Share

Bab 2

Reza Pov

Pagi ini, seperti biasa, ku jalani tugasku sebagai wakil direktur dari salah satu perusahaan yang bergerak di bidang retail makanan modern yang terkenal di Indonesia.

Awalnya, aku sangat fokus dengan analisa laporan penjualan yang dikirimkan oleh staff marketing pada email kantor yang tampil di browser. Namun, di tengah kegiatan itu, konsentrasiku teralihkan pada sosok Naffa, sekretarisku yang berusia di kisaran dua puluhan dan memiliki paras manis bak bintang film dewasa.

Naffa yang mengantarkan surat proposal proyek tampak menawan dengan kemeja putih formal dengan kerah tinggi yang dihiasi dengan dasi panjang berwarna senada pada bagian depan. Kemeja yang menampakkan lekuk tubuhnya tersebut juga dipadukan dengan bawahan kantor berwarna coklat muda yang stylish, membuat kharisma dari wanita anggun itu semakin terpancar jelas.

Sembari menyerahkan proposal proyek padaku, wanita dengan rambut bergelombang berwarna kecoklatan itu menyunggingkan senyum dan berujar, "Silakan diperiksa dulu proposal proyeknya, pak."

Aku pun mengalihkan pandang dari laptop padanya. Perlahan, ku raih proposal yang diletakkan di meja dan mulai membaca setiap detail yang tertulis jelas di setiap paragraf dan bagian. Di saat diriku sedang mencerna maksud yang terkandung dalam susunan kalimat, suara dari Naffa kembali terdengar oleh kedua daun telingaku.

"Istri bapak masih sibuk?" Naffa bertanya sambil duduk di kursi dan menyilangkan kedua kaki jenjangnya.

Aku pun menjeda kegiatan membacaku dan menanggalkan kacamata seraya menjawab, "Yah, masih, tapi udah engga terlalu, Naf."

"Perlu saya temani seperti tiga minggu lalu?" Naffa kembali melayangkan pertanyaan sembari bangkit dari kursi dan menghampiri diriku yang masih duduk di kursi kerja dengan santai.

Pertanyaan itu sukses membangkitkan ingatanku akan malam panas yang sudah ku lalui bersama Naffa di kantor. Di saat ingatan itu muncul, tanpa ku sadari, jarak di antara Naffa dan diriku kini cukup dekat. Ia mulai berlutut dan menyunggingkan senyum miring sambil menatapku dengan sorot mata liar, mengisyaratkan jika dirinya ingin bercumbu denganku.

"Atau mungkin, bapak mau mini service?" Naffa kembali bertanya padaku sembari mendaratkan tangannya pada kepala sabuk yang mengunci sempurna di tengah celana bahan yang ku kenakan. Lalu, sentuhan itu perlahan membelai lembut senjataku yang masih tertidur di balik dalaman.

"M-mini s-service?" Aku tergagap saat jemari lentik milik Naffa semakin nakal bermain di area pribadi yang perlahan bangkit meski belum begitu menonjol.

"Bapak jangan terlalu naif, deh." Naffa membalas dengan senyuman nakal dan mulai mengusap senjataku yang mengeras sekilas. Lalu, ia mulai membuka sabuk dan celanaku secara agresif.

Wajahku yang kini memanas bercampur dengan semburat merah terbaluri dengan bulir-bulir keringat yang bermunculan. Saat celana bahanku terlepas, Naffa mulai mengocok senjataku yang mengeras dan menonjol jelas di balik boxer yang ku kenakan.

Aksi yang berawal dari sekedar kocokan itu beralih menjadi kegiatan service menggunakan mulut yang sangat terampil. Sesekali, jemari lentik milik sekretarisku memainkan dua buah zakarku pelan.

"Ahh, l-liarrhh.." Aku mendesah nikmat saat Naffa mulai menyesap senjataku yang mengeras dan memaju-mundurkan kepalanya dengan tempo sedang.

Ketika lenguhan baru saja lolos dari bibirku, ku dengar suara ketukan di luar pintu ruangan. Hal itu sontak membuat diriku panik bercampur bingung. Naffa yang masih sibuk bermain dengan senjataku yang masih belum melakukan pelepasan mengeluh sembari berbisik, "Siapa sih itu? ganggu banget."

