Share

Dia Pulang!

'Baiklah, Mas. Aku ingin melihat seberapa pintar kamu menghancurkanku.' Aku tersenyum sinis. Aku akan membuktikan, bahwa aku adalah Laura yang dulu sebelum ia mengenaliku.

'Kamu akan menyesal, Mas!' batinku.

"Bagaimana jika dia benar-benar membawa wanita itu, Ra?" tanyaku.

"Itu akan lebih baik, Lau. Dan tentu saja akan mempermudahkan kita mengumpulkan bukti-bukti." Tiara mengetuk dagunya dengan jari telunjuk.

"Aku berharap itu hanya editan, Ra. Hatiku menolak menerima berita ini, Mas Alif adalah sosok kepala keluarga yang paham dengan agama. Tak mungkin rasanya dia mendua," ucapku masih menentang apa yang disampaikan Tiara. Namun di sisi lain, Tiara sahabatku sekaligus calon iparku. Apa mungkin dia ingin menusukku dari belakang, dengan cara menghancurkan rumah tangga yang terbangun selama ini.

Rasanya mustahil, Tiara bukanlah orang yang seperti itu, dia adalah sosok yang paling mengayomi. Sosok yang selalu ada untukku di saat susah maupun senang

Jadi untuk apa dia bersusah payah mengedit foto ini dan memberikannya padaku. Akan tetapi, rasanya aku masih tak terima jika benar kenyataannya Mas Alif telah mendua.

Itu seperti sulit diterima oleh akal dan logika. Sungguh, benar-benar tak bisa tergambar dengan sempurna bagaimana rasa sakitnya.

Dadaku terasa perih. Sesak menghampiri, hingga bernapas pun rasanya sangat sulit.

"Semoga saja, Lau. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf karena sudah memberitahukan ini padamu," ucap Tiara dengan wajah seperti menyesal. Namun aku paham, ini semua juga dilakukannya karena dia begitu sangat menyayangiku. Selama abangku tak ada, dialah sosok yang menjadi penasehat.

"Tak masalah, Ra. Mungkin ini memang jalannya aku mengetahui itu semua, tapi kenapa Mas Alif melakukan itu?" Aku menangis terisak kembali.

"Kenapa dia harus menyembunyikannya dariku, mengapa dia berbohong. Andai dia bosan, dia bisa mengatakannya. Tak perlu bersusah payah untuk menyakitiku. Cukup kembalikan saja aku pada orang tuaku secara baik-baik, sama seperti saat dia datang untuk meminang ku sebagai calon istrinya."

Kuungkapkan keckecewaanku yang begitu dalam pada Tiara. Mengapa harus aku tahu dari orang lain, kenapa tak dia sendiri yang mengatakan sejujurnya.

"Jangan menangis, Lau. Jika kamu menangis, aku semakin merasa bersalah karena memberitahukan ini semua."

Aku menatap manik mata Tiara dengan sendu. Andai dia tau, aku hanya kecewa hingga tak bisa lagi menahan air mata.

"Aku hanya tak dapat membayangkan, bagaimana Mas Alif bisa membagi hati bahkan memadu kasih bersama wanita lain," lirih aku berucap, nyaris tak terdengar.

"Lau .... Kamu kuat, aku tau itu. Kamu bukanlah wanita yang gampang untuk disakiti, Lauraku harus bangkit demi dirinya sendiri," ujar Tiara sambil menunjuk dadaku.

Aku terdiam menunduk dalam. Benar yang dikatakan oleh Tiara.

"Lau ...."

Tiara memanggil namaku lagi, aku menoleh menatapnya.

Mataku mengisyaratkan tanya 'ada apa'?

"Mungkin sekitar tiga jam lagi, Alif akan sampai ke rumah ini," ucapnya.

Aku termenung lama.

"Lalu?" tanyaku tanpa menatap Tiara. Namun, mataku menatap lantai rumah.

"Aku harus pulang, ingat jangan menangis. Jangan langsung menanyakan padanya, itu terlalu gegabah." Tiara memegang pundakku. Kini jelas terlihat wajah serius Tiara ketika berbicara.

"Aku tak bisa janji, Ra," ucapku memandangnya sendu.

"Baiklah ... baiklah. Tapi tolong, jangan gegabah. Apalagi sampai membuat Alif curiga bahwa kamu sudah mengetahui semua, nanti yang ada kita akan semakin sulit mendapatkan bukti secara pastinya."

"Doakan saja semoga aku bisa menjalankan dengan baik. Sekarang yang harus aku lakukan adalah, berpura-pura bod*h agar Mas Alif tidak mencurigaiku, 'kan?" tanyaku pada Tiara.

"Oh tidak! Aku memang b*d*h tak pernah mengerti bahwa Mas Alif ada wanita lain. Benar-benar sangat b*d*h!" Aku tertawa miris.

Kupukul kepalaku berkali-kali, diimbangi dengan sesak yang kian mendera.

"Stop! Kalo kamu kayak gini terus, aku nggak yakin mau ninggalin kamu. Biarlah, kita menunggu kedatangan Alif bersama-sama, aku nggak bisa ninggalin kamu," ucap Tiara sambil memegang tanganku yang terus memukul kepala ini.

Kutarik paksa tangan yang dipegang Tiara. Aku menghapus air mata dengan kasar, lalu menghirup nafas dalam.

