"Jadi itu yang kau mau? Mengakhiri hubungan kita yang baru sebentar ini?" Hasan sudah kehabisan kata menghadapi gadis ini, dia hanya menghela napas dengan dada yang terasa sesak, kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Ai? Jangan harap itu!"Iya, lebih baik menikahlah dengan wanita yang memiliki keluarga yang terpandang, kulihat Nurma begitu cinta pada Abang, ayahnya juga bisa membantu Abang menyelesaikan hutang-hutang Abang," ujar Aina dengan suara bergetar.Bagaimanapun dia mencoba mengatakan hal ini dengan tegar, namun hatinya tetap terasa sakit seperti tersayat sembilu, siapa yang rela membiarkan seorang kekasih yang sangat dicintai menikah dengan wanita lain? Mungkin hanya dia yang bertindak bodoh seperti itu, ah biarlah ... Lagi pula lelaki ini baru menjadi kekasihnya, bukan suaminya, tidak ada ikatan hukum yang melarang dia melakukannya, soal perasaannya, biarlah dia tanggung sendiri. Tanpa terasa mata Aina memanas, bulir bening mengalir dari sudut matanya."Jadi, kau menyuruh
"Apakah kau mau menikah denganku?" Fendi terperangah mendengar perkataan Aina, siapa yang tidak mau menikah dengan gadis ini? Bukankah selama ini hal itu yang didambakannya? Namun Fendi bukanlah buta, dia dapat melihat sorot mata putus asa dari gadis itu, tidak ada cinta dan kebahagiaan di sana, untuk apa dia memaksakan hal ini? Dia hanya ingin melihat gadis ini ceria dan bahagia walau tiap hari mereka akan terus bertengkar, dia tidak ingin melihat gadis ini seperti sekarang, lesu dan sedih. Tidak ada gairah yang berkobar di matanya seperti biasanya. "Kau kenapa? Apa yang terjadi? Bukannya aku tidak ingin menikah denganmu, aku justru senang menikah denganmu, tetapi kau kenapa? Kau bilang kau cinta pada laki-laki yang menolongmu. Katakan, apa yang terjadi?" "Aku hanya ingin melupakan lelaki itu, tolong, bantulah aku, Fendi." "Tidakkah kau terlalu kejam membuatku sebagai pelarian?" "Maafkan aku, bukan maksudku untuk memanfaatkanmu menjadi pelarian. Aku memang menjadikanmu sebag
Ketika lelaki paruh baya itu sudah mendekat pada mereka, reflek Fendi melangkah mundur, wajahnya sangat tegang. Dia benar-benar tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki yang telah menurunkan darah ketubuhnya itu, setelah delapan belas tahun tidak ada kasih sayang yang lelaki itu salurkan kepadanya.Dia bahkan sudah lupa kalau punya seorang ayah, selama ini dia menganggap dia hadir ke dunia ini tanpa peran seorang ayah.Setelah sekian lama tidak pernah hadir dalam hidupnya, kenapa tiba-tiba laki-laki ini datang menemuinya? Apakah dia tidak tahu kehidupan seperti apa yang dilalui Fendi karena kelakuannya itu? Seketika amarah Fendi tak terbendung, raut wajahnya berubah menjadi muram dan tegang."Sardan, ini Fendi anakmu," ujar Wak Sulian, Uwak yang selama ini merawat Fendi, kakak tiri Sardan."Fendi ... Ini bapak, nak ...," Suara Sardan tercekat di tenggorokan.Sardan bukannya tidak menyadari tatapan nanar dan penuh kebencian dari putranya, tetapi dia hanya berusaha untuk mendekatkan diri
"Ayo, Ai. Kita pulang!" ujar Fendi tanpa menyapa lagi orang-orang yang berada di ruang tamu. Anak muda itu langsung pergi tanpa berpamitan, membuat Aina serba salah, tidak enak hati pada kedua Uwak Fendi. "Saya, pamit dulu ya, Wak ...." Akhirnya dia terpaksa pamitan sendiri dan menyalami semua orang tua di situ termasuk bapaknya. Dengan langkah tergopoh-gopoh Aina menyusul Fendi yang berjalan terlalu cepat menuju mobil. Di belakang mereka, Uwak Hayati menyusul mereka dengan langkah tertatih-tatih. "Fendi! Kenapa cepat sekali pulangnya? Uwak masih kangen, kau belum bicara dengan bapakmu," ujar wanita tua itu dengan ekspresi sedih. Fendi menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Uwaknya, dari dulu Fendi paling tidak tega terhadap Uwak perempuannya ini, wanita lemah lembut yang tidak pernah memarahinya, walau mereka tidak memanjakannya dengan limpahan materi, namun perhatian Uwak Hayati kepadanya lebih dari cukup. Uwak Hayati selalu memastikan agar Fendi tidak kelaparan, dia selalu m
