Entah kenapa waktu seakan enggan berlalu. Aku sudah sangat merasa tidak enak. Apa lagi hari ini aku makan cukup banyak. Pasti sangat berat.“Turun aja ya, Mas! Enggak apa kok. Aku biasa kayak gini. Namanya juga perempuan.”“Jangan bawel. Sebentar lagi nyampe!” katanya.Pria itu benar-benar menggendongku sampai ke rumah. Herannya, Mas Syahru masih saja mempertahankan wajah datarnya. Bahkan ketika ia menurunkanku.“Udah nyampe. Masih mau digendong?” tanyanya sambil menatapku, tanpa senyum sedikit pun.Bagaimana bisa ia biasa saja dengan jarak sedekat ini?Ah, iya bagaimana aku bisa lupa kalau dia seorang model profesional. Jelas saja ia sangat biasa dengan adegan seperti ini.Sepertinya aku terlalu lama menganggur. Sehingga terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting.“Alea, kalau memang enggak mau turun, bukakan pintunya!”“Oh, a-aku mau turun kok, Mas!”“Enggak usah, sudah tahu sakit. Kenapa tetep maksain buat jalan sendiri?”“Ayo, bukain handlenya? Tanganku dua-duanya sibuk
“Apanya yang yang jangan sekarang?”Pria itu malah menatap bingung.“Ka-kamu mau i-itu ‘kan?”“Dasar mesum! Aku mau ambilkan kamu minyak kayu putih. Ini!”Tanpa merasa bersalah pria itu meletakkan benda kecil itu ke genggamanku.“Aku sudah bilang ‘kan belum mau menyentuhmu.”Dia bilang belum? Itu artinya?Ah, tidak. Jangan berpikir macam-macam. Dia menyukai sesama. Bahkan jika aku memakai pakaian terbuka pun ia tak akan tergoda.Tanpa sadar aku telah menggelengkan kepala. Sekarang Mas Syahru jadi semakin memperhatikanku.“Aku akan ngebut! Kamu jangan kabur lagi, oke?”“Siapa juga yang mau kabur, bisa bocor di jalan nanti.”“Nah, itu tahu. Jadi anak baik! Yang nurut sama suami!”Suami?Kenapa rasanya aneh sekali.Pria itu datang dengan membawa pembalut beserta minuman untuk meredakan nyeri datang bulan, tetapi dengan jumlah yang sagat banyak. Aku masih memaklumi jika ia membeli pembalut yang sangat besar. Aku juga suka begitu, tetapi minuman sebanyak ini siapa yang akan mengonsumsinya?
“Minumlah!”“Terima kasih.”“Kamu selalu seperti ini setiap bulan?”“Ya,”“Almarhumah ibuku dulu enggak seperti ini.”“Setiap wanita memang berbeda.”“Apa perlu ke dokter buat cek, mungkin ada sesuatu yang memicumu seperti ini.”“Enggak perlu, biasanya setelah minum akan baikkan.”“Oke, sebentar sayurku sudah matang.”Pria itu sangat sibuk. Namun, sama sekali tak mau dibantu. Melihatnya begini, sekarang air mataku tak tertahankan lagi. Ia tumpah begitu saja dan aku benar-benar kehilangan kendali atas itu.“Jangan menangis, Alea. Aku aku menyakitimu lagi?”Aku hanya menggeleng.“Lalu, kenapa kamu begini. Aku yakin rumah ini cukup bersih, rasanya tak mungkin ada debu bahkan angin yang masuk dari luar.”“Kamu benar, Mas. Aku hanya merasa sedikit terharu mendengar seseorang memujiku. Setiap hari aku begitu akrab dengan hinaan.”“Kamu masih sering buka komen negative?”“Aku enggak niat buka, tapi berita itu muncul sendiri.”Mas Syahru yang semula berdiri, lantas mulai mendekatkan diri pada
“Apa kamu yakin baik-baik saja di jalan? Lumayan loh, sejam dari sini.”“Enggak masalah kok, Mas. Ini juga sudah mendingan abis minum.”“Memangnya harus sekarang banget ketemunya?”“Aku sudah terlalu lama menundannya. Semakin, hari aku jadi enggak tenang.”“Bukankah di hari pernikahan kita, kamu juga sudah meminta maaf padanya.”“Memang, tapi masih ada yang ingin kukatakan padanya.”“Kalau begitu habis zuhur kita pergi. Kamu siap-siap, ya!”“Oke.”~Akhirnya hari itu juga aku bertemu dengan Mbak Ayu. Sejujurnya aku agak ragu, jika nantinya harus bertemu Mas Andi. Rasanya malu sekali, aku pernah mengejarnya begitu menggila sampai putus rasa maluku.Tak tahunya malah berjodoh dengan sahabatnya.“Kenapa melihatku begitu?”“Enggak kok, Mas.”Ah, kenapa juga aku harus tertangkap basah tengah memandanginya.~Pukul 3 sore kami baru tiba di kediaman Mbak Ayu. Wanita itu menyambut kami dengan ramah, rupanya mereka tengah berkumpul di halaman depan. Rumah Mas Andi banyak sekali yang berubah. D
