“ENAKNYA KITA APAIN INI!”
Ya Allah aku harus bagaimana, bahkan orang-orang yang semula hanya hitungan jari sekarang hampir semua yang melintas jadi berhenti dan memperhatikanku. Saat itu aku ingin kembali masuk.
Namun, seseoran malah menjaga di depan pintu.
“Ih, mau ke mana?” kata wanita yang entah siapa.
Dia bahkan mulai mendorongku, agar menjauh dari pintu kaca.
“Mbak maaf, tapi saya di sini sama suami. Enggak mungkin juga saya menggoda suami orang.”
“Alah, kamu bisa aja bohong! Saya tahu bagaimana jahatnya kamu. Kamu tuh sampai nyulik istrinya Mas Andi. Emang enggak malu, ya datang ke sini?”
“Kalau saya jadi Mbak Ayu sudah saya masukin kamu ke penjara. Biar tahu rasa!”
“Muka aja cantik tapi hatinya busuk!”
Wuuuh!
Sekarang mereka malah meneriakanku.
Aku yang sudah tak tahan lagi, memilih meninggalkan tempat ini.
“Tolong biarkan saya masuk! Suami saya di dalam.”
“Hih! Enggak! Kal
“Mbak, kenapa? Abis dikejar-kejar siapa? Sini istirahat dulu!”Seorang ibu paruh baya tiba-tuba saja menghampiriku. Tak hanya itu, ia bahkan mengeluarkan botol air mineral ke pangkuanku.“Diminum dulu! Biar tenang!”Aku menatapnya sebentar. Bagaimana pun aku harus tetap waspada pada orang asing. Sejak kejadian itu, pikiranku jadi tak pernah tenang. Selalu saja waspada. Aku pikir semua orang pasti membenciku.“Tenang aja Mbak, ibu bukan orang jahat kok. Nah itu warung ibu.”Wanita itu menunjuk ke arah toko serba ada di seberang jalan.“Kalau mau istirahat di sana. Ayo bareng sama ibu! Dari pada di sini enggak ada kursi. Masa mau duduk di batu.”Sepanjang trotoar memang hanya ada batu-batu besar. Sekali lagi ibu itu merangkulku. Ia bahkan tak segan menuntunku menyebrangi jalan, yang saat itu masih ramai kendaraan berlalu lalang.“Ibu tinggal dulu, ada yang beli. Mbak tenagin diri di sini dulu, ya!”Saat itu memang ada 2 orang pembeli yang datang ke tokonya. Untunglah masih ada orang yan
Baik salah, tak peduli juga salah. Rasanya semua yang aku lakukan hanya sia-sia. Ia selalu punya cara untuk mencaci.~Malam itu aku tak peduli lagi, ia akan memakai selimutnya atau tidak, kalau pun ia kedinginan itu bukan salahku, tapi salahnya sendiri. Ternyata susah sekali menjadi istri, bahkan aku saja masih belum bisa mencuci dengan benar.Aku pikir uang bisa membeli segalanya, tetapi tak ada yang tahu nasib seseorang seperti aku sekarang. Tak ada gunanya tas-tas mahal koleksiku. Pada akhirnya semuanya hanya akan tersimpan di gudang.Andai dulu, aku mengalihkan dana itu untuk membangun sebuah bisnis, pasti di saat terpuruk seperti ini masih ada yang bisa diandalkan. Setidaknya tidak perlu bergantung hidup pada orang yang sama sekali tak tahu caranya menghargai.Malam itu sungguh aku menghabiskan malam dengan penuh penyesalan. Menyesali pernikahan, gaya hidup hedonis, juga aku yang selalu berpikir pendek. Alhasil keesokan harinya mataku membengkak cukup parah. Tadinya aku i
Entah kenapa waktu seakan enggan berlalu. Aku sudah sangat merasa tidak enak. Apa lagi hari ini aku makan cukup banyak. Pasti sangat berat.“Turun aja ya, Mas! Enggak apa kok. Aku biasa kayak gini. Namanya juga perempuan.”“Jangan bawel. Sebentar lagi nyampe!” katanya.Pria itu benar-benar menggendongku sampai ke rumah. Herannya, Mas Syahru masih saja mempertahankan wajah datarnya. Bahkan ketika ia menurunkanku.“Udah nyampe. Masih mau digendong?” tanyanya sambil menatapku, tanpa senyum sedikit pun.Bagaimana bisa ia biasa saja dengan jarak sedekat ini?Ah, iya bagaimana aku bisa lupa kalau dia seorang model profesional. Jelas saja ia sangat biasa dengan adegan seperti ini.Sepertinya aku terlalu lama menganggur. Sehingga terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting.“Alea, kalau memang enggak mau turun, bukakan pintunya!”“Oh, a-aku mau turun kok, Mas!”“Enggak usah, sudah tahu sakit. Kenapa tetep maksain buat jalan sendiri?”“Ayo, bukain handlenya? Tanganku dua-duanya sibuk
“Apanya yang yang jangan sekarang?”Pria itu malah menatap bingung.“Ka-kamu mau i-itu ‘kan?”“Dasar mesum! Aku mau ambilkan kamu minyak kayu putih. Ini!”Tanpa merasa bersalah pria itu meletakkan benda kecil itu ke genggamanku.“Aku sudah bilang ‘kan belum mau menyentuhmu.”Dia bilang belum? Itu artinya?Ah, tidak. Jangan berpikir macam-macam. Dia menyukai sesama. Bahkan jika aku memakai pakaian terbuka pun ia tak akan tergoda.Tanpa sadar aku telah menggelengkan kepala. Sekarang Mas Syahru jadi semakin memperhatikanku.“Aku akan ngebut! Kamu jangan kabur lagi, oke?”“Siapa juga yang mau kabur, bisa bocor di jalan nanti.”“Nah, itu tahu. Jadi anak baik! Yang nurut sama suami!”Suami?Kenapa rasanya aneh sekali.Pria itu datang dengan membawa pembalut beserta minuman untuk meredakan nyeri datang bulan, tetapi dengan jumlah yang sagat banyak. Aku masih memaklumi jika ia membeli pembalut yang sangat besar. Aku juga suka begitu, tetapi minuman sebanyak ini siapa yang akan mengonsumsinya?
