulai meraih kotak makan siang yang diletakannya pada laci kedua dari meja kerjanya.

Perlahan, ia membuka kotak makan siang yang berisikan nasi putih dengan lauk ayam goreng yang terlihat sedikit berminyak, lengkap dengan sayur lalapan dan sambal terasi.

"Padahal, aku sendiri yang bawa kotak bekal ini tadi pagi, tapi bisa-bisanya aku lupa dan malah makan di restoran sama Naffa dan para investor! Duh, aku beneran engga enak sama Dina nih kalau pulang makanannya masih utuh." Reza merutuki apa yang sudah terjadi meski hanya sepele.

Di saat yang sama, manager pemasaran yang bernama Handi mengetuk pintu dan berkata, "Pak, ini saya."

"Ya, masuk saja, Han." Reza menanggapi sembari menutup kotak bekalnya dengan segera.

Dalam hitungan detik, pintu ruangan tersebut berderit dan menampilkan sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian formal, kemeja putih mutiara yang dipadukan dengan celana cokelat muda.

"Ini, Pak, laporan penjualan bulan lalu." Handi berujar sembari meletakkan laporan yang dijepret rapi di atas meja atasannya itu.

Hal tersebut ditanggapi oleh Reza dengan senyuman kecil. Kemudian, Handi yang merasa tak memiliki urusan lain memutuskan untuk berlalu dari hadapan bosnya itu. Akan tetapi, sebelum pria berkulit sawo matang itu benar-benar keluar dari ruangan, Reza menahannya dengan berkata, "Han, tunggu!"

Handi pun menghentikan langkahnya dan berbalik arah. "Iya, Pak? Ada hal lain yang bisa saya bantu?"

"Ini, makan siang buat kamu." Reza dengan segera bangkit dari posisi duduk dan menyerahkan kotak bekalnya pada salah satu pegawainya itu.

Handi yang baru pertama kali menerima makan siang dari atasannya melebarkan kedua mata sambil menerima kotak bekal berwarna biru tua itu. "I-ini buat saya, Pak? Yakin?"

"Iya, gratis kok." Reza meyakinkan.

"Wah, terima kasih banyak, Pak. Lain kali, jangan repot-repot belikan makan siang buat saya." Handi menyatakan rasa terima kasih dan sungkannya secara bersamaan.

"Oh, ini bukan beli, tapi makan siang ini buatan istri saya, Han." Reza menyatakan dengan mimik wajah gusar.

TO BE CONTINUED..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status