Sejak dua tahun menikah, suamiku selalu memperlakukanku dengan baik dan romantis. Tapi siapa sangka, di balik manisnya perlakuan, pebisnis mapan itu menyimpan beberapa rahasia kelam yang secara perlahan terendus olehku?!
Lihat lebih banyakDi beberapa hari lain, Dina dan Reza menjalankan kegiatan masing-masing, seperti biasa. Reza sibuk dengan investasi dan pembangunan proyek berskala minor, sedangkan Dina sedang fokus membuat pesanan cake custom, sesuai antrian. Akan tetapi, Naffa dengan hati yang hancur tak bisa fokus dengan pekerjaannya di kantor. Ia berulang kali nyaris salah mengetikkan kata-kata saat akan membalas email. Pikirannya terus tertuju pada Reza dan tentang dirinya yang nanti malam akan menemui Dina. Sebelumnya, ia sudah membuat janji dengan istri sah dari bosnya itu dengan alasan bahwa ia ingin membicarakan hal penting terkait Reza. Selain itu, ia juga berencana untuk mengungkap tentang dirinya yang sedang berbadan dua. "Kalau Reza memang engga mau tanggung jawab dengan janjinya, biar aku yang membuat dirinya menderita atas perbuatannya sendiri," Naffa berucap dalam hatinya, mengukuhkan tekad. Ia tak akan membuat bosnya itu lepas dari masalah begitu saja. Setelahnya, Naffa kembali merapikan ars
Dina pov Pertanyaan yang dilontarkan oleh Anggika sekejap membuatku teringat pada kakak kelasku saat masih berada di fase putih abu-abu. Namun, aku yang tak ingin berurusan dengan pengemudi lain karena menabrak secara tak sengaja memutuskan untuk tak memikirkan tentang laki-laki yang pernah aku kenal sebelum aku bertemu dengan Mas Reza. "Ya, siapa dulu? Masa main kenal gitu aja." Aku melempar pertanyaan pada Anggika dengan kening berkerut, seolah memang tak terpikir untuk membayangkan jika ada seseorang yang jauh lebih baik dari Mas Reza ke depannya. Anggika menatapku dan mengulum senyum kecil. Hal itu aku sadari melalui ekor mataku secara tak langsung. "Ya, siapa aja yang berusaha buat deketin kamu, Din. Mungkin aja, orang yang pernah kamu kenal dulunya," imbuhnya. Aku yang mendengar tanggapan itu hanya bisa menatap datar. Lalu, aku menanggapi, "Tapi, engga semudah itu dalam hal menilai orang baru itu bisa menghargai aku atau engga. Perlu waktu dan banyak kesempatan supaya
Dina pov Ucapan dari kedua temanku ini seketika membuat aku merenungkan tentang hubunganku dan Mas Reza yang masih dikungkung masalah. Dalam hitungan menit, beragam memori yang aku lalui bersama suamiku terlintas di kepala, menunjukkan bila memang sejak dua tahun pernikahan suamiku terlihat manis dan menyenangkan saat di depanku. Hingga, saat memori dimana aku melihat chat di antara suamiku dan sekretaris yang belum dipecatnya itu, aku mulai meneliti satu hal yang mungkin menyebabkan Mas Reza masih saja menanggapi chat dari wanita tak tahu diri itu. Lalu, aku kembali mendengar suara Lina, "Din? Kamu kok diem?" Aku pun tersadar dan menanggapi, "Ah, aku kayanya memang harus make over. Mungkin potong rambut atau perawatan wajah." Ucapanku itu ditanggapi dengan dua ibu jari oleh Anggika. "Nah, gitu dong. Yang namanya ibu rumah tangga, memang harus merawat diri juga di sela sibuknya urus rumah sama suami," tambahnya dengan senyum merekah yang mengandung semangat, membuat rasa pesi
Reza pov "Rez, kita mau ke mana? kok dari tadi aku tanya, kami engga jawab?" Suara Naffa kembali terdengar bersama dengan deretan pertanyaan terlontar. Hal itu membuatku terpaksa menanggapinya tanpa menatap karena aku sedang fokus melajukan mobil di jalan raya yang kondisinya terbilang padat tapi lancar. "Ke rumah sakit." Aku menjawab singkat. "Buat apa, Rez?! aku memang beneran hamil anak kamu. Aku engga bohong," tandas Naffa dengan nada yang sedikit tinggi. Tentu, hal itu membuatku semakin gemas. Ingin rasanya aku mengumpat, tapi hal tersebut aku tahan terkait dengan reputasiku sebagai pengusaha muda dan sukses di bawah umur 40 tahun. "Iya, aku tahu, tapi sekalian juga ngecek usia janinnya udah berapa minggu," sambungku dengan air muka kusut sambil menekan tombol klakson pelan. "Oh, aku pikir kamu engga percaya." Naffa yang semula meninggikan nada bicaranya perlahan merendahkan intonasi suaranya dan meraih tangan kiriku pelan. Kemudian, ia kembali bersuara, "Kamu uda