“Minumlah!”“Terima kasih.”“Kamu selalu seperti ini setiap bulan?”“Ya,”“Almarhumah ibuku dulu enggak seperti ini.”“Setiap wanita memang berbeda.”“Apa perlu ke dokter buat cek, mungkin ada sesuatu yang memicumu seperti ini.”“Enggak perlu, biasanya setelah minum akan baikkan.”“Oke, sebentar sayurku sudah matang.”Pria itu sangat sibuk. Namun, sama sekali tak mau dibantu. Melihatnya begini, sekarang air mataku tak tertahankan lagi. Ia tumpah begitu saja dan aku benar-benar kehilangan kendali atas itu.“Jangan menangis, Alea. Aku aku menyakitimu lagi?”Aku hanya menggeleng.“Lalu, kenapa kamu begini. Aku yakin rumah ini cukup bersih, rasanya tak mungkin ada debu bahkan angin yang masuk dari luar.”“Kamu benar, Mas. Aku hanya merasa sedikit terharu mendengar seseorang memujiku. Setiap hari aku begitu akrab dengan hinaan.”“Kamu masih sering buka komen negative?”“Aku enggak niat buka, tapi berita itu muncul sendiri.”Mas Syahru yang semula berdiri, lantas mulai mendekatkan diri pada
“Apa kamu yakin baik-baik saja di jalan? Lumayan loh, sejam dari sini.”“Enggak masalah kok, Mas. Ini juga sudah mendingan abis minum.”“Memangnya harus sekarang banget ketemunya?”“Aku sudah terlalu lama menundannya. Semakin, hari aku jadi enggak tenang.”“Bukankah di hari pernikahan kita, kamu juga sudah meminta maaf padanya.”“Memang, tapi masih ada yang ingin kukatakan padanya.”“Kalau begitu habis zuhur kita pergi. Kamu siap-siap, ya!”“Oke.”~Akhirnya hari itu juga aku bertemu dengan Mbak Ayu. Sejujurnya aku agak ragu, jika nantinya harus bertemu Mas Andi. Rasanya malu sekali, aku pernah mengejarnya begitu menggila sampai putus rasa maluku.Tak tahunya malah berjodoh dengan sahabatnya.“Kenapa melihatku begitu?”“Enggak kok, Mas.”Ah, kenapa juga aku harus tertangkap basah tengah memandanginya.~Pukul 3 sore kami baru tiba di kediaman Mbak Ayu. Wanita itu menyambut kami dengan ramah, rupanya mereka tengah berkumpul di halaman depan. Rumah Mas Andi banyak sekali yang berubah. D
Ah, tidak. Bagaimana kalau dia mengadu pada sahabatnya itu. Masalahnya malah melebar ke mana-mana. Mas Syahru mungkin saja akan membenciku.“Alea, kalau ada masalah apa pun yang ingin kamu tanyakan. Bicarakan saja pada orangnya langsung. Kalian kan suami istri.”“Iya, Mbak. Cuma aku enggak enak aja. Takut suamiku tersindir.”“Kalian masih tinggal serumah ‘kan?”“Masih kok.”“Alhamdulillah. Syahru itu memang pendiam dan terkesan cuek, tapi di antara temannya yang lain dia yang paling baik sama Mas Andi. Enggak suka main perempuan. Setahuku agamanya juga bagus.”“Agamanya bagus?”“Kamu bagaimana sih, ‘kan kalian serumah. Masa enggak tahu.”Ya Tuhan, aku bahkan pernah memarahinya, karena ia tidak bangun salat subuh. Aku jadi ragu, harus percaya padanya atau pada mata kepalaku sendiri.Sudahlah, mari percaya dengan keyakinan masing-masing saja!“Kamu kalau ada keraguan, tanyakan saja. Masalah itu seperti bom waktu, bisa meledak kapan saja. Jadi, dari pada kamu bertanya pada orang lain leb
Pagi hari di mana kami bersiap untuk pergi ke lokasi pemotretan, Mas Syahru malah membuatku kerepotan dengan tas yang sangat berat. Ia memintaku membawa beberapa botol minuman pereda nyeri datang bulan ke dalam ransel.“Berat banget!”“Orang cuma ditaruh di mobil. Aku yang bawa kalau kamu enggak kuat.”“Eh, bukan begitu Mas.”“Sudahlah, ayo! Mau ikut enggak?”Pria ini benar-benar labil. Sebentar baik, lalu berubah pemarah lagi.~Sampai di lokasi, sudah banya crew yang berkumpul di sana. Mereka semua memandangku dengan tatapan heran.Seharusnya aku memang tak nekat untuk ikut dengannya. Cari penyakit saja.Aku memutuskan untuk ke toilet.Sepertinya setelah ini aku akan menunggu di mobil saja.Sayangnya baru beberapa menit di toilet. Beberapa orang terdengar tengah berbincang. Aku tak bermaksud mencuri dengar. Namun, karena berada satu ruangan, semuanya juga terdengar begitu jelas.“Pengantin baru, ke mana-mana ngikut aja. Takut suaminya digaet yang lain ya. Enggak sadar kalau sendirin