Kepergian yang mendadak Hasan dan Aina harus tertunda karena tidak mendapat tiket pesawat, apalagi akhir pekan seperti ini, yang tadinya mau berangkat pagi jadi tertunda siang.Pagi-pagi dia sudah mendapat telpon dari Anisa yang mengeluh tentang Laras. Kepala Aina hampir pecah memikirkan saudara tak tahu diri itu. Hasan yang baru pulang joggin di sekitar kompleks mendapati istrinya yang tengah ngomel-ngomel di telepon."Apa sih, Sayang? Pagi-pagi sudah ngomel-ngomel? Belum bikin sarapan?""Mana sempat? Itu Anisa mengeluh tentang Laras. Lama-lama gedek sama Jawir satu itu.""Memangnya masalahnya apa?""Dia sudah kupecat kemarin.""Kok dipecat?""Gimana gak dipecat? Semua pelangganku pada kabur. Dia melayani pelanggan kasar banget, bahkan ada yang dimaki-maki sama dimarah-marahin, kemarin pelanggan pada komplain sama aku. Sekarang dia memaksa Anisa untuk mengantar ke rumah kita, dia memaksa jadi pembantu di sini, tujuannya jelas banget mau deketin Abang."Hasan tersenyum melihat bibir c
Setelah mendapat pesan dari Aina, Steven tidak bisa berpikir lagi. Dia langsung mandi, bergegas berpakaian dan memasukkan beberapa pakaian dengan asal ke tas ransel. Dia segera menuju bandara dengan motor sport-nya. Beruntung dia masih mendapatkan tiket ke Jakarta pada penerbangan jam tujuh malam. Hari masih jam lima sore, masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatan. Steven segera pulang untuk mengembalikan motornya dan kembali lagi ke bandara dengan menggunakan taksi. Satu jam menunggu sebelum pesawat take off membuatnya tidak sabaran, perasaannya sudah tidak karuan. Gelisah tidak menentu, apa yang akan dikatakan pada Melanie jika bertemu nanti? Di dalam pesawat, Steven hanya melamun menyesali diri, dia berkali-kali menghirup napas panjang dan berat. Apa bedanya dia dengan Agung? Sama-sama lelaki brengsek, namun mungkin dia lebih brengsek. Karena jejak kebrengsekannya tertinggal di rahim Melanie. Sementara Aina, ketika di rawat di rumah sakit, dokter langsung mengantisipasi dengan
Tak berapa lama pintu ruang ICU terbuka, muncullah sesosok lelaki berusia empat puluh tahun yang penampilannya masih seperti usia tiga puluh tahunan. "Abang, lelaki itu mirip banget sama Abang, kayak kakak adik kalian," bisik Aina di telinga suaminya. "Om Andi?" Hasan langsung menghampiri lelaki yang tengah berdiri mematung di tengah pintu, lelaki itu juga melangkah menghampiri Hasan, kedua tangannya terentang, menyambut pekikan keponakannya itu. "Hasan ... Kau sudah sebesar ini? Dulu terakhir ketemu kau masih kecil." "Kejadian itu sudah delapan belas tahun yang lalu, Om. Om Andi juga tidak berubah, masih muda dan gagah, selama ini Om kemana saja? Kenapa tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak ibu meninggal?" Andika tersenyum penuh misteri, matanya menyiratkan kesedihan, hanya Andini saudara yang Andika punya setelah ibunya meninggal, namun saudaranya itu juga pergi dengan kasus yang sama seperti ibunya, harusnya Andika pergi mengunjungi keponakannya, masih ada Hasan dan Haris s
Setelah seharian mengelilingi daerah Ubud Bali, dengan membawa foto Melanie, Steven kembali lagi ke hotel. Usaha hari ini sungguh tidak membuahkan hasil, yang ada rasa lelah yang tak terkira. Entah kemana wanita itu pergi, lagipula Ubud kan daerahnya luas, haruskah Steven menyusuri setiap jengkal tanah di daerah ini? "Mel ... Di mana kau kini? Sekarang kurasakan rindu yang sangat dalam kepadamu Mel, maafkan aku ...." Steven hanya bisa mengeluh sambil mengamati langit-langit kamar. Terbayang malam pertama mereka ketika di Australia dulu, teriakan dan desahan Melanie sungguh membuatnya terhanyut dan kecanduan, hingga ketika wanita itu menghilang, dia seperti orang gila mencarinya ke mana-mana. Sekarang ketika mereka dipertemukan lagi, justru dia yang meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil pula, bukan karena kesalaha yang wanita itu lakukan, tetapi kesalahannya yang terlalu egois. Steven berpikir keras, dia tidak mungkin menemukan Melanie ditempat keramaian seperti tempat pencaria
