Hasan tidak berpamitan dengan Agung, dia langsung pergi keluar hotel. Dia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di tempat itu. Dia tahu maksud Melanie menyebut Aina hanya calon istri. Dia bukannya bodoh, dia tahu persis bagaimana tingkah laku Melanie waktu SMA dulu, semua orang tahu bagaimana perasaan suka Melanie kepadanya, walau dia tidak pernah menanggapinya, gadis itu suka mengaku-ngaku sebagai pacarnya, walaupun semua itu tidak terbukti. "Kayaknya wanita bernama Melanie itu suka sama Abang," kata Aina ketika dalam perjalanan."Abang gak bisa mengontrol perasaan orang lain, yang penting perasaan Abang sama Aina gak pernah berbohong," jawab Hasan.Aina mendelik mendengar perkataan Hasan. Sepertinya dia familiar dengan kata-kata seperti itu, ah ya bukankah itu perkataannya? Pintar sekali lelaki ini sekarang membalikkan kata-kata itu untuk dirinya."Abang, kreatif dikit lah bikin kata-kata, sepertinya itu kata-kataku dulu," sungut Aina.Hasan tertawa mendengar perkataan gad
"Bagaimana, Bang?""Bagaimana apanya? Ya sudah, tidak usah kita tanda tangani. Batalkan saja kalau begitu.""Cuma, Bang ... CEO PT persada itu bukan orang sembarangan, koneksinya orang-orang penting, dia bisa saja dengan mudah melibas usaha kita yang masih bayi ini.""Memangnya ini jaman penjajahan? Apa kepentingan koneksinya itu pada pengusaha kecil seperti kita? Memangnya kita tidak memiliki institusi yang melindungi?" Hasan mencebik kesal dengan kenyataan ini."Tidak ada untung-untungnya kita bekerjasama dengan mereka, apa-apaan itu? Mereka akan menjadi pemegang saham 65 persen dengan modal yang sama," lanjut Hasan masih dengan mode kesal."Lagi pula, tanah pembangunan pabrik kita yang menyediakan." Hasan masih saja menggerutu, dia benar-benar marah."Tapi di poin berikutnya, semua saham bisa menjadi milik kita, mereka memberikan modal cuma-cuma, Bang.""Tapi kau lihat syaratnya? Syarat apaan itu? CEO PT Intisari, itu aku. Harus menjalin hubungan keluarga dengan pemberi modal. Apa
Setelah satu minggu berlalu, Hasan menerima telepon dari profesor Kuncoro Hadi, bahwa email yang dikirimkan ke temannya telah mendapat jawaban. Calon investor itu meninggalkan nomor telepon kantornya dan meminta Hasan untuk menghubungi. Tidak membuang waktu lagi, Hasan langsung menghubunginya, beliau adalah seorang keturunan Australia yang sudah menjadi warga negara Indonesia bernama Duke Horrison, berusia lima puluh empat tahun. Duke meminta Hasan untuk mengirimkan proposalnya, namun karena masalah ini cukup urgent bagi Hasan, dia akan menemui mister Duke sendiri ke Bandung. Di akhir pekan, Hasan pergi menemui mister Duke sendirian dengan persiapan materi presentasi yang lengkap, biasanya mister Duke tidak ingin mengurusi pekerjaan di akhir pekan, namun karena pengaruh perkataan dan bujukan Kuncoro teman lamanya, maka mister Duke tertarik dan menyediakan waktu di kediamannya. Setelah sampai bandara, Hasan langsung mencari taksi untuk mengantarkan ke alamat yang sudah dicatatnya dal
Selesai makan siang, mereka membicarakan bisnis dengan serius di ruang tamu, Dave dan putranya membaca dengan serius salinan proposal yang diajukan oleh Hasan, sesekali mereka bertanya poin-poin yang ada dalam proposal tersebut. Dave merasa puas dengan rencana yang terstruktur di dalam proposal tersebut yang memuat rincian biaya pembangunan pabrik serta keuntungan yang akan di dapat dalam sepuluh tahun ke depan. "Baiklah, Mas Hasan. Dalam waktu dekat ini saya akan melakukan survei lokasi dan mengobservasi ketepatan investasi, jika semuanya sesuai dengan proposal ini, saya akan menginvestasikan dana, jika memang menguntungkan, saya akan membiayai penuh pembangunan pabrik dan pembagian keuntungan Fifty-Fifty, okey?" "Oke, Mister. Saya tunggu kehadiran anda di lokasi," ujar Hasan dengan senyum sopan. Percakapan mereka terhenti ketika melihat sosok wanita cantik, memakai dress selutut berwarna krim, kulitnya yang putih terlihat bersinar dengan gaun yang tersebut. Langkah wanita itu te
