“Minumlah!”“Terima kasih.”“Kamu selalu seperti ini setiap bulan?”“Ya,”“Almarhumah ibuku dulu enggak seperti ini.”“Setiap wanita memang berbeda.”“Apa perlu ke dokter buat cek, mungkin ada sesuatu yang memicumu seperti ini.”“Enggak perlu, biasanya setelah minum akan baikkan.”“Oke, sebentar sayurku sudah matang.”Pria itu sangat sibuk. Namun, sama sekali tak mau dibantu. Melihatnya begini, sekarang air mataku tak tertahankan lagi. Ia tumpah begitu saja dan aku benar-benar kehilangan kendali atas itu.“Jangan menangis, Alea. Aku aku menyakitimu lagi?”Aku hanya menggeleng.“Lalu, kenapa kamu begini. Aku yakin rumah ini cukup bersih, rasanya tak mungkin ada debu bahkan angin yang masuk dari luar.”“Kamu benar, Mas. Aku hanya merasa sedikit terharu mendengar seseorang memujiku. Setiap hari aku begitu akrab dengan hinaan.”“Kamu masih sering buka komen negative?”“Aku enggak niat buka, tapi berita itu muncul sendiri.”Mas Syahru yang semula berdiri, lantas mulai mendekatkan diri pada
“Apa kamu yakin baik-baik saja di jalan? Lumayan loh, sejam dari sini.”“Enggak masalah kok, Mas. Ini juga sudah mendingan abis minum.”“Memangnya harus sekarang banget ketemunya?”“Aku sudah terlalu lama menundannya. Semakin, hari aku jadi enggak tenang.”“Bukankah di hari pernikahan kita, kamu juga sudah meminta maaf padanya.”“Memang, tapi masih ada yang ingin kukatakan padanya.”“Kalau begitu habis zuhur kita pergi. Kamu siap-siap, ya!”“Oke.”~Akhirnya hari itu juga aku bertemu dengan Mbak Ayu. Sejujurnya aku agak ragu, jika nantinya harus bertemu Mas Andi. Rasanya malu sekali, aku pernah mengejarnya begitu menggila sampai putus rasa maluku.Tak tahunya malah berjodoh dengan sahabatnya.“Kenapa melihatku begitu?”“Enggak kok, Mas.”Ah, kenapa juga aku harus tertangkap basah tengah memandanginya.~Pukul 3 sore kami baru tiba di kediaman Mbak Ayu. Wanita itu menyambut kami dengan ramah, rupanya mereka tengah berkumpul di halaman depan. Rumah Mas Andi banyak sekali yang berubah. D
Ah, tidak. Bagaimana kalau dia mengadu pada sahabatnya itu. Masalahnya malah melebar ke mana-mana. Mas Syahru mungkin saja akan membenciku.“Alea, kalau ada masalah apa pun yang ingin kamu tanyakan. Bicarakan saja pada orangnya langsung. Kalian kan suami istri.”“Iya, Mbak. Cuma aku enggak enak aja. Takut suamiku tersindir.”“Kalian masih tinggal serumah ‘kan?”“Masih kok.”“Alhamdulillah. Syahru itu memang pendiam dan terkesan cuek, tapi di antara temannya yang lain dia yang paling baik sama Mas Andi. Enggak suka main perempuan. Setahuku agamanya juga bagus.”“Agamanya bagus?”“Kamu bagaimana sih, ‘kan kalian serumah. Masa enggak tahu.”Ya Tuhan, aku bahkan pernah memarahinya, karena ia tidak bangun salat subuh. Aku jadi ragu, harus percaya padanya atau pada mata kepalaku sendiri.Sudahlah, mari percaya dengan keyakinan masing-masing saja!“Kamu kalau ada keraguan, tanyakan saja. Masalah itu seperti bom waktu, bisa meledak kapan saja. Jadi, dari pada kamu bertanya pada orang lain leb
Pagi hari di mana kami bersiap untuk pergi ke lokasi pemotretan, Mas Syahru malah membuatku kerepotan dengan tas yang sangat berat. Ia memintaku membawa beberapa botol minuman pereda nyeri datang bulan ke dalam ransel.“Berat banget!”“Orang cuma ditaruh di mobil. Aku yang bawa kalau kamu enggak kuat.”“Eh, bukan begitu Mas.”“Sudahlah, ayo! Mau ikut enggak?”Pria ini benar-benar labil. Sebentar baik, lalu berubah pemarah lagi.~Sampai di lokasi, sudah banya crew yang berkumpul di sana. Mereka semua memandangku dengan tatapan heran.Seharusnya aku memang tak nekat untuk ikut dengannya. Cari penyakit saja.Aku memutuskan untuk ke toilet.Sepertinya setelah ini aku akan menunggu di mobil saja.Sayangnya baru beberapa menit di toilet. Beberapa orang terdengar tengah berbincang. Aku tak bermaksud mencuri dengar. Namun, karena berada satu ruangan, semuanya juga terdengar begitu jelas.“Pengantin baru, ke mana-mana ngikut aja. Takut suaminya digaet yang lain ya. Enggak sadar kalau sendirin
