JEVINAku dan Niken baru saja meninggalkan rumah sakit. Cukup lama kami berada di sana. Tadi aku juga mengikuti sesi psikoterapi, hanya berdua dengan dokter, sedangkan Niken menunggu di luar. Tapi aku yakin pasti dokter yang menanganiku menceritakannya pada Niken.“Dokter Ivan bilang katanya kamu nggak kooperatif,” cetus Niken yang sedang menyetir di sebelahku sambil memandang sekilas.Aku diam tidak menanggapi. Bukan tidak kooperatif, tapi terlalu sulit untuk mengungkapkan apa yang kurasakan.“Kalau kamu terus begitu dokter akan sulit membantu kamu, Jev. Kamu nggak usah malu. Cerita aja semua yang kamu rasakan sama dokter. Dia nggak akan menertawakan kamu. Kalau kamu kayak gini aku jadinya juga sedih,” ucap Niken menunjukkan keprihatinannya.Aku masih mengunci mulut, tidak sedikit pun merespon kata-kata Niken. Jika dia orang lain mungkin akan muak padaku. Tapi ini Niken, perempuan baik hati yang stock kesabarannya tiada batas.“Jev, aku nggak marah, kamu jangan tersinggung ya,” imbuh
ZELINEDimas baru saja menelepon. Dia mengonfirmasi mengenai keberangkatanku nanti sore. Dari awal sampai akhir bantuan Dimas tak terhitung lagi jumlahnya. Dimaslah yang membantuku mengurus persyaratan LPDP, mengantar dan menemaniku selama tes, sampai memberiku semangat yang berkobar-kobar. Energi positif Dimas menular padaku sehingga aku ikut menjadi pribadi yang optimis.Tidak cukup sampai di sana. Dimas juga yang mencarikan tempat tinggal di New York. Jadi bagaimana Papa tidak akan simpati padanya? Papa memercayakanku sepenuhnya pada Dimas. Kata Papa lagi Dimas adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab. Berbeda dengan … Jevin.Aku ingin membantah kata-kata Papa dengan mengatakan bahwa Jevin bukannya tidak bertanggung jawab, tapi Papalah yang tidak menyetujui hubungan kami. Tapi karena tidak ingin menambah luka di atas luka yang belum sembuh maka aku pun memilih diam dan memilih menyimpan semua pembelaan itu di dalam hati.Ngomong-ngomong soal Jevin sudah sangat lama aku tidak
ZELINEWelcome to New York, the city that never sleeps.Finally, aku menginjakkan kaki di negara Paman Sam for the first time. Dimas sudah menunggu saat aku tiba di John F Kennedy airport.Dia melempar senyum dari jauh saat melihatku mendekat ke arahnya.“How was your flight?” tanyanya setelah kami berdiri tepat berhadapan.“It was awesome.” Walaupun sangat melelahkan namun penerbangan sehari penuh itu begitu seru. Aku mendapat banyak pengalaman dan kenangan yang tidak akan terlupakan.Dimas memindaiku dari puncak kepala hingga ujung kaki. Dia memeriksa setiap detail tubuhku. Memegang tanganku, membalikkan sling bag yang tersampir di pundak sampai memutar tubuhku yang membuatku kebingungan.“Kenapa, Dim?” tanyaku heran.“Syukurlah nggak ada yang kurang,” jawabnya dengan embusan nafas lega. “Jadi nanti aku bisa tenang ngelapor sama Om.”Aku tertawa lalu mencubit lengannya saat menyadari apa yang Dimas maksud. Dia juga tertawa.“Mau jalan-jalan dulu atau langsung pulang?” tanyanya sambi
JEVINJavas tampak sangat syok setelah mendengar pengakuanku. Setelah lama bertahan memendamnya di dalam hati aku memutuskan untuk mengungkapkan pada Javas. Semoga saja Javas mengerti. Bukankah dia juga pernah berpisah dengan Zoia? Oleh karena itu aku yakin sedikit banyak Javas akan memahami perasaanku.“Jadi Zeline yang bikin lo sakit? Jadi dia yang nggak berhenti lo pikirin?” Javas mulai dengan interogasinya.“Nggak ada hal lain yang bisa gue pikirin selain dia, Jav,” jawabku sedih. Seharusnya ini nggak boleh terjadi. Aku sudah melepaskan Zeline baik-baik dan mencoba untuk merelakannya dengan orang lain. Tapi ternyata aku tidak benar-benar sanggup. Kehilangan Zeline merupakan pukulan paling telak dalam hidupku.“Tapi lo nggak bisa kayak gini terus-terusan, Jev. Lo sama Zeline tuh nggak jodoh. Jodoh nggak bisa dipaksa, Jev,” kata Javas menasehatiku.“Gue tahu itu. Tapi gue tetap nggak bisa ngelupain dia,” erangku bertambah sedih.“Udahlah, Jev, lo nggak usah ngerasa bersalah kayak