"kebetulan belum, syukurlah kami belum memiliki anak, jadi tidak ada yang menjadi korban," ujar Hasan. "Apakah masalah anak sehingga kalian bercerai?" "Tidak, karena memang kami tidak berjodoh saja." "Bukankah Kak Hasan sudah lama sendiri? Kenapa tidak mencari penggantinya?" "Aku sudah punya calon istri." Jawaban Hasan membuat Laura tersentak, mulutnya tiba-tiba terasa kelu dan membeku. Bagaimana dia bisa mengabaikan sosok lelaki di depannya? Bukankah lelaki dengan kualitas seperti ini akan banyak wanita yang mengejarnya? Akan tidak wajar jika dia tidak memiliki wanita dalam hidupnya, lelaki seperti ini bahkan layak memiliki beberapa wanita. Laura hanya menyesalkan kenapa dia selalu terlambat bertemu dengan pria ini, sepertinya dia hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki. Sekilas dia teringat dengan Shintia temannya yang sudah putus dengan Adi, mereka putus karena orang tua Shintia yang memilik usaha retail itu tidak setuju memiliki menantu hanya seorang pegawai negeri, Shintia
Awal pekan ini, Aina kembali sibuk. Dia sekarang di tempatkan di bagian perekapan data masuk dan keluar bahan di gudang. Untuk perekapan data karyawan oleh Faisal di serahkan pada Ayu Soraya, karena ternyata Ayu Soraya kurang cakap orangnya, sehingga diberi data sederhana sekedar merekap absen yang di dapat dari mandor lapangan. Pekerjaan Aina cukup rumit, dia harus mensurvei barang di gudang, apakah sesuai dengan jumlah yang dilaporkan oleh kepala gudang. Dia bahkan sering menemui selisih yang cukup signifikan, dulu Wandi tidak mengeceknya secara mendetail sehingga sering kebobolan barang di gudang yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Aina melalukan pekerjaannya dengan teliti sebagai penanggung jawab moral. Dia juga melakukan itu semua demi usaha kekasihnya, kasihan lelaki terkasihnya itu sudah bekerja keras, pontang panting mencari dana demi menghidupkan usaha ini demi kepentingan orang banyak, jika usahanya digerogoti dari dalam terus, walau tidak menyebabkan b
Tanpa berpikir lagi, Dodi Rosadi segera meraih tubuh Aina yang masih di dalam bak, mengeluarkannya dan menarik tangannya ke luar dari kamar mandi. Situasi di luar kamar mandi sangat mengerikan, asap begitu hitam dan pekat, bau bahan kimia yang terbakar membuat kepala Aina berdenyut sakit, dadanya bahkan sangat sesak, hingga rasanya dia telah berhenti bernapas. Dia tidak kuat lagi, sehingga tubuhnya roboh dan tidak sadarkan diri. Dodi Rosadi bertambah cemas, tanpa menghiraukan apapun, dia segera membopong tubuh Aina menerjang haral rintang dan menerobos api. Kedua lengannya melepuh terlalap api, celana bahannya sebagian bahkan sudah terbakar. Sampai di luar gudang, sudah banyak orang yang berkumpul, sebagian dari mereka mengambil air pakai ember untuk memadamkan api dan sebagian yang lain mengambil ranting basah dan memukulkan api. Beberapa orang menyemprotkan api dengan selang dari pompa air. Ketika melihat Dodi Rosadi yang keluar gudang dengan keadaan yang mengenaskan, semua orang
Setelah jam besuk habis, Hasan berjalan gontai keluar dari ruang ICU, memang ruang ICU ketat untuk menerima kunjungan demi menjaga pasien kritis seperti Aina. Sebenarnya Hasan tidak rela meninggalkan Aina sendiri, dia ingin tetap berada di sana, ketika Aina membuk mata, dialah orang yang akan dilihatnya pertama kali.Di luar ruangan, dia sudah disambut oleh keluarga Aina dan juga Syarif beserta istrinya."Bagaimana keadaan Aina, Bang?" tanya Syarif, sampai sekarang Syarif belum mengetahui jika Aina berwajah cantik."Dia masih belum sadar," ujar Hasan dengan wajah sedih.Sebenarnya Syarif menelpon Hasan hanya mengabarkan jika gudangnya terbakar, ketika Hasan menanyakan ada korbannya atau tidak, dia secara spontan menjawab jika Aina dan Dodi yang menjadi korban, tidak disangka jika Abang tirinya itu berteriak saking terkejut dan paniknya. Syarif sudah mencurigai dari dulu jika Hasan menyukai Aina, namun bukankah di pesta pernikahannya dia membawa gadis cantik yang diakui sebagai pacarny