Share

Di Balik Romantisnya Suamiku
Di Balik Romantisnya Suamiku
Penulis: Fransiscaroom

Bab 1

Di suatu pagi, dengan langit biru muda dan sinar matahari yang tidak terlalu terik, seorang wanita berusia 27 tahun tengah sibuk menyiapkan kotak bekal makan siang.

Dengan mengenakan celemek merah muda berhiaskan bunga-bunga putih, wanita dengan rambut hitam bergelombang tergerai itu berkutat dengan pisau dan beragam lauk yang dipotongnya berbentuk hati dan aneka bentuk lainnya. Setelah selesai, ia menata lauk-lauk tersebut di atas nasi daun jeruk yang sebelumnya sudah diletakkan ke dalam kotak bekal persegi empat berukuran tanggung.

"Bu Dina, apa bekalnya sudah siap?" tanya seorang wanita dengan daster berwarna hijau muda dan rambut yang digulung di atas. Wanita yang memiliki kulit sawo matang itu menanti jawaban dari majikannya yang biasa disapa sebagai 'Bu Dina' itu.

Lalu, sang majikan menanggapi, "Sudah, Mbak. ini tinggal dimasukin ke paper bag."

"Oke, Bu. Saya bookingkan ojek onlinenya ya?" tawar wanita berkulit sawo matang itu dengan senyum kecil sembari meraih ponsel dari kantung daster yang dikenakannya.

"Ah, engga perlu, Mbak Ratri. Habis ini, saya antar sendiri ke kantor Bapak," tolak Dina halus dengan senyum lembut yang tersemat pada wajah tirusnya yang rupawan.

Mendengar jawaban tersebut, wanita yang sudah bekerja sebagai pembantu di rumah itu cukup penasaran dengan perilaku sang nyonya rumah yang bersedia untuk mengantarkan makan siang di hari itu. Pasalnya, Dina terbilang cukup jarang jika harus mengantar makan siang ke kantor suaminya secara langsung. Wanita yang dulunya berprofesi sebagai customer service di salah satu bank swasta tersebut kini memilih untuk membuka bisnis rumahan yaitu Cake Custom yang cukup menyita waktu sehari-harinya di rumah.

"Bu Dina tumbenan mau antar makan siang ke kantor Bapak. Apa Ibu lagi pengen makan bareng berdua sama Bapak ya? biasanya beliau selalu fokus dengan pesanan custom cake yang engga begitu banyak. Hari ini juga ada beberapa pesanan yang harus dibuat, tapi kayanya Ibu santai banget." Wanita dengan daster hijau muda itu bertanya-tanya seraya berujar dalam hati tentang perilaku dari majikan perempuan yang sangat disegani dan dihargainya itu.

-**-

Dina Pov

Akhirnya, setelah merintis usaha sekitar satu tahun, aku bisa jauh lebih santai dalam menyeimbangkan waktu kerja dan rumah tangga. Memang, hari ini ada beberapa pesanan custom cake yang bisa saja ku tuntaskan.

Namun, pesanan-pesanan itu akan diambil di minggu depan. Hal tersebut tentunya membuatku sanggup untuk mengantar makan siang untuk suami di kantor.

Usai menata hidangan di dalam kotak bekal dan memasukkan kotak tersebut, aku langsung bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian dan berdandan. Rencananya, aku akan memberikan kejutan pada Reza yang dalam dua bulan ini memang kurang ku perhatikan kebutuhannya. Selain itu, aku juga terlalu sibuk untuk meluangkan waktu berduaan. Sehingga, kali ini, ku anggap aku menebus setiap waktu dan perhatian yang pernah ku lewatkan untuknya.

Dengan mengenakan kardigan berwarna cream yang dipadukan dengan tanktop berwarna merah marun dan bawahan jeans gelap, aku melangkah keluar dari rumah sembari membawa kantong kain berisikan dua kotak bekal. Lalu, aku memasuki mobil putih dan mulai menyalakan mesin mobil perlahan.

Beberapa menit kemudian, aku melaju meninggalkan area perumahan yang berlokasi di jalan Boulevard, Surabaya Barat. Dengan hati yang tenang berselimutkan rasa antusias, aku mengemudi dan fokus pada keramaian jalan raya di siang hari yang terpantau lancar.

Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil yang ku tumpangi, mendarat di parkir basement. Dengan santai, aku keluar dari mobil dengan membawa kantung kain berisikan kotak bekal. Melalui pintu belakang, aku menaiki tangga dan memasuki elevator yang biasa membawaku menuju lantai sepuluh, tempat ruangan suamiku yang menjabat sebagai wakil direktur berada.

"TING.." Elevator yang ku tumpangi bersama beberapa pegawai lainnya terbuka. Saat semua penghuni berhambur keluar, aku pun turut serta.

Beberapa dari pegawai yang mengenal diriku sebagai istri dari wakil direktur di kantor menyapa. Bahkan, mereka melayangkan senyum manis sembari berbasa-basi di saat diriku melewati meja kerja mereka yang berderet dan berdekatan satu sama lain.

