Jodoh Titipan untuk Delyna

Jodoh Titipan untuk Delyna

By:  lnpgirl  Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
4 ratings
19Chapters
183views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Aku merasa sangat yakin tentang bagaimana segala sesuatu seharusnya terjadi. Hingga akhirnya 'luka' membuatku mengerti bahwa aku hidup di dalam ketidakpastian, termasuk kehadiran Nobel Danerson di dalam hidupku.

View More
Jodoh Titipan untuk Delyna Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
default avatar
ratarajay686
Bolehhhh. lanjut min.
2024-05-29 20:30:07
0
user avatar
saniaciaaa
Mari kita baca...
2024-05-25 20:38:40
0
user avatar
Lina Dian
semoga ceritanya menarik
2024-05-24 15:06:59
2
user avatar
saniaciaaa
Bolehlah ceritanya masuk rak
2024-05-21 12:44:54
2
19 Chapters
Kehilangan
Aku masih tersenyum sembari menjabati tangan setiap orang yang datang ke rumahku. Di dalam pikiranku, aku merasa mereka sangat aneh. Mereka menatap aku dengan wajah iba, dan suara bisik-bisik pun masih mampu kudengar dari beberapa orang yang ke luar masuk dari rumahku. "Kasihan ya istri dan anaknya," "Saya ga yakin Bu Helda dan anak-anaknya bisa bertahan setelah kepergian Pak Satyo," "Memang umur ga ada yang tahu ya, Mbak," "Kasihan, padahal Pak Satyo masih cukup muda," Kalimat-kalimat itulah yang sedari tadi tertangkapku di pendengaranku. "Delyna, kau tak perlu berpura-pura kuat. Menangis bukanlah satu hal yang menjijikkan," aku mendengar perkataan itu dari Dennis, pemuda yang menjadi tetanggaku sejak dua tahun belakangan ini. Aku mengerutkan keningku. Aneh sekali, pikirku. "Delyn, tante tahu kamu anak yang kuat, tapi kehilangan sosok yang paling kamu sayang itu tentu tidak akan mudah. Tetaplah tersenyum jika itu yang membuatmu merasa baik." Tante Rina yang adalah salah satu r
Read more
Belajar Kuat
Hari demi hari berhasil aku dan keluargaku lewati. Bohong jika tak ada yang berubah. Ruang keluarga yang sepi, meja makan yang tak sehangat biasanya, senyum ibu yang terlihat rapuh, dan cibiran tetangga yang mengharuskan aku, mama, dan Bang Raymoon menutup telinga rapat-rapat. *** "Ibu-ibu sudah dengar belum cerita tentang Bu Ida? Suaminya kepergok selingkuh sama janda kampung sebelah," berita yang disampaikan Bu Aro pagi ini terdengar sedikit panas di tengah-tengah kegiatan memilih bahan masakan. Ibu-ibu lainnya menyimak dengan serius, "Ah yang benar Bu Aro? Masa iya Pak Joko selingkuh? Kelihatannya Pak Joko dan Bu Ida mesra-mesra aja tuh," timpal yang lainnya. "Iya, saya juga ga percaya ah. Pak Joko itu kelihatan sayang banget kok sama Bu Ida. Kayaknya Bu Aro dapat berita bohong itu," ucap lainnya yang masih belum percaya. "Itukan kelihatannya doang. Bisa jadi mesranya Pak Joko selama ini justru buat nutupin kelakuan busuknya dia," ucap Bu Aro. Tak jauh dari perkumpula
Read more
Seandainya
Tadinya aku ingin naik angkutan umum dan segera pulang ke rumah sebelum jadwal masuk kerjaku tiba. Tapi entah mengapa aku tiba-tiba merindukan papa dan Cito. Bukan berarti di hari sebelumnya aku tak merindukan mereka, tapi hari ini rasa rinduku semakin menjadi-jadi. Kuurungkan niatku untuk segera pulang. Aku menaiki angkutan umum yang berbeda dari biasanya. Ya, tujuanku adalah mengunjungi makam kedua pria yang sangat kusayangi, papa dan Cito. Langkahku melemah ketika tiba di pemakaman. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Aku benci mengapa aku harus ada di tempat ini. Tempat yang tak pernah kusangka akan menjadi tempat di kala aku merindukan papa dan Cito. Biasanya ketika aku merindukan papa yang sedang berada di luar kota atau merindukan Cito yang tengah sibuk dengan kegiatan OSIS, aku hanya akan menunggu sampai mereka menghampiriku, tapi sekarang... "Semoga aku kuat," ucapku dalam hati. Rumah baru papa tak begitu jauh dengan Cito, jadi itu memudahkanku untuk mengunjungi kedua
