"Kamu yakin ingin kembali dengan Alif, Lau?" Tiara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Laura.Bukan hal mudah, apalagi Tiara juga termasuk orang yang ikut dalam kisah hidup Laura. Sosok yang juga ikut serta jatuh bangun bersama dengan Laura."Seminggu lagi hari pernikahanmu dan Alif, Lau. Rasanya aku tak menyangka kau kembali lagi pada seseorang yang sudah membuatmu terluka dahulu.""Jujur, aku sebagai seorang sahabat seperti merasa tak rela sahabatku jatuh ke lubang yang sama. Aku takut dia akan mengulangi kesalahannya lagi.""Tiara, aku meminta banyak terima kasih padamu, karena selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat dan juga Kakak Ipar sepertimu. Doakan yang terbaik untuk adik iparmu ini. Walau rasanya, ini seperti dejavu. Aku juga tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada Mas Alif." Laura memegang tangan sang sahabat, dia menatap Tiara dengan rasa sayang yang dalam. Tiara sendiri langsung memeluk Laura. Air matanya menetes begitu saja, antara rasa tak rela dan ju
"Mas, mau langsung berangkat kerja, nggak sarapan dulu?" tanya Laura saat melihat Alif yang buru-buru karena bangun kesiangan."Mas langsung berangkat saja ya, Sayang, takut telat. Nanti kalo kamu mau datang aja ke kantor aku ya, ajak Reyhan sekalian. Kapan lagi kan kamu ke kantor aku," ucap Alif sambil memakai sepatunya."Iya, nanti aku ke kantor kamu ya, Mas. Oh ya, mau dibawain apa bekal siang nanti?" tanya Laura lagi sambil mendekat pada sang suami."Apa saja, masakan kamu selalu pas di lidah aku. Jadi apapun itu pasti akan aku makan, termasuk kamunya." Alif langsung tertawa ketika mendapat pelototan tajam dari Laura."Udah, jangan kebanyakan gombal. Lihat tuh udah jam berapa," ucap Laura sambil menggandeng tangan Reyhan dan juga mengamit lengan kekar sang suami."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah, jangan terlalu kerja yang berat-berat nanti capek," ucap Alif begitu perhatian pada Laura."Iya, kamu juga, ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut pokoknya kal
"Dek, tadi Mami ada menghubungiku," ucap Alif saat sedang menikmati masakan milik istrinya. Sedangkan Laura sibuk mengurus Reyhan yang berlarian ke sana kemari."Oh ya, Masyaa Allah kangen banget aku sama Mami. Gimana kabar Mami sekarang, Mas, udah lama kita nggak ketemu sama beliau," kata Laura pada Alif. Ia lalu berjalan mendekati Alif dengan Reyhan dalam gendongannya."Alhamdulillah baik, Dek. Tapi Mami tadi ada ngomong sesuatu sama, Mas. Mami nyuruh Mas untuk pulang ke B******. Katanya kita disuruh ngurus butik yang dahulu di kelola sama Almarhum Mama. Tapi kalo Adek nggak mau, ya nggak papa. Mas nggak bisa maksa juga, Mas nggak mau kalo Adek nggak nyaman nantinya di sana." Alif berbicara langsung tanpa menunggu jawaban dari Laura. Alif hanya takut Laura tak mau pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama dengannya dan juga pastinya Laura akan berjauhan dengan Ayah dan Ibunya.Sedangkan Laura dia nampak terdiam. Lalu setelahnya menatap Alif dengan wajah tersenyum. "Kata
"Bu," tegurku saat mendengar Ibu seperti sedang memojokkan Mas Alif."Laura, Ibu seperti ini karena Ibu tidak ingin kamu merasakan sakit kembali. Ibu tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, cukup sekali saja dia berkhianat dan membuat kamu seperti mayat hidup.""Dari awal memang Ibu kurang setuju jika kamu harus berbalikan dengan Alif, tapi saat melihat binar di matamu. Ibu jadi tidak tega jika harus menghalangimu untuk bersama dengannya. Kamu harus mengerti, Laura, semua yang Ibu lakukan murni untuk kebaikan kamu untuk kebahagiaan kamu dan juga Reyhan. Kalo kalian jauh dari Ibu, Ibu tak bisa memantau rumah tangga kalian, Ibu juga tidak bisa mengawasi Alif lagi." Ucapan membuatku membeku seketika. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam pikiran.Mengapa?Hanya satu kata yang menimbulkan banyak tanya, mengapa Ibu menjadi berubah, ke mana sosok ibuku yang begitu lembut dahulu. Sosok Ibu yang tak pernah menilai seseorang dari masalalu mereka. Mengapa Ibu seperti sosok yang tak bisa
