Share

Tentang Wanita Itu

Hal tak terduga terjadi, Mas Alif langsung buru-buru mengambil gawainya. Sedangkan tanganku melayang di udara bersama gelas yang berada di genggaman.

Aku tertawa miris.

Luar biasa tingkah yang kau buat Mas, batinku perih.

"Aku hanya ingin mengisikan air ke dalam gelasmu yang kosong ini," ucapku tanpa menatapnya.

"E-eh itu, maaf, Dek. Mas hanya takut gelasnya jatuh, lalu gawai Mas rusak kan bisa ribet urusannya." Mas Alif mencoba memberi alasan. Tak perlu mengungkapkan alasan, karena aku sudah sedari tahu lebih awal. Banyak dusta yang sengaja kamu tutupi, Mas.

Sekali saja dia berbohong, maka seterusnya akan begitu.

Orang yang pandai berbohong, akan selalu mencari celah agar kebohongannya tersimpan rapi, tanpa ada yang harus mengetahui. Padahal kenyataannya salah, karena serapi apapun bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium baunya.

"Kalo rusak bisa beli lagi kan?" tanyaku, lalu mengembalikan gelas yang awalnya kosong itu.

"Bukan masalah hapenya, Dek. Tapi nomor penting yang ada di sini yang akan sulit untuk dikembalikan." Nada bicara Mas Alif terdengar naik beberapa oktaf. Sepertinya dia kesal denganku.

"Lagian aku tak akan seceroboh itu, Mas. Untuk apa aku menjatuhkan gelas di gawaimu, alasanmu sangat tidak logis," ucapku sambil memegang sendok di tangan. Lalu menatap kosong ke depan. Hampa, ya aku merasakan hampa saat kami kembali bertemu. Tak ada kehangatan lagi di antara kami berdua, semuanya hilang seketika semenjak Mas Alif ketahuan menghianatiku

"Maaf, Dek." Mas Alif berucap lirih. Mungkin dia tersadar akan nada suaranya yang meninggi. Karena seumur-umur baru kali ini ia berbicara seperti itu.

"Sudahlah, lanjutkan saja makanmu, Mas. Aku mau ke kamar mandi," ucapku, lalu langsung berdiri meninggalkannya sendiri.

"DEK! Jangan marah, aku minta maaf," ujarnya yang langsung memegang tanganku. Terlihat rasa bersalah di matanya.

"Aku tak marah, aku hanya kebelet," ucapku sambil memberikan senyum manis padanya. Setelahnya melepaskan genggaman tangannya pada telapak tanganku.

Bukan Laura namanya, jika tidak cerdas.

Aku pergi ke kamar mandi tidak sungguh-sungguh. Namun ini kulakukan untuk melihat hal apa yang akan dilakukan Mas Alif setelah aku pergi.

Dari kejauhan dapat kulihat, Mas Alif menoleh ke sana kemari, matanya menyapu ke sekeliling. Mungkin memastikan bahwa tak ada siapapun di dekatnya.

Ya, seperti takut ketahuan lah intinya.

Terlihat Mas Alif berdiri dari duduknya, makanan yang berada di piringnya pun sudah tak tersentuh lagi.

Sebegitu pentingkah orang yang berada di balik panggilan itu, Mas, gumamku lirih.

Mas Alif berjalan menuju luar rumah, aku mengikutinya dengan posisi yang agak jauh.

Terlihat di sana Mas Alif sedang menelepon. Dua tiga kali sepertinya tak kunjung diangkat.

"Kamu ngapain sih nelfon terus?" tanya Mas Alif di balik gawainya.

Aku tak mendengar apa yang dibicarakan orang di ujung sana. Namun, aku mendengar apa yang akan dibicarakan Mas Alif.

"Tau tempat dong, By," ucap Mas Alif. Nada suaranya terdengar kesal.

"Iya tau. Harusnya kamu ngerti dong, aku baru sampai di rumah."

Mas Alif masih terlihat kesal. Bahkan dia berjalan gelisah mondar-mandir ke sana kemari.

"Di sini ada Laura, istriku. Kamu jangan egois dong!" Terdengar bentakan dari Mas Alif.

Beberapa menitnya lamanya Mas Alif tak kunjung berbicara, sepertinya dia sedang diomeli orang yang berada dari balik layar handphone-nya.

"Iya-iya, maaf. Udah jangan nangis lagi," ucap Mas Alif. Apakah ini adalah salah satu trik yang dipakai wanita itu untuk meluluhkan hati Mas Alif?

"Iya janji nggak bakal bentak kamu lagi." Mas Alif mengacak rambutnya. Sedang frustasi sepertinya dia.

Aku penasaran apa sebenarnya yang mereka bicarakan.

Eits, dan kalian harus tau. Sekarang aku juga sedang merekam pembicaraan mereka, seperti kata Tiara. Aku harus mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya, agar dapat mempermudah berpisah dengan Mas Alid.

"Ya, Sayang." Mas Alif menjawab seperti tak berselera.

'Sayang', sekarang panggilan itu bukan hanya milikku, tapi milik wanita lain di luar sana. Sangat menyakitkan.

Kulihat ia ingin mengakhiri panggilannya, bergegas aku masuk ke dalam rumah. Lalu, duduk di sofa ruang tamu sambil menonton tv yang menyala

Kamu bisa berbohong, aku juga bisa, Mas. Kebohonganku adalah terus berpura-pura tak tau, apa yang sebenarnya kamu lakukan.

