Tak berapa lama pintu ruang ICU terbuka, muncullah sesosok lelaki berusia empat puluh tahun yang penampilannya masih seperti usia tiga puluh tahunan. "Abang, lelaki itu mirip banget sama Abang, kayak kakak adik kalian," bisik Aina di telinga suaminya. "Om Andi?" Hasan langsung menghampiri lelaki yang tengah berdiri mematung di tengah pintu, lelaki itu juga melangkah menghampiri Hasan, kedua tangannya terentang, menyambut pekikan keponakannya itu. "Hasan ... Kau sudah sebesar ini? Dulu terakhir ketemu kau masih kecil." "Kejadian itu sudah delapan belas tahun yang lalu, Om. Om Andi juga tidak berubah, masih muda dan gagah, selama ini Om kemana saja? Kenapa tidak pernah mengunjungi aku lagi sejak ibu meninggal?" Andika tersenyum penuh misteri, matanya menyiratkan kesedihan, hanya Andini saudara yang Andika punya setelah ibunya meninggal, namun saudaranya itu juga pergi dengan kasus yang sama seperti ibunya, harusnya Andika pergi mengunjungi keponakannya, masih ada Hasan dan Haris s
Setelah seharian mengelilingi daerah Ubud Bali, dengan membawa foto Melanie, Steven kembali lagi ke hotel. Usaha hari ini sungguh tidak membuahkan hasil, yang ada rasa lelah yang tak terkira. Entah kemana wanita itu pergi, lagipula Ubud kan daerahnya luas, haruskah Steven menyusuri setiap jengkal tanah di daerah ini? "Mel ... Di mana kau kini? Sekarang kurasakan rindu yang sangat dalam kepadamu Mel, maafkan aku ...." Steven hanya bisa mengeluh sambil mengamati langit-langit kamar. Terbayang malam pertama mereka ketika di Australia dulu, teriakan dan desahan Melanie sungguh membuatnya terhanyut dan kecanduan, hingga ketika wanita itu menghilang, dia seperti orang gila mencarinya ke mana-mana. Sekarang ketika mereka dipertemukan lagi, justru dia yang meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil pula, bukan karena kesalaha yang wanita itu lakukan, tetapi kesalahannya yang terlalu egois. Steven berpikir keras, dia tidak mungkin menemukan Melanie ditempat keramaian seperti tempat pencaria
Ketika Melanie baru sampai di klinik, dia segera memasuki ruangannya, klinik ini didirikan oleh teman kuliahnya di kedokteran dulu, sekarang temanya itu tengah mengambil spesialis di UGM, jadi ketika Melanie menghubunginya karena mau pindah ke Bali, temannya itu langsung meminta Melanie menjalankan kliniknya tersebut. Seorang perawat yang bertugas membantunya tergopoh-gopoh mendatanginya. "Ada apa, Sus?" tanya Melanie. "Ada korban kecelakaan, Dok. Sudah berada di ruang UGD." Klinik tersebut memang sudah dilengkapi ruang UGD, ada tiga dokter yang bertugas di sini, Melanie bertugas pagi sampai jam sebelas siang, sedang rekannya yang lain bertugas siang dan malam, karena paginya mereka bertugas di puskesmas masing-masing karena mereka dokter PNS. "Mari, Dok. Kita ke UGD," ujar perawat tersebut. Melanie yang tengah hamil besar tidak bisa berjalan cepat, dia menuju ke ruang UGD dengan santai. Sampai di ruang UGD, ada dua orang perawat satu pria dan satu wanita yang tengah menangani
Melanie yang melihat tatapan kedua bawahannya menjadi lemah, dia seorang paramedis, tentu tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia karena masalah pribadi, harus bisa profesional, memisahkan masalah pribadi dan pekerjaan. "Baiklah, Steven ... Ayo, bangun." "Berjanjilah kau akan memberikan kesempatan kedua untukku, jika kau tidak mau memberikan kesempatan itu, aku lebih baik tidak perlu dirawat, biar saja aku kehilangan kakiku, atau sekalian kehilangan nyawaku." "Steven! Get up! What you say? Jangan menyulitkan hidupku lagi!" teriak Melanie marah, mata wanita itu memerah. "Apa kau ingin anak dalam kandunganku ini memiliki ayah yang cacat? Atau menjadi yatim sebelum lahir, ha?" Mendengar itu, Steven tersenyum tertahan, gelayar halus menyelimuti hatinya, merasaka kehangatan yang sulit diutarakan. Melanie memang wanita yang lembut hati pada dasarnya, jika dia sudah mencintai seseorang dia akan totalitas mencintainya, contohnya saja ketika dia jatuh cinta pada Hasan, dia memberikan
