Mobil yang mereka tumpangi telah masuk ke halaman rumah besar keluarga Latief. Tampak Syarif tengah duduk santai di teras rumah masih memakai kaos oblong dan celana training. Setelah turun dari mobil kami menghampirinya. "Kok cepat pulangnya, Fen? Baru juga jam sembilan. Kalian gak jadi ke swalayan cari oleh-oleh?" tanya Syarif.Mendengar ucapan Syarif, Fendi mengernyitkan kening dan menatapku dengan tatapan bersalah."Maaf ya, Ai ... Aku lupa," ujarnya."Yah, gak apa-apa, kamu juga sedang tidak baik-baik saja.""Kenapa kau tidak baik-baik saja? Apa kau sakit, Fendi?" tanya Syarif dengan sedikit panik."Oh, tidak. Aku baik-baik saja, tadi cuma ada masalah keluarga yang harus kuselesaikan, semua sudah baik-baik saja," jawab Fendi sambil mendelik ke arah Aina.Aina hanya mengendurkan bahu mengkode bahwa dia tidak sadar mengatakannya, membuat Fendi sedikit keki."Kalau gitu kita percepat saja pulang ke perkebunan, kita pulang jam sebelas nanti, ya?" ujar Syarif "Baik, Bang," jawab Fend
"Bapak Aina, si Sardan itu dulu waktu di dusun akan menjual Aina kepada seorang juragan tua untuk dijadikan istri ke tiga, waktu itu Aina baru berumur lima belas tahun. Makanya kami melarikan diri sampai di sini, untuk keamanan Aina agar tidak ditemukan oleh bapaknya itu maka bibik membuat Aina berpenampilan jelek, yah supaya aman juga dari lelaki hidung belang di lokalisasi," jelas Nur panjang lebar."Jadi, Aina aslinya cantik?" tanya Fendi penasaran."Sebenarnya tidak terlalu cantik, hanya tidak sejelek ini," jawab Nur dengan wajah yang tidak bisa dibayangkan, ada rasa bersalah, ada rasa cemas jika Aina harus melepaskan topengnya di depan laki-laki ini."Bibik bicara apa? Maksud Bibik, Aina di depan ini bukan tampilan asli? Aku tidak percaya," ujar Fendi sambil tertawa sinis."Seperti apa wajah aslinya? Aku ingin lihat! Secantik apa orangnya, atau kalian hanya mencari alasan yang tidak masuk akal!" Fendi kembali berkata dengan agresif."Bagaimana, Mak?" ujar Aina menatap ibunya, mem
Ketika makan malam, Syarif sengaja mengundang Fendi ketika bertemu di masjid. Dia ingin menuntaskan masalah diantara mereka, agar suasana kembali seperti dulu. Aina sudah siap menghidangkan berbagai makanan yang dia ambil dari dapur umum, karena dia tidak sempat memasak. Suasana masih terasa canggung, terutama dari Fendi yang mendadak menjadi sangat pendiam. Dia hanya menjawab jika Syarif mengajak bicara, itupun jawabannya sangat pendek-pendek.Ketika mereka tengah asyik makan malam, tiba-tiba rumah diketuk seseorang, ternyata pak Faisal yang datang, akhirnya Syarif dengan sengaja meninggalkan mereka berdua di meja makan. Bahkan Syarif pergi keluar untuk mengecek sesuatu dengan Faisal, ketika Fendi akan menemani, dia menolak dengan sengaja.Kini Fendi dan Aina duduk berhadapan berdua di meja makan, memang sebenarnya banyak yang akan Fendi katakan pada gadis itu, namun suasana hatinya yang tengah patah hati lebih mendominasi. "Ini, Bang. Tambah lagi lauknya," kata Aina sambil mengamb
Sementara itu, setelah pertengkaran hari itu dengan Aina, Hasan tidak kembali ke kediaman rumah besar keluarga Latief. Dia tinggal di rumah perumnas tipe 36 yang sudah direnovasinya menjadi dua lantai, memiliki tiga kamar dan garasi untuk satu mobil. Rumahnya tampak menonjol diantara rumah rakyat yang masih bentuk bangunan asli, Hasan juga termasuk pemuda yang dihormati dilingkungan tersebut, karena sering aktif mengikuti salat berjamaah di mushola perumahan. Banyak warga sekitar yang penasaran dengan sosoknya, siapa yang tidak penasaran dengan pemuda tampan dan mapan sepertinya yang tinggal sendirian di rumah yang cukup besar menurut warga sekitar. Namun ketika mereka tahu pekerjaan Hasan sebagai pejabat eselon tiga di kantor gubernur, mereka memaklumi jika pemuda itu memiliki kehidupan finansial yang mapan. Tetapi yang masih membuat mereka penasaran adalah kehidupan asmara pemuda itu, apakah pemuda itu sudah menikah? Diam-diam banyak ibu-ibu yang ingin menjodohkan anak gadisnya de