Mas Alif masuk ke rumah, lalu menghampiriku.

"Sayang," ucap Mas Alif yang langsung merebahkan kepalanya di pangkuanku.

"Hm, sudah makannya?" tanyaku dengan nada tak acuh.

"Sudah, Sayang. Kamu nggak ke toko ya?" tanya Mas Alif.

Astaga.

Aku lupa, belum memeriksa barang-barang di toko. Ah, sudahlah ini semua juga gara-gara Mas Alif.

"Enggak, Mas. Kan kamu pulang hari ini, jadi aku milih di rumah aja," jawabku tanpa menolehnya.

"Duh dedeknya, Mas. Sosweet banget sih," ucapnya sambil mencubit pipiku dengan gemas.

Aku hanya diam diperlakukan begitu. Ingin menghindar juga tak bisa, karena aku merindukan momen ini.

****

Mas Alif tertidur di pangkuanku, mungkin dia lelah.

Aku memindai wajahnya, kenapa lelaki sebaik dia harus memiliki celah untukku membencinya.

Apa alasanmu dibalik perselingkuhan ini, Mas?

Motif apa yang sedang kamu jalani?

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak, tanpa berani kuungkapkan.

Ting!

Satu pesan masuk ke gawaiku. Kuambil gawai dari dalam kantong baju gamisku.

Ternyata Tiara yang mengirimkan pesan.

[Assalamualaikum, Lau. Apa Alif membawa perempuan itu?] tanya Tiara.

Belum sempat kubalas, masuk lagi pesan berikutnya.

[Aku tadi saat pulang, tak sengaja berpapasan dengan sebuah mobil yang menuju rumahmu. Apa itu mobil Alif?] tanyanya lagi.

[Wa'alaikumsalam iya, Ra. Itu mobil Mas Alif, tapi perempuan itu tak ikut bersamanya,] jawabku cepat.

[Aku dapat informasi dari Adik sepupuku, Lau. Kalo mantan yang menikah dengan Alif suamimu itu tinggal di kota ini. Dan yang kutahu, wanita itu berasal dari luar negeri, Lau,] tulis Tiara.

Aku mengernyitkan dahi, dari luar negeri. Sejak kapan Mas Alif kenal dengan wanita itu, sampai-sampai dia harus menikahinya.

Apa dia teman masa kecil Mas Alif? Pikirku.

[Ngawur kamu, Ra. Masa orang luar negeri itu nyasar ke sini, buat apa juga dia masuk ke dalam kehidupan kami,] ucapku lagi.

[Sepertinya Alif dan wanita itu pernah saling mengenal, Lau. Tapi info selanjutnya nanti deh aku tanya lagi dengan adikku. Soalnya dia lagi sibuk katanya, sibuk memperbaiki kepingan hati yang retak,] balas Tiara.

Aku tersenyum membaca kalimat akhir, sibuk memperbaiki kepingan hati yang retak.

Itu pun terjadi denganku sekarang, aku juga sedang mencoba menguatkan hati agar tak retak jika benar itu terjadi.

Kamu lalu mengakhiri pesan kami.

Aku lalu menatap wajah Mas Alif kembali.

"Nggak usah ditatap gitu, Dek. Aku tau aku ganteng," ucapnya.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan, dan mengangkat kepalanya dari pangkuan, lalu berlalu pergi.

****

Tak terasa malam sudah tiba, jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

Aku lagi membersihkan wajah di depan kaca, pelukan hangat terasa di pinggangku.

"Mas, merindukanmu, Dek. Kenapa Mas rasa sikapmu berubah. Mas rindu sikap manja kamu," ucapnya terdengar lirih.

Belum sempat aku menjawab, terdengar dering pesan yang masuk ke gawai.

Mas Alif melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke arah tempat tidur.

Aku berbalik dan menatapnya.

Mas Alif terlihat terburu-buru. Seperti ingin pergi ke suatu tempat.

"Mau kemana malam-malam?" tanyaku.

"Dek, Mas mau ke kantor dulu ya. Ada hal penting yang harus dilakukan," ucap Mas Alif. Lalu mengganti bajunya.

Oh tidak bisa, enak saja. Pasti dia ingin menemui istri barunya.

"Nggak mau," ucapku langsung berlari memeluknya.

"Sebentar saja, Sayang." Mas Alif mencoba melepaskan pelukanku.

"Enggak, kamu baru pulang. Katanya rindu, kok mau pergi lagi. Plis jangan pergi ya, temani aku. Aku ... aku juga merindukanmu, Mas," ucapku lirih.

"Tapi, Dek ...." Ucapan Mas Alif menggantung di udara ketika aku menampilkan wajah memohon sambil diimut-imutkan.

"Kalo sudah begini, Mas nyerah deh. Ya udah Mas di rumah aja," ucapnya lalu membalas pelukanku.

'Enak saja wanita itu. Kita lihat siapa yang akan menang, aku atau istri baru Mas Alif itu. Malam ini Mas Alif menjadi milikku, maafkan aku ya. Semoga aku tidak berdosa.' Aku bersorak riang di dalam hati, karena Mas Alif lebih memilih bersamaku daripada wanita itu.

'Selamat menikmati tidur sendiri malam ini, wanita penggoda,' batinku. Aku tersenyum sinis, membayangkan bagaimana kesalnya wanita itu.

-

-

Next?

Sehat selalu untuk kalian semua❤️❤️❤️❤️

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ari Anto
aamiin aamiin ya rabbal alamin ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status