POV DANU "Siapa yang membereskan semua ini?" Bola mata Bu Maemunah membulat, lalu menatapku seakan tak percaya. "Apa sih, Bu? Aku kok penasaran," ucap istri Haji Junaedi meraih surat yang sedang dibaca Bu Maemunah. "Lha ini 'kan rincian biaya rawat inap," ucap Bu Hajjah Junaedi. "Sudah beres gitu lho, tinggal pulang saja," imbuhnya lagi mengembalikan surat itu kepada Ibu Maemunah. Pak Rojali bangkit dari duduknya lalu mengajakku menjauh dari mereka, mendekat kearah pintu."Nak Danu yang membereskan urusan ini?" tanya Pak Rojali kepadaku. Aku hanya mengangguk saja, tanpa berkata apapun. "Kenapa?" tanya Pak Rojali lagi. Lalu kujelaskan bahwa tadi suster yang meminta untuk segera mengurus administrasi Simbah ketika mereka sedang berdebat. "Saya hanya ingin membantu saja, Pak. Maaf," kata terakhir ku kepada Pak Rojali. "Bapak jadi merepotkan Nak Danu lagi," ucap Pak Rojali penuh sesal, calon mertuaku ini pun menunduk dihadapan ku. "Sudahlah, Pak. Tak usah dipikirkan. Anggap saja
Pov Danu Ku menunggu munculnya Simbah dan semua di muka pintu utama klinik ini sambil memainkan ponselku. Di benak ini entah mengapa bayangan Zahra mengenakan jilbab merah selalu saja melintas. Hmm, serasa ingin segera bisa menghalalkan Zahra, bila seperti ini terus. Rasa cinta dalam hati ini kurasa begitu dalam. Sedetikpun bayangan Zahra selalu saja melintas, ia seperti tak pernah pergi meninggalkan ku. Ah, andai saja kini sudah halal ... pasti aku lebih bahagia dari apapun. Sedang asyik menunggu tiba-tiba Ani berlari ke arahku. "Mas, dipanggil ke dalam sama Simbah," ucapnya terengah-engah saat tiba di depanku. "Ada apa lagi?" Aku heran kenapa aku harus kedalam lagi, bukanya semua administrasi sudah beres. "Itu, itu ... di dalem keluarga Haji Junaedi menahan kepulangan Simbah," imbuh Ani lagi. Wah, nggak bisa dibiarkan ini. Lama-lama bikin rusuh juga keluarga itu. Langsung saja ku melesat kedalam klinik menuju ruangan Simbah. Benar saja saat ku sampai di depan ruangan Simbah,
Degup jantung semakin tak beraturan membuat keringat dingin mengucur deras membasahi wajah seorang Danu Herlambang. Pemuda itu memarkirkan mobilnya tepat dihalaman rumah simbahnya Zahra. "Alhamdulillah, sampai juga," ucap Pak Rojali. "Alhamdulillah," akhirnya kita pulang ya, Mbah," ucap Ani sumringah. Wajah ibu Maemunah tak kalah senang, ia hanya berbisik mengucap syukur. Setelah mobil berhenti, semua orang keluar dari mobil, kecuali Danu. Ia malah termenung sambil mengatur nafasnya yang kian memburu. Beruntung ia tak punya penyakit asma, jika punya bisa-bisa kambuh mendadak. Dada putra Herlambang itu semakin bergemuruh kala melihat Zahra bidadarinya keluar berjalan perlahan menuju mobilnya, bak adegan film yang di perlambat, Zahra berjalan pelan anggun sekali, dibalut rok hitam panjang, baju batik panjang dan berkerudung merah. "Cantiknya, bidadariku," ucap Danu lirih. Ia terbius suasana sore ini, sampai-sampai tak mendengar kala Ani mengedor kaca mobilnya. "Mas, Mas Danu. Mas
Zahra menghilang dibalik pintu kearah ruang tengah, kamar mandi rumah Simbah digabung dengan ruangan dapur. Danu menyapu semua yang ada di depan matanya. "Hmm, seperti ini rumah didesa, mau mandi saja harus bergantian. Tapi seru juga ya, melatih kesabaran, dan bisa dulu-duluan siapa cepat dia dapat," gumam Danu dalam hati. Danu masuk kamar mandi. Ia kikuk memandang sebuah bak mandi besar dengan satu gayung. "Gimana cara mandinya? Nggak ada shower, hanya keran saja," Danu kikuk berhadapan dengan kamar mandi didepannya ini. Maklum, dari kecil ia terbiasa mandi menggunakan shower, baru kali ini dia mandi di tempat lain, selain kamar mandinya. Danu menyiduk air menggunakan gayung, sudah ia duga airnya dingin. "Yah, apa boleh buat, menggigil kedinginan jadilah," ucapnya lirih. Selesai mandi Danu segera mengganti pakaiannya, beruntung semua sudah ia siapkan didalam tas, tak lupa ia memakai deodorant plus parfum. "Mas, cepetan gantian kamar mandinya. Wudhu diluar aja." Suara teriakan