Beberapa menit kemudian, aku tiba di depan pintu ruang kerja Reza. Sembari mengulum senyum, aku bersiap untuk mengetuk pintu. Akan tetapi, niatku urung dikarenakan suara erangan dan desahan yang secara tiba-tiba terdengar dari dalam ruangan.

"Ahh, l-liarrhh.." Suara desahan dari laki-laki yang sangat ku cintai terdengar jelas. Aku yang masih terpaku di depan pintu menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang ku dengar bukan lah suara dari Mas Reza.

"Suara itu sangat mirip dengan suara Mas Reza, tapi untuk apa dia mendesah begitu? apa yang dilakukan Mas Reza di dalam sana? Ah, mungkin aku salah dengar. Aku harus bertanya sendiri pada Mas Reza sebelum menarik kesimpulan," ucapku dalam hati sembari menenangkan pikiran yang mulai memunculkan asumsi negatif tanpa bukti yang jelas.

Lalu, aku mulai mengetukkan buku jari tanganku pada pintu berwarna coklat tua di hadapanku perlahan, "TTOOKK..TOOKK..TOOKK.."

"Masuk, pintunya engga dikunci." Suara tenor milik Mas Reza berujar dari dalam.

"CKLEEKK.." Aku memutar knop pintu yang bergaya interior modern dengan kunci kuningan emas dan cover hitam berdesain minimalis.

Saat pintu terbuka, aku melihat sosok suami yang sangat ku hormati kini sedang duduk di balik meja kerja dengan senyum mengembang sembari melempar tatapan hangat pada diriku. "Eh, tumben kamu ke kantor, Din," ucapnya seraya mengembangkan senyum dan bangkit berdiri dari kursi kerja kesayangannya.

Aku memasuki ruangan dan menutup pintu perlahan sambil menanggapi, "Aku mau ajakin kamu makan siang bareng, Mas. Kebetulan, tadi, aku masakin menu kesukaan kamu."

Mas Reza pun dengan segera meraih tangan kiriku dan menuntunku untuk duduk di sofa yang berada di depan meja kerja. "Wah, kamu bisa baca pikiranku ya, Din. Udah lama banget aku pengen makan masakan kamu," tandasnya sembari mengusap punggung tanganku dan menciumnya lembut.

Mendapat perlakuan dan respon seperti itu membuat hati ini menghangat dan merasa sangat bersyukur. Aku yang notabene cukup sibuk dan jarang meluangkan waktu untuk suami sebaik Mas Reza masih diberi kesempatan untuk mengecap nikmatnya kesetiaan serta tanggung jawab dari seorang suami dan harmonisnya rumah tangga yang sedang berjalan.

Dalam kata lain, aku merasa sangat beruntung karena telah menerima Mas Reza sebagai partner hidup yang selalu mendukung serta mengarahkanku menjadi pribadi yang baik. Meski kami belum dikaruniai buah hati, kami tetap menjaga kehangatan dan komunikasi dalam rumah tangga di tengah kesibukan-kesibukan yang menerjang. Setiap harinya, aku terus berharap jika bahtera rumah tangga yang ku arungi bersama Mas Reza semakin manis meski waktu bermesraan di antara kami terbatas.

"Din? Dina??" Suara tenor milik Mas Reza memanggil namaku perlahan.

Aku yang tenggelam dalam pikiran sendiri tersadar dan mulai menatap wajah tirus suamiku dan menanggapi, "Eh, iya Mas? Ada apa?"

"Kita jadi makan 'kan? kamu lagi mikirin apa sih? Kok bengong gitu."

"A-anu, aku kepikiran soal kamu, Mas." Aku menanggapi dengan tergagap sembari melepas kaitan tangan Mas Reza dan mulai mengeluarkan dua kotak bekal beserta dua pasang peralatan makan yang ku siapkan dari rumah.

"Ada apa, hm?" Mas Reza kembali bertanya sembari melayangkan usapan lembut pada kepalaku, usapan yang selalu sukses membuat jantungku berdebar-debar layaknya mengikuti kegiatan lari marathon.

"Aku merasa bersalah aja sama Mas belakangan. Aku jarang ada waktu buat Mas dan lebih belain ngurus usaha." Aku berterus terang pada Mas Reza dengan tangan yang kini membuka penutup kotak bekal dan menyerahkan kotak tersebut padanya.

Mas Reza menerima kotak bekal dari tanganku dan menanggapi, "Udah, Din. Kamu engga usah terlalu mikirin yang udah lalu. Mas ngertiin kondisimu kok."

"Iya, aku paham, Mas. Aku cuman takut kalau Mas merasa kesepian dan cari hiburan di luar sana waktu aku sibuk." Aku kembali mengutarakan isi hati yang sempat bersemayam seminggu lalu. Isi hatiku itu bahkan sempat membuatku berimajinasi jika Mas Reza berselingkuh di saat aku tak bisa menemaninya di hari libur.

Usai diriku berujar secara gamblang, Mas Reza menatapku lekat. Kedua manik mata coklat yang menjadi daya tarik pria berusia tiga puluh tahunan itu kembali membius hati yang selalu mengobarkan rasa padanya.

TO BE CONTINUED.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status