Mobil yang mereka tumpangi telah masuk ke halaman rumah besar keluarga Latief. Tampak Syarif tengah duduk santai di teras rumah masih memakai kaos oblong dan celana training. Setelah turun dari mobil kami menghampirinya. "Kok cepat pulangnya, Fen? Baru juga jam sembilan. Kalian gak jadi ke swalayan cari oleh-oleh?" tanya Syarif.Mendengar ucapan Syarif, Fendi mengernyitkan kening dan menatapku dengan tatapan bersalah."Maaf ya, Ai ... Aku lupa," ujarnya."Yah, gak apa-apa, kamu juga sedang tidak baik-baik saja.""Kenapa kau tidak baik-baik saja? Apa kau sakit, Fendi?" tanya Syarif dengan sedikit panik."Oh, tidak. Aku baik-baik saja, tadi cuma ada masalah keluarga yang harus kuselesaikan, semua sudah baik-baik saja," jawab Fendi sambil mendelik ke arah Aina.Aina hanya mengendurkan bahu mengkode bahwa dia tidak sadar mengatakannya, membuat Fendi sedikit keki."Kalau gitu kita percepat saja pulang ke perkebunan, kita pulang jam sebelas nanti, ya?" ujar Syarif "Baik, Bang," jawab Fend
"Bapak Aina, si Sardan itu dulu waktu di dusun akan menjual Aina kepada seorang juragan tua untuk dijadikan istri ke tiga, waktu itu Aina baru berumur lima belas tahun. Makanya kami melarikan diri sampai di sini, untuk keamanan Aina agar tidak ditemukan oleh bapaknya itu maka bibik membuat Aina berpenampilan jelek, yah supaya aman juga dari lelaki hidung belang di lokalisasi," jelas Nur panjang lebar."Jadi, Aina aslinya cantik?" tanya Fendi penasaran."Sebenarnya tidak terlalu cantik, hanya tidak sejelek ini," jawab Nur dengan wajah yang tidak bisa dibayangkan, ada rasa bersalah, ada rasa cemas jika Aina harus melepaskan topengnya di depan laki-laki ini."Bibik bicara apa? Maksud Bibik, Aina di depan ini bukan tampilan asli? Aku tidak percaya," ujar Fendi sambil tertawa sinis."Seperti apa wajah aslinya? Aku ingin lihat! Secantik apa orangnya, atau kalian hanya mencari alasan yang tidak masuk akal!" Fendi kembali berkata dengan agresif."Bagaimana, Mak?" ujar Aina menatap ibunya, mem
Ketika makan malam, Syarif sengaja mengundang Fendi ketika bertemu di masjid. Dia ingin menuntaskan masalah diantara mereka, agar suasana kembali seperti dulu. Aina sudah siap menghidangkan berbagai makanan yang dia ambil dari dapur umum, karena dia tidak sempat memasak. Suasana masih terasa canggung, terutama dari Fendi yang mendadak menjadi sangat pendiam. Dia hanya menjawab jika Syarif mengajak bicara, itupun jawabannya sangat pendek-pendek.Ketika mereka tengah asyik makan malam, tiba-tiba rumah diketuk seseorang, ternyata pak Faisal yang datang, akhirnya Syarif dengan sengaja meninggalkan mereka berdua di meja makan. Bahkan Syarif pergi keluar untuk mengecek sesuatu dengan Faisal, ketika Fendi akan menemani, dia menolak dengan sengaja.Kini Fendi dan Aina duduk berhadapan berdua di meja makan, memang sebenarnya banyak yang akan Fendi katakan pada gadis itu, namun suasana hatinya yang tengah patah hati lebih mendominasi. "Ini, Bang. Tambah lagi lauknya," kata Aina sambil mengamb
Sementara itu, setelah pertengkaran hari itu dengan Aina, Hasan tidak kembali ke kediaman rumah besar keluarga Latief. Dia tinggal di rumah perumnas tipe 36 yang sudah direnovasinya menjadi dua lantai, memiliki tiga kamar dan garasi untuk satu mobil. Rumahnya tampak menonjol diantara rumah rakyat yang masih bentuk bangunan asli, Hasan juga termasuk pemuda yang dihormati dilingkungan tersebut, karena sering aktif mengikuti salat berjamaah di mushola perumahan. Banyak warga sekitar yang penasaran dengan sosoknya, siapa yang tidak penasaran dengan pemuda tampan dan mapan sepertinya yang tinggal sendirian di rumah yang cukup besar menurut warga sekitar. Namun ketika mereka tahu pekerjaan Hasan sebagai pejabat eselon tiga di kantor gubernur, mereka memaklumi jika pemuda itu memiliki kehidupan finansial yang mapan. Tetapi yang masih membuat mereka penasaran adalah kehidupan asmara pemuda itu, apakah pemuda itu sudah menikah? Diam-diam banyak ibu-ibu yang ingin menjodohkan anak gadisnya de