Dina pov Di malam harinya, tepat di pukul 12.00, aku yang belum cukup lelah tak dapat memejamkan mata dan terlelap. Seketika itu juga, aku teringat untuk memeriksa ponsel milik suamiku untuk mengetahui apa saja yang dilakukannya selama mengawasi pembangunan supermarket di Malaysia. Dengan gerak-gerik pelan, aku meraih benda pipih itu dari nakas sebelah kiri. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengatur ponsel milik Mas Reza dengan mode diam. Hal ini aku lakukan agar pemeriksaan chat pada aplikasi messaging miliknya bisa lebih leluasa, terutama bila ada telepon atau chat masuk, nada deringnya tak menyebabkan suara bising. Kemudian, aku mulai beraksi dengan memasukkan pin pada ponsel suamiku yang terdiri atas tanggal ulang tahunku. Dalam beberapa detik, ponsel buatan Negeri Tirai Bambu ini menampakkan tampilan desktop pulau tropis dengan pantai yang menyejukkan mata. Lalu, aku langsung memasuki menu dengan sejumlah halaman yang menampilkan beberapa aplikasi, termasuk aplikasi
Reza pov Kata-kata yang meluncur dari bibir Naffa terasa seperti sambaran petir di tengah teriknya mentari pagi. Aku memang berencana untuk memiliki keturunan, tapi bukan dengan Naffa, melainkan dengan istri sahku, Dina. "Apa? Kamu hamil?!" Aku menekan nada bicaraku sambil memastikan jika aku tak salah mendengar. "Iya, Rez. Aku hamil anak kamu." Naffa mengangguk tanpa melepaskan tatapannya padaku. Sorot mata hitamnya menyiratkan kejujuran yang membuatku seolah sedang bermimpi. Aku pun meletakkan sendok plastik di dalam kotak nasi yang sudah kosong dan menggeleng pelan. "Engga. Kamu bercanda 'kan, Naf?? Kamu engga mungkin hamil sama aku," ujarku dengan tatapan tak yakin. "Tapi, memang aku hamil, Rez. Ini buktinya," Naffa masih kukuh dengan perkataannya sambil menyerahkan test pack yang menampilkan dua garis merah secara jelas. "DEG..DEG.." Degup jantungku berdetak lebih cepat saat melihat dua garis merah pada alat kontrasepsi yang diberikan oleh Naffa. Bersama dengan d
Di hari berikutnya, ketika Reza sudah tak ada di kamarnya, Naffa yang baru selesai membersihkan diri segera mengenakan kaos crop top berkerah dengan warna cream dan celana cargo berwarna cokelat tua. Kemudian, ia juga memoleskan sedikit make up pada wajahnya yang masih terlihat sedikit pucat. Sebagai sentuhan akhir dari polesan bedak dan blush on di wajahnya, Naffa menambahkan lipstik berwarna peach pada bibir penuhnya agar terlihat lebih segar dan lembab. Usai membawa uang secukupnya pada dompet kecil, ia berlalu keluar dari kamar hotel. Memasuki elevator dan tertutupi dengan pelanggan-pelanggan hotel yang lain, Naffa sesekali memeriksa notifikasi chat di ponselnya. Sepertinya, ia khawatir jika Reza secara tiba-tiba menghubungi dan membutuhkan bantuannya. "Yang jelas, sebelum meeting itu selesai, aku harus udah ada di kamar, jadi Reza engga introgasi atau kebanyakan tanya ke aku," Naffa mengingatkan dirinya untuk lebih mawas diri dan lolos dari investigasi atasannya itu.
Reza Pov "Eng-engga kok, Naf," Aku menanggapi dengan sedikit tergagap. Alasannya, bukan karena Naffa terlihat cantik atau manis, melainkan sekretarisku ini semakin berani menampakkan lekukan tubuhnya lewat kimono hijau tua berbahan satin yang terkesan elegan serta seksi secara bersamaan. Secara teknis, aku sudah berulang kali melihat tubuhnya secara utuh saat bercinta. Akan tetapi, entah kenapa, aku selalu merasa tergoda bilamana wanita ini mengenakan pakaian yang menonjolkan buah dada atau bagian pahanya yang mulus bak super model kelas dunia. "Kok gagap gitu? kenapa, Rez?" Naffa menatapku dengan kedua mata terpicing. Bersamaan dengan tatapannya itu, Naffa merapikan kimononya yang tersingkap dan menampakkan gundukan dadanya yang semakin besar menurutku. Dalam sekejap, mimik wajah keheranan itu berganti menjadi senyuman nakal dan tatapan menggoda padaku. "Oh, kamu gugup gara-gara bajuku ya, Rez?" tanyanya dengan suara serak yang menggoda. Aku pun meletakkan ponsel dan ba
Di malam harinya, setelah Naffa dan Reza menyudahi pertemuan dengan koordinator pembangunan supermarket, keduanya memutuskan untuk kembali ke hotel, mengingat rasa lelah telah menguasai tubuh masing-masing. Namun, sebelum keduanya terpisah, Naffa sempat merasakan pusing dan nyaris limbung. Kala itu, Reza yang menyadarinya langsung memapah sekretarisnya itu hingga tiba di kamar. "Ra-sanya pu-sing," gumam Naffa terpatah-patah sambil duduk di sofa dan memijat pelipisnya pelan. "Sebentar," ujar Reza yang mulai meraih kotak obat milik Naffa. Baik tangan dan juga kedua manik matanya sibuk mencari keberadaan obat sakit kepala yang berada dalam plastik khusus, tapi tak kunjung terlihat. "HUW-HUMPH.." Di saat yang sama, Naffa merasa bahwa perutnya merasa kurang nyaman. Mendengar suara tersebut, Reza pun langsung membawa Naffa menuju kamar mandi yang berada di sisi kiri kasur berukuran queen size. Di ruangan berukuran sedang dan lebar, wanita bersurai cokelat gelap itu memuntahkan s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.