"Apa itu selambu?" tanya Danu heran, ia menghampiri Diki. "Ya ini, lho, Om. Biar nggak digigit nyamuk," terang bocah itu menyerahkan gulungan kain berwarna pink kepada Danu. "Ini diapain?" Danu tak mengerti cara menggunakan kain itu. "Ya di pasang disini Om, nanti kita tidur di dalam selambu. Aku tidur sama Om boleh 'kan?" ungkap Diki sambil membuka gulungan kain itu. "Ya tentu," ucap Danu sambil mengulas senyum. "Asyik!" Diki kegirangan. Danu memasang kelambu tidur berbentuk kotak segi empat bersama Diki. Ini pertama kali dalam hidupnya memasang kelambu. "Ini kaya tenda perkemahan, ya," ucap Danu setelah memasang kelambu tidur. "Iya, Om. Kalo tidur di dalam sini, nggak akan di gigit nyamuk," terang Diki. "Wah, sudah selesai masang kelambunya," puji Bulik Rita. Ia membawa bantal dan selimut untuk Danu. "Ma, aku mau bobo sama Om Danu boleh 'kan?" tanya bocah laki-laki itu. Rita-ibunya hanya mengulas senyum, pertanda mengizinkan. Kilat dan Guntur saling bersahutan, membuat su
Pertanyaan terakhir Danu, sukses membuat Zahra lumayan bingung menjawabnya. "Bagaimana ini, harus ku jawab apa pertanyaan yang satu ini?" Zahra larut dalam pencarian jawaban pertanyaan calon suaminya dari balik tirai itu. Ia berpikir sembari mendekap sahabat setianya yakni Al-Qur'an yang selama ini ia hafalkan. "Ya Robb, harus kujawab apa pertanyaan ini? Aku masih bimbang." Zahra menarik nafas dalam-dalam. "Zahra, mengapa diam?" lirih Danu. Ingin sekali ia buka tirai pembatas itu, melampiaskan keinginannya untuk sekedar memandangi wajah bidadarinya. "Hem. Nggak papa, Mas," jawab Zahra singkat. "Pertanyaan ku belum di jawab," ucap Danu. "Seperti kataku tadi, Mas. Manusia boleh berkehendak, namun Allah yang menentukan," balas Zahra. "Mungkin untuk ini, sudah saatnya aku sholat istikharah," kata hati Zahra. Danu serasa tersengat listrik, saat mendengar jawaban dari Zahra yang menurutnya belum pasti. Namun, ia ingat ucapan Zahra bahwa manusia hanya bisa berkehendak saja. "Hmm, sep
Sujud demi sujud dilakukan dengan khusyuk oleh Zahra, sementara Danu berusaha terlelap menuju alam mimpi. Kebiasaan yang bertolak belakang antara Zahra dan Danu membuat mereka seperti bumi dan langit. Zahra sangat taat beragama sedang Danu ya, bersyahadat saja baru kurang lebih satu bulan. Namun, Danu memiliki rasa cinta yang begitu kuat terhadap Zahra hingga membuatnya rela merubah arah hidupnya. Sedang Zahra, entah ... ia masih belum bisa memutuskan apakah ia mencintai Danu. Rasa cinta itu nyatanya belum hadir dalam hatinya. Apalagi Danu bukan tipe Zahra. Kini Zahra hanya berusaha meminta petunjuk kepada Allah lewat shalat istikharah. Sedang Danu hanya berdo'a sesuai yang ia bisa. Perlahan mata Danu terlelap menuju alam mimpi. Di sisi lain Zahra kini bermunajat meminta jodoh terbaik untuk dirinya dan hidupnya. "Ya, Allah yang Maha menguasai seluruh isi dunia, dimana hati manusia dalam genggaman Mu. Ku bersimpuh hina disini, memohon keridhaan jodoh terbaik untuk diriku dan hidu
"Ah, benar dia Zahra," batin Danu. Ia berjalan mendekat. "Ehem, boleh aku bantu?" sapa Danu dari jarak 2 meter. Zahra terperanjat, lalu menoleh sumber suara. "Eh, Mas Danu. Nggak usah, Mas. Ini sudah mau selesai," tolak Zahra halus, ia menundukkan pandangannya."Ini, sayuran apa namanya?" Danu mencoba mengajak Zahra ngobrol sambil sesekali mencuri pandang ke wajah ayu bidadarinya. "Ini, namanya daun singkong, Mas," jawab Zahra seperlunya. Danu manggut-manggut sok paham, padahal ia sama sekali tak mengetahui sayuran itu. Yang ia tahu hanya sayuran yang sering dimasak oleh asisten rumah tangganya dirumah. "Permisi, Mas. Ini sudah cukup, Zahra masuk duluan, mau masak sayur ini," pamit Zahra berlalu sambil menundukkan pandangannya berjalan membelakangi Danu menuju kedapur. Tangan Danu berusaha menahan agar Zahra tak pergi. Namun, yah hanya sebatas gerakan tak menyentuh sedikitpun tubuh Zahra, bahkan bayangannya juga. Danu menurunkan perlahan tangannya yang hendak meraih Zahra. "Hh