Read more
Insiden
"Mas, saya perhatiin dari tadi mas ini ngelihatin saya terus, emangnya ada yang salah ya dari saya?" tanyaku dengan suara yang kubuat sejudes mungkin.Sebenarnya aku tak bermaksud berkata selantang itu, apalagi mengingat tempat kami berada saat ini. Tapi aku ingin dia tahu bahwa apa yang ia lakukan tak sopan, dan membuatku tak nyaman. Pria itu justru tampak mengerutkan keningnya setelah melangkah mundur 2 langkah secara perlahan."Ngomong sama saya, Mbak?" tanya pria itu dengan wajah datar yang berhasil membuatku tak menyesali perbuatanku barusan. "Lah, jelas-jelas saya berdiri di depan Mas, masa iya saya ngomong sama tembok!" ucapku kesal dengan pertanyaan pria itu. Iya, pria yang berhadapan dengan Delyna saat ini adalah Nobel Danerson. Pria yang juga tadi siang melihatnya di pemakaman.Nobel tertawa seolah meremehkan omelan gadis di depannya ini."Anda memang terlahir begitu percaya diri, ya?" sontak saja ucapan pria itu membuatku semakin jengkel."Enak saja dia mengatakan sepert
Read more
Mereka Tak Tahu
Seperti biasa, aku memasuki kelas di menit-menit terakhir sebelum bel berbunyi. Kurang lebih selama satu bulan belakangan ini aku memang sengaja datang lebih lama agar aku tak begitu bosan di dalam kelas (dibaca: agar aku tak begitu merindukan Cito). Hari masih pagi, namun telingaku lagi-lagi harus mendengar bisik-bisik dari beberapa murid di sekolah ini, apalagi jika bukan tentang aku dan mendiang Cito. Aku takut jika stok kesabaranku menipis hanya karena mulut sampah mereka. "Cih! Mereka tidak ada di dalam perjalanan hubunganku dengan Cito, tapi bisa-bisanya mereka berbicara seolah mereka ada di sana, sialan!" gumamku dengan wajah kesal setelah aku menjatuhkan bokongku di bangkuku."Good morning, Delyna Alicia! Ada apa gerangan, sih? Masih pagi tapi muka kamu udah asam begitu," tukas Alia yang baru saja tiba di sebelahku. Aku mendengus, mencoba menetralisir kekesalanku. "Ya gimana aku ga kesal, Lia. Sudah hampir satu bulan Cito meninggalkan kita semua, tapi bisa-bisanya manusia-m
Read more
Dia, Siapa?
Aku menatap Alia dengan kening yang mengerut. Tak biasanya temanku ini diantar oleh seorang pria selain ayahnya, pikirku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang tengah membonceng Alia karena pria itu mengenakan helm, ditambah lagi aku melihat mereka dari arah yang berseberangan. 'Apa diam-diam Alia sudah memiliki kekasih?'Aku bertanya pada diriku sendiri sambil terus melangkah memasuki gerbang sekolah. Dari postur tubuh pria itu, rasanya aku tak mengenalnya. Ah, entahlah, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri hingga tak mengenali banyak orang di sekolah ini.***Kulihat wajah Alia seperti biasa saat memasuki kelas. 'Tak terlihat jika kupu-kupu tengah menghinggapi hatinya,' pikirku dalam hati. Aku menunggu Alia mengucapkan hal lain selain sapaan selamat pagi dan pertanyaan mengenai tugas sekolah, seperti biasa."Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Lia?" tanyaku setelah bosan menunggu Alia berterusterang.
