"Sini biar Abang sisir," ujar lelaki itu sambil menyisir rambut Aina dengan lembut.Benar saja, pakaian mereka sangat serasi, Aina menatap takjub di depan cermin."Kita berpakaian seperti ini mau ke mana, Bang?""Kita akan ke pesta," jawabnya sambil membalik tubuh Aina untuk menghadapnya."Pesta di bawah? Pesta bang Syarif?""Yah, ke sana sebentar, aku ada undangan juga di tempat lain.""Oh? Abang yakin akan mengajakku? Bukankah kita sudah tidak ada hubungan apa-apa?""Apa maksudmu? Kau mengambil keputusan sendiri? Aku tidak pernah menyetujuinya bukan? Kau benar-benar ingin mengakhiri hubungan denganku? Kalau kau serius dengan hal itu, kau hanya bisa bermimpi saja," ujar Hasan dengan nada rendah, namun suaranya tetap mengintimidasi."Abang, aku sudah bilang, aku tidak layak menjadi pasanganmu," ujar Aina menatap mata lelaki itu dengan lekat."Jadi kau layaknya untuk siapa? Untuk bujang tanggung yang dari tadi memanggilmu sayang itu? Hmmm, sepertinya kau sangat menyukainya, ya?" Hasan
Ayuni memaksa mereka berfoto kembali, kali ini bersama Fendi dan kedua mempelai, setelah berfoto bersama, gadis itu meminta fotografer mengabadikan momen kakak sulungnya bersama kekasihnya. Hasan tampak berseri wajahnya, menambah ketampanannya, memang jatuh cinta bisa sampai sebegitunya, lelaki itu difoto tiga kali jepretan dengan pose berbeda, tapi setiap momennya dia selalu memeluk gadisnya dengan mesra."Wah, gak perlu foto prewed lagi kayaknya ya?" goda Syarif sambil tertawa gembira membuat dua sejoli itu tersipu malu.Halimah yang melihat semua adegan romantis itu tersenyum bahagia, bagi wanita ini, setiap kebahagiaan putra putrinya adalah kebahagiaanya. Berbeda sekali dengan lelaki paruh baya di sebelahnya, yang terus memasang wajah masam. Setelah berfoto, Hasan langsung mengambil lengan Aina menuruni panggung pelaminan."Kok gak Salim sama ayah dan ibu Abang dulu?" bisik Aina."Gak perlu, kau lihat wajah masam lelaki itu? Aku gak mau kau dipermalukan lagi."Burhan yang melihat
"Apakah kau tidak ingat denganku, Hasan?" ujar wanita itu sambil duduk di sebelah Aina menghadap Hasan. "Melanie," jawab Hasan dengan nada datar terkesan acuh tak acuh. "Wah, dasar lelaki es. Begitu kesannya bertemu dengan teman lamaku semasa SMA? Kita sudah sepuluh tahun tidak bertemu loh?" ujar Melanie sambil mengerucutkan bibir, gerakan yang imut itu sama sekali tidak menggerakkan tatapan Hasan, padah Aina yang disampingnya saja merasa jika wanita ini tengah menggoda kekasihnya. "Aku di sini menghadiri ulang tahun perusahaan kakakku," ujar Melanie lagi. "Pak Agung kakakmu?" Kini Hasan bertanya sedikit tertarik. "Iya, kamu gimana kabarnya?" tanya Melanie. "Aku baik, sangat baik." "Aku dengar kau kerja di kantor pemerintahan ya? Aku sudah lama tinggal di luar negeri. Aku baru pulang dari mengambil spesialis di Jerman," ucap wanita itu. Cara Melanie berbicara dengan penuh kebanggaan membuat Aina sedikit tenggelam, wanita ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Wajar saja, k
Hasan tidak berpamitan dengan Agung, dia langsung pergi keluar hotel. Dia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di tempat itu. Dia tahu maksud Melanie menyebut Aina hanya calon istri. Dia bukannya bodoh, dia tahu persis bagaimana tingkah laku Melanie waktu SMA dulu, semua orang tahu bagaimana perasaan suka Melanie kepadanya, walau dia tidak pernah menanggapinya, gadis itu suka mengaku-ngaku sebagai pacarnya, walaupun semua itu tidak terbukti. "Kayaknya wanita bernama Melanie itu suka sama Abang," kata Aina ketika dalam perjalanan."Abang gak bisa mengontrol perasaan orang lain, yang penting perasaan Abang sama Aina gak pernah berbohong," jawab Hasan.Aina mendelik mendengar perkataan Hasan. Sepertinya dia familiar dengan kata-kata seperti itu, ah ya bukankah itu perkataannya? Pintar sekali lelaki ini sekarang membalikkan kata-kata itu untuk dirinya."Abang, kreatif dikit lah bikin kata-kata, sepertinya itu kata-kataku dulu," sungut Aina.Hasan tertawa mendengar perkataan gad