ZELINE“Gimana tadi di kampus? Ada kendala?”Aku menggelengkan kepala, menidakkan pertanyaan Dimas.Hari ini adalah hari kedua aku di New York jika dihitung sejak kedatangan kemarin. Tadi Dimas mengantarku ke kampus, menemani sebentar kemudian meninggalkanku sendiri walau dengan berat hati karena dia harus kerja. Perkuliahan baru akan dimulai minggu depan. Hanya saja aku merasa perlu untuk gladi resik dengan mengenali situasi dan lingkungan tempatku menuntut ilmu selama dua tahun ke depan. “Nggak nyasar kan?” tanyanya lagi.“Nggak dong, kalau nyasar kan tinggal telfon kamu.”Dimas tertawa memamerkan deretan giginya yang rapi. Lekuk di pipinya menyembul, yang membuatnya semakin menawan kalau kata Papa. Bukan kataku. Buat aku hanya ada satu pria menawan di dunia.“Gimana kedaan kamu? Nggak pusing, lemas, dan sejenisnya kan?”“Jetlag?”“Yup.”“Syukurnya nggak. Semalam tidurku nyenyak.” Aku bersyukur walau ini adalah penerbangan panjang pertamaku, tapi aku tidak terserang jetlag.“Kalau
JEVINPerdebatan Mami dan Papi di rumah sakit tempo hari tidak membuahkan apa-apa selain rasa depresi yang semakin menjadi. Mami yang keras hati dan egonya tinggi bersikukuh dengan sikapnya. Mami menolak untuk meminta maaf pada keluarga Zeline. Tampaknya Mami memang lebih suka melihat aku begini.“Gini deh, Mi, Pi, gimana kalau untuk sementara Jevin tinggal di rumah aku? Biar Jevin bisa ganti suasana. Lagian ada Kaka di rumah. Dia sering nanyin Jevin.”“Terserah kamu,” jawab Mami ketus dengan tangan bersedekap di dada. Mungkin Mami juga sudah muak melihatku. Siapa memangnya yang tahan menghadapi orang depresi seperti aku?Lalu setelahnya Javas benar-benar membawaku ke rumahnya. Javas dan Zoia memperlakukanku dengan baik. Aku sedikit teralihkan dari duniaku yang sepi oleh tingkah dan perangai Bjorka yang lucu dan menggemaskan. Andai suatu saat nanti aku juga memiliki anak seperti Bjorka. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena Zeline sudah lepas dari genggaman.Malam ini Javas masuk ke k
ZELINEEntah mengapa malam pertama di rumah Mbak Zola aku nggak bisa tidur. Padahal rumahnya begitu nyaman dan cukup jauh dari keramaian. Perutku juga sudah kenyang. Mbak Zola masak banyak banget tadi yang khusus untuk menyambut kedatanganku. Tapi mungkin pikirankulah yang bermasalah.Sejak melihat kebersamaan Fai dan Zach tadi, aku tiba-tiba teringat peristiwa kelam itu. Andai saja dulu dia sempat lahir mungkin sekarang aku sudah menjadi seorang ibu muda dengan konsekuensi mama dan papa akan marah besar atau bahkan mengusirku dari rumah. Namun, di sisi lain aku menang karena berhasil mengalahkan ego dan terselamatkan dari perasaan berdosa.Hanya aku yang tahu, setiap kali melihat anak-anak aku akan merasa sedih karena teringat pada anakku sendiri yang tidak kuberi kesempatan untuk hidup. Ibu macam apa aku?Lamunanku tentang kelamnya masa silam terhenti ketika ponselku berbunyi. Ada telepon dari Dimas.Aku memutuskan untuk menerima panggilan itu. Hitung-hitung ada teman bicara sampai
JEVINMami sudah pergi sejak berjam-jam yang lalu. Awalnya dia ingin mengajakku pulang ke rumah, tapi aku menolak. Aku lebih betah berada di rumah Javas. Di sini adem. Di sini aku merasa lebih tenang. Di sini orang-orangnya baik, walau mungkin aku sangat merepotkan. Sehingga pada akhirnya Mami pergi.Yang bisa kulakukan sejak tadi hanya melamun, lalu duduk di dekat jendela memandang pemandangan di luar sana lantas kembali berbaring. Hal yang sama kulakukan berulang-ulang setiap hari sampai aku benar-benar bosan.Aku keluar dari kamar. Mungkin ada sesuatu di luar sana yang bisa sedikit membuka pikiranku. Entah apa. Aku membawa langkah ke ruang belakang. Kakiku tertahan saat mendapati suara ribut-ribut.“Aku udah capek banget ngadepin Mami kamu. Aku udah mengalah. Mencoba mengerti keadaan, sifat dan karakter dia, tapi apa yang dilakukannya tadi udah kelewatan banget, Jav. Aku udah nggak tahan. Dia bikin aku tersinggung. Nggak masalah kalau dia memang nggak suka sama Zeline, lagian mas