"Mungkin tamu, Naf," jawabku dengan suara kecil.

"Kita tuntasin dulu, Pak." Naffa kembali berbisik dengan tatapan penuh harap padaku.

Aku menggeleng pelan dan mulai menepikan tangan sekretarisku dari senjataku yang masih mengacung.

"Nanti malam aja, Naf. Aku takut kita tertangkap basah," sambungku sembari menaikkan celana dalam dan mulai mengancing celana luar perlahan.

"Tapi nanggung lho, Pak." Naffa berusaha membujukku dengan bibir mengerucut yang membuat paras cantiknya terlihat lebih imut dan menggoda.

"Iya, aku paham, Naf. Nanti malam kita lanjutin, oke?" Aku berujar lembut sembari melayangkan usapan pada pucuk kepala Naffa dengan tatapan meyakinkan.

Naffa pun tak kunjung merubah ekspresi wajahnya yang mengerucut meski dirinya menuruti permintaanku. Lalu, saat aku telah selesai merapikan kemeja dan celana, ku minta dirinya untuk berlindung di bawah meja kerjaku tanpa bersuara. Setidaknya, dia harus tetap di sana sampai tamuku selesai menuntaskan urusannya di ruangan ini.

Lalu, aku duduk dengan tenang, seperti biasa dan berusaha terlihat sibuk. Di beberapa detik kemudian, aku berteriak, "Masuk, pintunya engga dikunci."

Sesaat, usai aku melayangkan perintah tersebut, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok wanita yang masih menduduki tahta tertinggi di hatiku dari sekian wanita-wanita yang pernah singgah dan berlalu begitu saja.

Aku yang mendapati sosok anggun tersebut membulatkan kedua mata dan berujar, "Tumben kamu ke kantor?"

"Aku mau ajakin kamu makan siang berdua, Mas. Kebetulan, aku masak menu kesukaanmu tadi." Dina berujar seraya menunjukkan dua kotak bekal yang dibawanya dengan kantong kain.

Aku yang mendengar hal itu merasa tersanjung karena sudah lama tak memperoleh perhatian dari istri yang sangat ku cintai.

"Wah, kamu bisa baca pikiranku ya ternyata. Aku udah lama lho mau makan masakanmu." Aku meraih tangan kiri dari istriku seraya menyunggingkan senyum manis sebagai tanda bahwa aku menghargai perhatian yang kali ini diberikannya meski sebenarnya rasaku padanya sedikit pudar akibat kehadiran Naffa saat dirinya lebih memilih kesibukannya.

Setelah sedikit berbasa-basi, aku dan Dina memutuskan untuk menikmati menu makan siang yang dikemas apik di dalam kotak bekal. Sesekali, aku dan dia bertukar pandang dan senyuman selayaknya remaja yang baru saja jadian meski secara harafiah aku dan istriku ini terikat dalam ikatan pernikahan yang sah secara hukum dan agama.

Di sela kegiatan bersantap siang itu, saat lauk di kotak bekalku nyaris habis, Dina kembali memanggilku, "Mas?"

"Iya, Din?" Aku menanggapi langsung seraya menatap wajahnya yang terlihat ragu bercampur takut.

"Meski aku sibuk dan kurang perhatian sama kamu, tolong jangan cari hiburan di luar sana ya." Ia meneruskan kata-katanya dengan tatapan memohon. Hal itu membuatku tidak tega sekaligus merasa bersalah. Penyebabnya, karena aku sudah bermain api di belakangnya. Bahkan, sebelum peringatan itu meluncur, aku sudah menodai janji suciku dengan dirinya.

Kemudian, aku merangkul bahunya lembut dan meyakinkan, "Tenang aja, Din. Aku engga pernah macam-macam di belakangmu. Buktinya, sampai hari ini, rumah tangga kita baik-baik aja 'kan?"

Istriku yang berwajah tirus dengan mata besar ini langsung menyandar pada bahuku. Rupanya, ia merasa takut jika diriku bermain gila dengan wanita lain saat dirinya tak bisa memenuhi apa yang ku inginkan. Akan tetapi, memang seperti itu lah kenyataannya. Aku sengaja tak memberitahu apa yang sudah terjadi padanya agar dirinya tidak terlalu terpuruk dan meninggalkanku.

TO BE CONTINUED..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status