"Bagaimana, Bang?""Bagaimana apanya? Ya sudah, tidak usah kita tanda tangani. Batalkan saja kalau begitu.""Cuma, Bang ... CEO PT persada itu bukan orang sembarangan, koneksinya orang-orang penting, dia bisa saja dengan mudah melibas usaha kita yang masih bayi ini.""Memangnya ini jaman penjajahan? Apa kepentingan koneksinya itu pada pengusaha kecil seperti kita? Memangnya kita tidak memiliki institusi yang melindungi?" Hasan mencebik kesal dengan kenyataan ini."Tidak ada untung-untungnya kita bekerjasama dengan mereka, apa-apaan itu? Mereka akan menjadi pemegang saham 65 persen dengan modal yang sama," lanjut Hasan masih dengan mode kesal."Lagi pula, tanah pembangunan pabrik kita yang menyediakan." Hasan masih saja menggerutu, dia benar-benar marah."Tapi di poin berikutnya, semua saham bisa menjadi milik kita, mereka memberikan modal cuma-cuma, Bang.""Tapi kau lihat syaratnya? Syarat apaan itu? CEO PT Intisari, itu aku. Harus menjalin hubungan keluarga dengan pemberi modal. Apa
Setelah satu minggu berlalu, Hasan menerima telepon dari profesor Kuncoro Hadi, bahwa email yang dikirimkan ke temannya telah mendapat jawaban. Calon investor itu meninggalkan nomor telepon kantornya dan meminta Hasan untuk menghubungi. Tidak membuang waktu lagi, Hasan langsung menghubunginya, beliau adalah seorang keturunan Australia yang sudah menjadi warga negara Indonesia bernama Duke Horrison, berusia lima puluh empat tahun. Duke meminta Hasan untuk mengirimkan proposalnya, namun karena masalah ini cukup urgent bagi Hasan, dia akan menemui mister Duke sendiri ke Bandung. Di akhir pekan, Hasan pergi menemui mister Duke sendirian dengan persiapan materi presentasi yang lengkap, biasanya mister Duke tidak ingin mengurusi pekerjaan di akhir pekan, namun karena pengaruh perkataan dan bujukan Kuncoro teman lamanya, maka mister Duke tertarik dan menyediakan waktu di kediamannya. Setelah sampai bandara, Hasan langsung mencari taksi untuk mengantarkan ke alamat yang sudah dicatatnya dal
Selesai makan siang, mereka membicarakan bisnis dengan serius di ruang tamu, Dave dan putranya membaca dengan serius salinan proposal yang diajukan oleh Hasan, sesekali mereka bertanya poin-poin yang ada dalam proposal tersebut. Dave merasa puas dengan rencana yang terstruktur di dalam proposal tersebut yang memuat rincian biaya pembangunan pabrik serta keuntungan yang akan di dapat dalam sepuluh tahun ke depan. "Baiklah, Mas Hasan. Dalam waktu dekat ini saya akan melakukan survei lokasi dan mengobservasi ketepatan investasi, jika semuanya sesuai dengan proposal ini, saya akan menginvestasikan dana, jika memang menguntungkan, saya akan membiayai penuh pembangunan pabrik dan pembagian keuntungan Fifty-Fifty, okey?" "Oke, Mister. Saya tunggu kehadiran anda di lokasi," ujar Hasan dengan senyum sopan. Percakapan mereka terhenti ketika melihat sosok wanita cantik, memakai dress selutut berwarna krim, kulitnya yang putih terlihat bersinar dengan gaun yang tersebut. Langkah wanita itu te
"kebetulan belum, syukurlah kami belum memiliki anak, jadi tidak ada yang menjadi korban," ujar Hasan. "Apakah masalah anak sehingga kalian bercerai?" "Tidak, karena memang kami tidak berjodoh saja." "Bukankah Kak Hasan sudah lama sendiri? Kenapa tidak mencari penggantinya?" "Aku sudah punya calon istri." Jawaban Hasan membuat Laura tersentak, mulutnya tiba-tiba terasa kelu dan membeku. Bagaimana dia bisa mengabaikan sosok lelaki di depannya? Bukankah lelaki dengan kualitas seperti ini akan banyak wanita yang mengejarnya? Akan tidak wajar jika dia tidak memiliki wanita dalam hidupnya, lelaki seperti ini bahkan layak memiliki beberapa wanita. Laura hanya menyesalkan kenapa dia selalu terlambat bertemu dengan pria ini, sepertinya dia hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki. Sekilas dia teringat dengan Shintia temannya yang sudah putus dengan Adi, mereka putus karena orang tua Shintia yang memilik usaha retail itu tidak setuju memiliki menantu hanya seorang pegawai negeri, Shintia