Read more
Gadis dalam Surat
Alia menjelaskan hari dimana ia hampir saja terlambat karena bangun kesiangan. Dan tiba-tiba saja seorang pria dengan seragam yang sama dengannya berhenti tepat di depan dirinya, dan dengan ramahnya menawarkan tumpangan -siapa lagi jika bukan pria bernama Nobel Danerson-Tak ada percakapan yang begitu berarti antara keduanya di sepanjang perjalanan, bahkan pagi ini pun tidak."Ya kuakui, sejak pandangan pertama aku memang sangat terpukau dengan ketampanannya, namun sepertinya aku bukan tipe wanita yang ia suka." Alia berucap seraya menopang dagunya."Kenapa kau bicara begitu?""Kalau aku memang tipenya, kurasa dia tidak akan membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa mengobrol denganku."Aku menatap geli ke arah Alia. Dia terdengar lebih melow dengan pembahasan kali ini. "Aku berharap semoga tak akan pernah bertemu lelaki itu secara personal."Alia tertawa kecil. "Kurasa kau akan menyesali ucapanmu yang ini, Delyna."***Jariku masih sibuk mengotak-at
Read more
Kuantar, Ya?
Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan."Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap."Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap.Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu.Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa
Read more
Pesonamu
Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Hm... ya karena aku mau aja," ucapku dengan santai. "Gak ada istilah turun di tengah jalan! Udah, buruan naik! Nanggung amat nganterin anak gadis orang cuma sampai di rumah kedua kayak gini." Ucap Nobel yang segera kembali menaiki motornya.Aku menggeleng dengan cepat. "Gak, ga usah! Aku mau turun di sini aja. Sudah, kau lebih baik pulang. Hah, udah malam juga, sana!" aku mengayun-ayunkan tanganku seperti gerakan mengusir."Justru karena ini udah malam, Del. Ibuku pernah bilang, kalau mau jemput atau ngantar anak gadis orang ga boleh di depan gang. Harus sampai ke rumah. Aku hanya ingin menuruti nasihat ibuku."Aku tak terenyuh sedikit pun meski Nobel sudah mengoceh panjang lebar."Ayolah, kumohon jangan terlalu batu, Delyna! Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sampai di rumah dengan keadaan selamat." Nobel menghela napasnya kasar."Naik, Del, buru!" kali ini suara Nobel yang melembut membuatku sedikit goyah.Sungguh, mengapa Nobel bersikeras m
Read more
Bersama Niel
Aku menatap jijik pada pria di hadapanku ini. Mungkin kini aku benar-benar menyesali keputusanku berterima kasih secara langsung padanya. Terima kasih-ku harusnya kusimpan sendiri di dalam hatiku."Kumohon buang rasa percaya dirimu itu jika kau sedang berhadapan denganku! Aku hanya ingin mengatakan bahwa wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di supermarket." Aku memutus tatapan begitu saja dari Nobel. Nobel tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan senyum itu lebih tipis dari pada kesabaranku."Apa wajahku sungguh pasaran?""Kurasa begitu. Sudahlah, lebih baik kau segera pulang. Kurasa tak ada gunanya berdiskusi dengan pria aneh sepertimu! Dan satu lagi, kurasa pria yang kutemui kemarin tak lebih buruk darimu!" ucapku dengan tatapan sinis."Apa menurutmu yang barusan itu adalah bentuk diskusi, Del?"Aku mengidikkan bahuku acuh tak acuh. "Lebih cepat kau pulang, maka akan lebih baik! Pergilah!"Aku memutuskan untuk segera melan
Read more
DMCA.com Protection Status