Ah, tidak. Bagaimana kalau dia mengadu pada sahabatnya itu. Masalahnya malah melebar ke mana-mana. Mas Syahru mungkin saja akan membenciku.“Alea, kalau ada masalah apa pun yang ingin kamu tanyakan. Bicarakan saja pada orangnya langsung. Kalian kan suami istri.”“Iya, Mbak. Cuma aku enggak enak aja. Takut suamiku tersindir.”“Kalian masih tinggal serumah ‘kan?”“Masih kok.”“Alhamdulillah. Syahru itu memang pendiam dan terkesan cuek, tapi di antara temannya yang lain dia yang paling baik sama Mas Andi. Enggak suka main perempuan. Setahuku agamanya juga bagus.”“Agamanya bagus?”“Kamu bagaimana sih, ‘kan kalian serumah. Masa enggak tahu.”Ya Tuhan, aku bahkan pernah memarahinya, karena ia tidak bangun salat subuh. Aku jadi ragu, harus percaya padanya atau pada mata kepalaku sendiri.Sudahlah, mari percaya dengan keyakinan masing-masing saja!“Kamu kalau ada keraguan, tanyakan saja. Masalah itu seperti bom waktu, bisa meledak kapan saja. Jadi, dari pada kamu bertanya pada orang lain leb
Pagi hari di mana kami bersiap untuk pergi ke lokasi pemotretan, Mas Syahru malah membuatku kerepotan dengan tas yang sangat berat. Ia memintaku membawa beberapa botol minuman pereda nyeri datang bulan ke dalam ransel.“Berat banget!”“Orang cuma ditaruh di mobil. Aku yang bawa kalau kamu enggak kuat.”“Eh, bukan begitu Mas.”“Sudahlah, ayo! Mau ikut enggak?”Pria ini benar-benar labil. Sebentar baik, lalu berubah pemarah lagi.~Sampai di lokasi, sudah banya crew yang berkumpul di sana. Mereka semua memandangku dengan tatapan heran.Seharusnya aku memang tak nekat untuk ikut dengannya. Cari penyakit saja.Aku memutuskan untuk ke toilet.Sepertinya setelah ini aku akan menunggu di mobil saja.Sayangnya baru beberapa menit di toilet. Beberapa orang terdengar tengah berbincang. Aku tak bermaksud mencuri dengar. Namun, karena berada satu ruangan, semuanya juga terdengar begitu jelas.“Pengantin baru, ke mana-mana ngikut aja. Takut suaminya digaet yang lain ya. Enggak sadar kalau sendirin
Aku gegas berlari meninggalkan tempat itu, sebelum nantinya mungkin akan terjadi hal-hal yang lebih gila lagi. Aku bahkan sampai tak bisa berhenti muntah, membayangkan betapa menjijikan perbuatan pria yang menikahiku.Pantas saja ia tahan tak pernah menyentuhku, ternyata dia memang tidak normal.Aku memutuskan untuk segera pergi saja dari lokasi pemotretan. Tanpa pamit terlebih dahulu, aku menumpangi taxy online sampai ke rumah. Rasanya aku tak sanggup. Ini terlalu menyakitkan, bagaimana bisa aku nekat menikah dengan pria gay?Sepanjang jalan air mataku tak bisa berhenti.Seharusnya aku tidak menangis. Dari awal pernikahan ini bukanlah sungguhan. Lagi pula dia tak pernah menganggapku.Hari itu aku tak ingin pulang ke rumah. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Mengabaikan pandangan orang-orang, aku memilih pusat kota yang saat itu tengah ramai pengunjung.Aku benar-benar hilang arah. Entah pada siapa lagi aku harus pergi. Dunia ini terlalu kejam untukku.Mas Syahru
“Memangnya lihat apa?”Mas Syahru malah menatap semakin dalam.“Ya kali aja.”Aku tahu sepertinya ia juga mulai curiga. Seharusnya aku bisa bersikap senatural mungkin. Perjanjian pernikahan ini hanya sampai 1 tahun. 4 bulan berlalu begitu sulit, kalau aku menyerah hari ini. Sia-sia sudah perjuanganku selama ini.Apa lagi Ayah, sangat berharap lebih pada laki-laki yang ia anggap baik. Padahal, perbuatannya sangat menjijikkan.“Kita jalan masing-masing aja! Mas duluan!”“Kenapa enggak bareng-bareng sih?”“Memangnya biasanya begitu ‘kan, aku jalan di belakang?”“Kamu aneh tahu, kalau memang ada masalah, ceritakan saja! Aku bukan cenayang yang pandai menebak pikiran orang lain.”Orang lain katanya. Baginya aku memang seasing itu.“Kamu enggak perlu peduli urusan orang lain, Mas.”Saat itu karena ia enggak mendahului, jadi aku langsung saja melangkah menuju area parkir.Toh, ia juga pasti akan mengikuti dari belakang.“Aku ada salah sama kamu?”“Enggak ada.”“Lalu, kenapa sikapmu berubah?”