Namun gerakan mereka terhenti ketika wanita berjilbab lebar mendatangi mereka dan segera memeluk Nur. "Mamak ... Ai, kangen ...." "Aina? Ini Aina?" Jelas-jelas Nur tahu itu suara Aina, tetapi penampilan Aina sekarang sungguh sudah berbeda, membuat Nur pangling saja. "Wah, kau sudah hijrah ya, Ai?" ujar Fendi ketika mereka telah melepas pelukan. "Iya, Alhamdulillah," ujar Aina sambil tersenyum manis. "Kau bertambah cantik memakai jilbab seperti ini," puji Fendi dengan tulus. "Iya, Ai. Mamak suka melihat kau seperti ini." Nur segera menyusun makanan ke meja makan di bantu Fendi dan Aina, serta kedua pelayan mereka ketika Dave menuruni tangga, lelaki tua itu menatap Aina dengan tatapan takjub. "Who is she? Wow, very beautiful. Oh, daughter ... I Miss you so much." Dave segera memeluk Aina membuat gadis itu juga membalas pelukan ayahnya, rasanya sangat rindu dengan putrinya yang sudah lima bulan tidak dilihatnya "Katanya kau akan ke sini kalau liburan, kenapa belum liburan suda
Ketika mereka sudah sampai teras, Dave bergegas menyambut mereka dengan senyum ceria menghiasi bibirnya, namun ketika jarak mereka sudah sangat dekat, senyum di wajah lelaki itu menghilang. "Jackal ...," gumam lelaki tua itu. "Black Panther ...." Kedua lelaki beda generasi itu saling menatap, keterkejutan jelas tergambar di mata mereka, tidak ada kata yang terucap di kedua bibir mereka, gumaman nama yang mereka sebut juga hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. "Ayah, ini Om aku, adik almarhumah ibuku, saudara satu-satunya ibuku." Ucapan Hasan membuyarkan kebekuan mereka, Dave tersenyum canggung, begitu juga dengan Andika, lelaki itu memang sempat salah tingkah, tetapi karena dia sudah ditempa kerasnya hidup dalam bahaya, dia cepat sekali mengatasi situasi, bersandiwara tentu menjadi keahliannya dalam menjalankan misi spy atau misi pembunuhan. "Om, ini ayah Aina istriku, jadi beliau adalah mertuaku," ujar Hasan memperkenalkan mertuanya. "Halo, Pak ... Saya Andika, Om-nya Hasan
Secara alami sontak semua orang memperhatikan ke arah yang ditunjuk oleh Duke, tak terkecuali Andika. Semakin mendekat Laura yang tengah di dorong oleh Fendi, semakin jelas wajahnya, wanita itu langsung duduk di kursi rodanya di hadapan Andika tepat, Andika tidak lepas tatapannya pada wanita di hadapannya, matanya bahkan terbelalak. Tidak ada yang menyadari jika lelaki itu kini wajahnya sudah memucat, kejutan apa lagi ini? Namun rasa keterkejutan Andika itu hanya berlangsung beberapa detik, lelaki itu sudah bisa menguasai keadaan, walaupun dalam hati ketar-ketir melihat perempuan di hadapannya. Arsen menghela napas ringan, dia menatap Arsen di sebelahnya sambil menyuapi anak itu makan, apakah anak ini yang kemarin Dave perintahkan kepadanya untuk tes DNA? Dave bilang hasilnya sangat menentukan kehidupan putri dan cucunya ke depan. "Ini, siapa?" tanya Andika menunjuk Laura. "Oh, anak sulung kami, Laura," jawab Duke singkat. "Laura ini ibunya Arsen, anak kami yang nomor dua laki-la
Setelah Andika membuka pintu, seorang gadis tengah bersandar di dinding, bau alkohol yang menyengat membuat Andika sedikit jengkel, apakah kliennya mengirim gadis mabuk ke kamarnya? Namun setelah diamati, gadis itu sungguh cantik, maka Andika membawanya ke tempat tidur. Permainan malam itu masih diingat dengan jelas oleh Andika, walaupun itu sudah tujuh tahun yang lalu. Gadis itu berteriak kesakitan ketika Andika melakukan penyatuan, mata lelaki itu membulat merasa surprise bahwa gadis yang mereka kirim ternyata masih perawan. "Tampan, pelan-pelan ... Sakit, ini pertama kali untukku, jadi kumohon pelan-pelan ...." Andika bahkan masih ingat betul bagaimana wanita itu memohon agar dia tidak main kasar. Melihat gadis polos itu, Andika merasa bersalah, wajah gadis yang sangat cantik ini, membuatnya sedikit luluh. Nanti ketika gadis ini sadar, dia tidak akan merelakan gadis ini menjajakan tubuhnya pada siapapun, hanya untuknya saja, dia bisa memberikan apapun yang gadis ini mau. Ketika