Sesampainya di lokasi acara, terlihat ballroom hotel bintang lima di kota ini begitu meriah. Tamu undangannya begitu banyak hingga tempat parkiran hampir penuh. Banyak petugas hotel yang diturunkan untuk mengatur parkiran mobil para tamu.Bagaimana tidak meriah, yang menikah adalah tokoh agama yang sangat berpengaruh di kota ini, seorang pimpinan ormas besar dan seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi Islam. Sedangkan pengantin prianya adalah seorang anak angkat seorang mantan wakil bupati dan anak tiri seorang pengusaha kayu ternama di kota ini. Mungkin jika Hasan dan Nurma jadi menikah, pernikahan mereka pasti akan lebih meriah dari pada pernikahan Syarif ini, secara Nurma adalah anak wakil bupati yang masih aktif.Aina turun dari mobil, berjalan dengan pelan dan tertegun mengangumi kemeriahan pesta ini. Keadaan seperti ini membuatnya lebih minder untuk masuk ke keluarga ini. Dia menghela napas berat, berjalan melamun dengan tatapan wajah rumit, padahal teman-temannya memasuki
"Eh, gimana maksud kalian tadi? Kalian kakak beradik? Apa sekarang Fendi sudah kau angkat jadi kakak kau, Ai?" ujar Dimas membuyarkan lamunan Aina."Fendi adalah kakak seayah lain ibu denganku," ujar Aina menatap datar ke arah Dimas."Ha? Jadi selama ini kalian akrab itu karena saudara? Bilang dong dari dulu, biar aku gak perlu buang energi cembokur sama kamu, Bro, ha ... ha ... ha ...," ujar Dimas tertawa bahagia sambil menepuk bahu Fendi dengan kuat."Hei, sakit. Yang sopan dikit sama Abang cewek yang kau taksir. Ingat, kalau aku gak setuju kalian pacaran, kamu gak bakal bisa memiliki Aina!" pekik Fendi "Oh, maaf ... Maaf, Abang ipar." Dimas menangkupkan kedua tangannya menatap Fendi dengan penuh hormat, sesuatu yang sangat jarang terjadi, biasanya mereka akan musuhan."Jangan panggil aku Abang ipar! Kau belum menjadi suami Aina, dengar itu!" Bentak Fendi."Aish, pelit nian. Aku cuma latihan saja."Aina yang melihat interaksi hanya tersenyum canggung, kedua anak ini dulu benar-ben
Baru mau mengambil empek-empek yang sudah di siram cuka, tiba-tiba tangannya di tarik seseorang sehingga mangkuk plastik kecil itu terjatuh beserta isi-isinya, dia terkejut ingin memaki siapapun yang melakukan itu, ketika di dapatinya sebuah lengan besar telah mencengkeram pergelangan tangannya dan menyeretnya menjauh dari tempat itu."Bang ... Mau kau bawa ke mana aku?" pekik Aina mengikuti langkah lelaki itu dengan tunggang langgang."Hei, Bang. Tunggu dulu, Bang. Berhenti dulu, kita mau ke mana?" Aina terus melakukan protes terhadap lelaki yang terus menarik pergelangan tangannya.Lelaki itu tidak menjawab satupun pertanyaan yang diajukan Aina, dia membawa Aina keluar dari ballroom hotel, berjalan menuju lift, setelah lift terbuka, dia menekan angka empat dengan cepat."Abang mau membawaku ke mana?" keadaan lift yang sepi, suara Aina seperti menggema di dalamnya, namun lelaki itu masih diam seribu bahasa, dia berdiri tegak menatap pintu lift dengan tangan yang masih mencekal lengan
"Sini biar Abang sisir," ujar lelaki itu sambil menyisir rambut Aina dengan lembut.Benar saja, pakaian mereka sangat serasi, Aina menatap takjub di depan cermin."Kita berpakaian seperti ini mau ke mana, Bang?""Kita akan ke pesta," jawabnya sambil membalik tubuh Aina untuk menghadapnya."Pesta di bawah? Pesta bang Syarif?""Yah, ke sana sebentar, aku ada undangan juga di tempat lain.""Oh? Abang yakin akan mengajakku? Bukankah kita sudah tidak ada hubungan apa-apa?""Apa maksudmu? Kau mengambil keputusan sendiri? Aku tidak pernah menyetujuinya bukan? Kau benar-benar ingin mengakhiri hubungan denganku? Kalau kau serius dengan hal itu, kau hanya bisa bermimpi saja," ujar Hasan dengan nada rendah, namun suaranya tetap mengintimidasi."Abang, aku sudah bilang, aku tidak layak menjadi pasanganmu," ujar Aina menatap mata lelaki itu dengan lekat."Jadi kau layaknya untuk siapa? Untuk bujang tanggung yang dari tadi memanggilmu sayang itu? Hmmm, sepertinya kau sangat menyukainya, ya?" Hasan