Ketika Melanie baru sampai di klinik, dia segera memasuki ruangannya, klinik ini didirikan oleh teman kuliahnya di kedokteran dulu, sekarang temanya itu tengah mengambil spesialis di UGM, jadi ketika Melanie menghubunginya karena mau pindah ke Bali, temannya itu langsung meminta Melanie menjalankan kliniknya tersebut. Seorang perawat yang bertugas membantunya tergopoh-gopoh mendatanginya. "Ada apa, Sus?" tanya Melanie. "Ada korban kecelakaan, Dok. Sudah berada di ruang UGD." Klinik tersebut memang sudah dilengkapi ruang UGD, ada tiga dokter yang bertugas di sini, Melanie bertugas pagi sampai jam sebelas siang, sedang rekannya yang lain bertugas siang dan malam, karena paginya mereka bertugas di puskesmas masing-masing karena mereka dokter PNS. "Mari, Dok. Kita ke UGD," ujar perawat tersebut. Melanie yang tengah hamil besar tidak bisa berjalan cepat, dia menuju ke ruang UGD dengan santai. Sampai di ruang UGD, ada dua orang perawat satu pria dan satu wanita yang tengah menangani
Melanie yang melihat tatapan kedua bawahannya menjadi lemah, dia seorang paramedis, tentu tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia karena masalah pribadi, harus bisa profesional, memisahkan masalah pribadi dan pekerjaan. "Baiklah, Steven ... Ayo, bangun." "Berjanjilah kau akan memberikan kesempatan kedua untukku, jika kau tidak mau memberikan kesempatan itu, aku lebih baik tidak perlu dirawat, biar saja aku kehilangan kakiku, atau sekalian kehilangan nyawaku." "Steven! Get up! What you say? Jangan menyulitkan hidupku lagi!" teriak Melanie marah, mata wanita itu memerah. "Apa kau ingin anak dalam kandunganku ini memiliki ayah yang cacat? Atau menjadi yatim sebelum lahir, ha?" Mendengar itu, Steven tersenyum tertahan, gelayar halus menyelimuti hatinya, merasaka kehangatan yang sulit diutarakan. Melanie memang wanita yang lembut hati pada dasarnya, jika dia sudah mencintai seseorang dia akan totalitas mencintainya, contohnya saja ketika dia jatuh cinta pada Hasan, dia memberikan
Namun gerakan mereka terhenti ketika wanita berjilbab lebar mendatangi mereka dan segera memeluk Nur. "Mamak ... Ai, kangen ...." "Aina? Ini Aina?" Jelas-jelas Nur tahu itu suara Aina, tetapi penampilan Aina sekarang sungguh sudah berbeda, membuat Nur pangling saja. "Wah, kau sudah hijrah ya, Ai?" ujar Fendi ketika mereka telah melepas pelukan. "Iya, Alhamdulillah," ujar Aina sambil tersenyum manis. "Kau bertambah cantik memakai jilbab seperti ini," puji Fendi dengan tulus. "Iya, Ai. Mamak suka melihat kau seperti ini." Nur segera menyusun makanan ke meja makan di bantu Fendi dan Aina, serta kedua pelayan mereka ketika Dave menuruni tangga, lelaki tua itu menatap Aina dengan tatapan takjub. "Who is she? Wow, very beautiful. Oh, daughter ... I Miss you so much." Dave segera memeluk Aina membuat gadis itu juga membalas pelukan ayahnya, rasanya sangat rindu dengan putrinya yang sudah lima bulan tidak dilihatnya "Katanya kau akan ke sini kalau liburan, kenapa belum liburan suda
Ketika mereka sudah sampai teras, Dave bergegas menyambut mereka dengan senyum ceria menghiasi bibirnya, namun ketika jarak mereka sudah sangat dekat, senyum di wajah lelaki itu menghilang. "Jackal ...," gumam lelaki tua itu. "Black Panther ...." Kedua lelaki beda generasi itu saling menatap, keterkejutan jelas tergambar di mata mereka, tidak ada kata yang terucap di kedua bibir mereka, gumaman nama yang mereka sebut juga hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. "Ayah, ini Om aku, adik almarhumah ibuku, saudara satu-satunya ibuku." Ucapan Hasan membuyarkan kebekuan mereka, Dave tersenyum canggung, begitu juga dengan Andika, lelaki itu memang sempat salah tingkah, tetapi karena dia sudah ditempa kerasnya hidup dalam bahaya, dia cepat sekali mengatasi situasi, bersandiwara tentu menjadi keahliannya dalam menjalankan misi spy atau misi pembunuhan. "Om, ini ayah Aina istriku, jadi beliau adalah mertuaku," ujar Hasan memperkenalkan mertuanya. "Halo, Pak ... Saya Andika, Om-nya Hasan