Aku terdiam tatkala Ibu mengungkapkan kekhawatirannya pada Laura. Aku merasakan sedih saat Ibu masih tak dapat memberikan kepercayaannya lagi padaku.Ya, aku sadar luka hati Laura begitu besar. Sikap dan perbuatanku dulu memang tak akan mungkin terlupakan. Aku juga tak ada niatan untuk melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri.Kutatap manik mata milik Laura yang sudah basah, bergantian dengan Ibu yang juga terlihat berkaca-kaca. Karenaku, sebuah keluarga mengalami pertengkaran hebat. Karena kehadiranku, mereka tak seharmonis dahulu."Ibu hanya khawatir Laura, Ibu takut kamu tersakiti lagi. Ibu masih belum yakin Alif bisa berubah seperti yang kamu harapkan." Dari awal memang aku memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan antara Ibu dan anak. Masih tak berani ikut berbicara takut menambah keadaan semakin memburuk."Tak perlu mengkhawatirkan Laura, Bu. Mas Alif sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab. Mas Alif sudah benar-benar berubah, Bu, dia sudah tak lagi mengambil peke
Ting!Satu notifikasi masuk ke gawaiku. Aku yang baru saja selesai mandi menatap gawai tersebut.Kuselesaikan terlebih dahulu kegiatan yang kulakukan, barulah melihat nama pengirim pesan itu.Tiara, nama yang tertera di sana. Sahabat, sekaligus calon Kakak iparku. [Suamimu ada di rumah, Lau?] Bunyi pesan yang dikirimkan Tiara padaku.Aku mengernyitkan dahi heran, tumben-tumbenan dia menanyakan keberadaan Mas Alif, suamiku. Biasanya tak pernah dia menyakan hal itu.[Kenapa memangnya, Ra?] Aku bertanya balik padanya. Penasaran kenapa dia menanyakan keberadaan suamiku. Apakah ada hal penting yang ingin dia lakukan dengan Mas Alid.[Ah, tidak. Hanya menanyakan saja,] tulisnya lagi.Aneh. Aku tak ingin berburuk sangka padanya, tak mungkin bukan dia bermain api dengan suamiku.Namun, kenapa seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tiara, pikirku.[Oh, kebetulan Mas Alif beberapa Minggu kemarin berangkat ke Ibu kota karena suatu pekerjaan. Jadi, di rumah cuma ada aku sama Bi Wati aja,] b
'Baiklah, Mas. Aku ingin melihat seberapa pintar kamu menghancurkanku.' Aku tersenyum sinis. Aku akan membuktikan, bahwa aku adalah Laura yang dulu sebelum ia mengenaliku.'Kamu akan menyesal, Mas!' batinku."Bagaimana jika dia benar-benar membawa wanita itu, Ra?" tanyaku."Itu akan lebih baik, Lau. Dan tentu saja akan mempermudahkan kita mengumpulkan bukti-bukti." Tiara mengetuk dagunya dengan jari telunjuk."Aku berharap itu hanya editan, Ra. Hatiku menolak menerima berita ini, Mas Alif adalah sosok kepala keluarga yang paham dengan agama. Tak mungkin rasanya dia mendua," ucapku masih menentang apa yang disampaikan Tiara. Namun di sisi lain, Tiara sahabatku sekaligus calon iparku. Apa mungkin dia ingin menusukku dari belakang, dengan cara menghancurkan rumah tangga yang terbangun selama ini.Rasanya mustahil, Tiara bukanlah orang yang seperti itu, dia adalah sosok yang paling mengayomi. Sosok yang selalu ada untukku di saat susah maupun senang Jadi untuk apa dia bersusah payah meng
Tikus kecil yang pintar berbohong, batinku."Oh," jawabku tak acuh. Lalu berjalan mendahuluinya. Membiarkan ia tenang sebentar.Terdengar helaan nafas dari belakang. Sepertinya sangat susah untuknya bernapas di depanku.Baiklah, tak apa, kali ini kamu aman, Mas. Entah untuk besok atau seterusnya. Aku tersenyum getir, begitu bersemangat sekali Mas Alif menutupi kebohongannya. Semakin ia menutupi, semakin aku bersemangat untuk mencari bukti agar secepatnya berpisah dengan Mas Alif."Oh iya, Mas. Minuman vanilla yang tumpah ya, sejak kapan kamu suka minuman begitu?" Aku bertanya sambil berbalik menghadapnya. Kulihat dia yang mulai tergagap karena aku yang tiba-tiba memberikan pertanyaan seperti itu padanya."Sejak ... e-em sejak Mas kerja kemaren itu, M-mas kan ngurusin proyek." Mas Alif makin terlihat seperti orang yang hilang kesadaran."Kamu kok kayak polisi gitu toh, Dek. Dedek gemes!" ucapnya sambil melangkah maju dan mencium kedua pipiku.Aku langsung mendorongnya dengan pelan. Mer