Aku gegas berlari meninggalkan tempat itu, sebelum nantinya mungkin akan terjadi hal-hal yang lebih gila lagi. Aku bahkan sampai tak bisa berhenti muntah, membayangkan betapa menjijikan perbuatan pria yang menikahiku.Pantas saja ia tahan tak pernah menyentuhku, ternyata dia memang tidak normal.Aku memutuskan untuk segera pergi saja dari lokasi pemotretan. Tanpa pamit terlebih dahulu, aku menumpangi taxy online sampai ke rumah. Rasanya aku tak sanggup. Ini terlalu menyakitkan, bagaimana bisa aku nekat menikah dengan pria gay?Sepanjang jalan air mataku tak bisa berhenti.Seharusnya aku tidak menangis. Dari awal pernikahan ini bukanlah sungguhan. Lagi pula dia tak pernah menganggapku.Hari itu aku tak ingin pulang ke rumah. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Mengabaikan pandangan orang-orang, aku memilih pusat kota yang saat itu tengah ramai pengunjung.Aku benar-benar hilang arah. Entah pada siapa lagi aku harus pergi. Dunia ini terlalu kejam untukku.Mas Syahru
“Memangnya lihat apa?”Mas Syahru malah menatap semakin dalam.“Ya kali aja.”Aku tahu sepertinya ia juga mulai curiga. Seharusnya aku bisa bersikap senatural mungkin. Perjanjian pernikahan ini hanya sampai 1 tahun. 4 bulan berlalu begitu sulit, kalau aku menyerah hari ini. Sia-sia sudah perjuanganku selama ini.Apa lagi Ayah, sangat berharap lebih pada laki-laki yang ia anggap baik. Padahal, perbuatannya sangat menjijikkan.“Kita jalan masing-masing aja! Mas duluan!”“Kenapa enggak bareng-bareng sih?”“Memangnya biasanya begitu ‘kan, aku jalan di belakang?”“Kamu aneh tahu, kalau memang ada masalah, ceritakan saja! Aku bukan cenayang yang pandai menebak pikiran orang lain.”Orang lain katanya. Baginya aku memang seasing itu.“Kamu enggak perlu peduli urusan orang lain, Mas.”Saat itu karena ia enggak mendahului, jadi aku langsung saja melangkah menuju area parkir.Toh, ia juga pasti akan mengikuti dari belakang.“Aku ada salah sama kamu?”“Enggak ada.”“Lalu, kenapa sikapmu berubah?”
Pagi hari kami menjalani setiap hal seperti biasanya. Tak ada yang berubah, selain kami yang seperti kembali pada saat pertama kali dipersatukan dalam atap yang sama.Tanpa banyak kata, juga tak saling tegur. Selain untuk hal-hal yang memang penting saja. Aku tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi. Kurasa kemampuan aktingku semakin hari jadi memburuk.Aku bahkan tak bisa berpura-pura pada saat yang penting seperti ini.Kalau saja bukan karena Ayah aku juga tak ingin melanjutkan pernikahan seperti ini. Sebenarnya aku merasa kasihan padanya, ia sangat berharap aku bisa memberikannya cucu. Namun, jangankan cucu, pria ini bahkan tak pernah menyentuhku.Ia malah lebih suka menyentuh dari golongan sejenisnya.Sungguh dunia ini memang sudah tua.“Ini untukmu.”Pria itu tiba-tiba saja menyerahkan kartu debitnya padaku.“Aku masih ada uang kok.”“Tapi, aku suamimu. Ini sudah jadi kewajibanku.”“Kamu sudah mengisi penuh kulkasnya, enggak masalah itu saja sudah cukup.”“Kamu mungkin ingin m
Dia yang mengajak ke pesta ia pula yang mengabaikanku.Dari pada terus berbagi meja dengan para pria yang tidak normal, memilih menepi akan lebih baik.“Aku permisi ke toilet dulu!”Sebenarnya ini hanya alasan agar aku bisa menghindar. Seharusnya di internet ada informasi tentang Reza kalau memang ia seorang model. Lagi pula kemarin ia baru saja ke pemotretan. Meskipun, Mas Syahru bilang ia sudah jarang berkecimpung di dunia itu, kenyataannya kemarin ia baru saja ke sana.Entah siapa yang berbohong sekarang.Penyelidikan baru saja dimulai tetapi begitu kuketikkan namanya yang muncul pertama kali justru skandal hubungan Reza dan Mas Syahru.Astaghfirrullah.Bagaimana aku bisa tidak tahu hal ini?Gosipnya bahkan telah ada sejak 2 tahun yang lalu. Bisa-bisa mereka masih biasa saja.Sungguh aku tidak habis pikir.“Alea kamu di dalam?”Itu suara suamiku. Sepertinya aku suda terlalu lama di toilet. Sampai-sampai ia menyusul ke sini. Namun, yang membuatku semakin kesal, kenapa pria itu masih