"Pulanglah, lagian ini sudah hampir waktunya Asar, nanti kamu dimarahin abangku," ucapku mencairkan suasana sambil tertawa.

"Tapi ... kamu tidak berpikir untuk mengakhiri hidup kan, Lau?" tanya Tiara dengan tatapan menyelidik.

Aku mencubit pipi tembem Tiara. Sungguh lugu sekali sahabatku yang satu ini.

"Mana mungkin aku melakukan itu, hidupku terlalu berharga untuk sebuah penghianatan," ucapku, lalu melepaskan cubitan di pipinya.

Tiara hanya bisa mengaduh kesakitan karena ulahku.

"Baguslah ... aku khawatir kau akan melakukan itu. Kalo kamu pergi, nanti nggak ada yang dampingin aku ketika di pelaminan sama abangmu," ucapnya dengan percaya diri.

"Dih, kamu nyuruh aku jadi tukang kipasmu gitu?" tanyaku sambil memukul lengannya pelan. Walaupun bercanda, itu sama sekali tak menghapuskan ingatan yang menyakitkan ini.

"Ya nggak papa lah, daripada nggak ada kerjaan, 'kan," jawabnya mencoba menghiburku. Aku tersenyum tipis.

"Udah ah, kalo ngobrol terus kapan pulangnya aku. Emang ya, ibu-ibu suka gitu, kalo udah ngobrol suka lupa waktu." Tiara lalu berdiri dari duduknya. Kami cipika-cipiki, lalu aku mengantarkannya sampai ke depan pintu.

"Aku pulang dulu ya, ingat jangan coba-coba buat ngelakuin hal yang dilarang agama." Jari telunjuknya mengarah ke hidungku.

"Iya, udah sana pulang gih," ucapku.

"Ngusir nih ceritanya, ya udah ah aku pulang. Assalamualaikum, Laura jangan kangen ya," teriaknya sambil berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman rumah.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan," jawabku sambil melambaikan tangan padanya.

Baru saja kepergian mobil Tiara, tiba-tiba masuk mobil berwarna hitam ke halaman rumahku.

Dan sudah dipastikan bahwa itu adalah mobil Mas Alif.

Saat dulu, setiap dia pulang dari bekerja. Deru mobilnya terdengar, aku langsung berlari dari dalam rumah untuk menemuinya. Bahkan, kadang aku langsung menghampiri mobilnya yang baru saja terparkir, menyambut pelukan hangat yang disediakannya untukku.

Mesra sekali, bukan. Entahlah, tapi sekarang rasanya aku malas untuk melakukan itu.

Walau sebenarnya itu belum terbukti benar. Namun, aku sudah merasakan sakit yang teramat sangat di dalam dada.

"Dedek!" Teriakan Mas Alif mampu menyadarkanku dari lamunan panjang.

Terlihat ia merentangkan tangannya, menunggu aku untuk berlari dan langsung memeluknya.

Tapi, di mana wanita itu. Apa dia tidak ikut, pikirku. Ah, sepertinya Mas Alif sudah menyediakan rumah indah untuknya.

"Ayo sini," ucapnya lagi, yang membuatku menatapnya.

Kubalas hanya tersenyum tipis. Kakiku tak kunjung ingin melangkah, bahkan sekedar menjawab ucapannya pun rasanya kelu.

"Baiklah ... baiklah, sepertinya Mas yang harus menghampirimu," ucapnya dengan senyum yang mengembang.

Mengingat perlakuannya ini, rasanya aku masih tak percaya dia menghianatiku.

Mas Alif, pria dengan postur tubuh yang tinggi, bisa dikatakan ideal. Dengan kumis tipis, dan juga berlesung pipi. Bisa dikatakan ia adalah idaman wanita di luaran sana.

"Dedek, Mas kangen banget sama kamu. Dua Minggu serasa dua tahun tak bertemu," ucap Mas Alif yang langsung saja memelukku.

Kalo dulu, aku akan memukul dada bidangnya ketika ia berbicara begitu. Namun, sekarang rasanya sudah basi.

"Kamu kenapa sih, kok daritadi diam mulu?" tanyanya, mungkin dia bingung dengan sikapku.

"Mas, bukannya tiga jam lagi ya. Kok cepat banget sampainya?" tanyaku berbasa-basi.

"E-eh itu ... Mas salah ketik angka yang harusnya tiga jam, malah Mas tulis lima jam. Maaf banget ya, Sayang," ucapnya.

Duh, pintar sekali ternyata ia berbohong sekarang.

"Tadi mobil siapa yang ke luar dari halaman rumah kita, Tiara ya?" ucapnya yang menebak langsung.

Aku mengangguk pelan.

Aku mencium aroma farpum yang membuat kepalaku pusing.

"Mas, kok bajumu kayak bau vanilla ya?" tanyaku sambil menutup hidung.

"Hah?" Mas Alif terlihat gelagapan.

"Ini bau parfum vanilla, parfum cewek. Kamu main sama cewek ya, Mas?" tanyaku pelan sambil menatapnya tajam.

"E--eh, nggak ... Dek. Minuman vanilla Mas tadi tumpah ke baju," jawabnya pelan, wajahnya terlihat pias.

Tikus kecil yang pintar berbohong, batinku.

"Oh," jawabku tak acuh. Lalu berjalan mendahuluinya.

Terdengar helaan nafas dari belakang.

Kali ini kamu aman, Mas. Entah untuk besok atau seterusnya, aku tersenyum getir.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status