Pagi hari kami menjalani setiap hal seperti biasanya. Tak ada yang berubah, selain kami yang seperti kembali pada saat pertama kali dipersatukan dalam atap yang sama.Tanpa banyak kata, juga tak saling tegur. Selain untuk hal-hal yang memang penting saja. Aku tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi. Kurasa kemampuan aktingku semakin hari jadi memburuk.Aku bahkan tak bisa berpura-pura pada saat yang penting seperti ini.Kalau saja bukan karena Ayah aku juga tak ingin melanjutkan pernikahan seperti ini. Sebenarnya aku merasa kasihan padanya, ia sangat berharap aku bisa memberikannya cucu. Namun, jangankan cucu, pria ini bahkan tak pernah menyentuhku.Ia malah lebih suka menyentuh dari golongan sejenisnya.Sungguh dunia ini memang sudah tua.“Ini untukmu.”Pria itu tiba-tiba saja menyerahkan kartu debitnya padaku.“Aku masih ada uang kok.”“Tapi, aku suamimu. Ini sudah jadi kewajibanku.”“Kamu sudah mengisi penuh kulkasnya, enggak masalah itu saja sudah cukup.”“Kamu mungkin ingin m
Dia yang mengajak ke pesta ia pula yang mengabaikanku.Dari pada terus berbagi meja dengan para pria yang tidak normal, memilih menepi akan lebih baik.“Aku permisi ke toilet dulu!”Sebenarnya ini hanya alasan agar aku bisa menghindar. Seharusnya di internet ada informasi tentang Reza kalau memang ia seorang model. Lagi pula kemarin ia baru saja ke pemotretan. Meskipun, Mas Syahru bilang ia sudah jarang berkecimpung di dunia itu, kenyataannya kemarin ia baru saja ke sana.Entah siapa yang berbohong sekarang.Penyelidikan baru saja dimulai tetapi begitu kuketikkan namanya yang muncul pertama kali justru skandal hubungan Reza dan Mas Syahru.Astaghfirrullah.Bagaimana aku bisa tidak tahu hal ini?Gosipnya bahkan telah ada sejak 2 tahun yang lalu. Bisa-bisa mereka masih biasa saja.Sungguh aku tidak habis pikir.“Alea kamu di dalam?”Itu suara suamiku. Sepertinya aku suda terlalu lama di toilet. Sampai-sampai ia menyusul ke sini. Namun, yang membuatku semakin kesal, kenapa pria itu masih
Aku masih mencoba memintanya menghentikan aksi tak senonohnya itu, tetapi seolah menulikan diri. Barulah saat aku menangis, ia baru melepaskanku. “Maaf,” katanya. Aku masih mengusap bibirku. Sampai kemudian pria itu kembali ke tempat duduknya. “Mas enggak seharusnya seperti ini.” Ia memberikan tisu, tetapi itu hanya bisa mengeringkan air mata, tetapi tidak dengan harga diriku. “Aku suamimu, Alea.” “Tapi, di perjanjian kamu yang menuliskan sendiri, kalau kita tidak akan melakukan sentuhan apa pun. Lalu, kenapa hari ini kamu melanggarnya?” “Maaf, aku benar-benar hilang kendali. Aku tidak suka dituduh gay.” “Kalau, memang enggak merasa. Bisa kan diam saja, aku juga hanya orang lain. Apa bedanya aku dengan mereka?” “Kamu bukan orang lain bagiku.” “Kita memang suami istri, tapi bahkan meski kita tinggal serumah. Kita enggak pernah melakukan hubungan selayaknya pasangan menikah bukan. Hubungan seperti ini enggak bisa disebut pernikahan. Jadi berhentilah memperlakukanku seperti in
“Sejak kapan itu beruba?”Aku merasa itu hanya akal-akalannya saja.“Salahkah jika seorang suami mencintai istrinya.”“Enggak salah Mas, hanya saja ini terlalu mendadak. Aku perlu waktu buat menerima semuanya.”“Kamu perlu waktu atau memang merasa jijik padaku?”“Kenapa kamu berpikir begitu?”“Alea, kamu bukan orang pertama yang merasakan hal itu ketika bersamaku. Ada banyak wanita yang menghindariku hanya karena mereka menganggap aku ini pria yang tidak normal, tapi dari semua wanita kamu berbeda. Aku tahu kamu merasa jijik, tetapi masih tetap menjaga sikap. Kamu bahkan masih mau memperlakukanku seperti biasanya.”“Aku hanya menjalankan kewajibanku.”“Semau itu bukan kewajiban Alea, sudah berapa kali kukatakan, kalau kamu tidak perlu memasak dan merapikan rumah.”“Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengerjakannya.”“Dari dulu aku mengerjakannya sendiri dan kalau pun tidak sempat aku biasa menyewa jasa cleaning service mingguan. Kenapa juga kamu mau repot-repot melakukan
Keterlaluan sekali kalau memang benar pria ini sampai mengikuti kami.Begitu pandangan kami bertemu Reza langsung menyapa dengan gayanya yang so asyik. Entahlah Dari awal berjumpa dengannya, aku merasa pertemanan mereka sedikit tidak wajar.Ia terlalu berlebihan. Kurasa di kultur negara kita, sangat jarang ditemukan pertemanan laki-laki yang saling memperhatikan sampai segitunya.“Kok di sini juga?”“Kebetulan aja mau kontrol.”“Gila! Rajin banget semalam abis acara, paginya langsung on the way ke sini.”“Kamu bilang harus rajin. Bagaimana sih!”Sekarang ia bahkan bicara dengan logatnya yang manja.Kenapa dengannya, badan saja kekar tetapi logatnya seperti perempuan.“Kalian juga ngapain di sini.”“Biasalah, nyari suasana baru.”“Hm, iri banget deh sama pengantin baru.”Ya Tuhan, rasanya kesal sekali melihat tingkah pria kemayu ini.“Mas aku duluan ke mobil ya, ngantuk banget soalnya. Kalau, kalian masih mau ngobrol lanjutkan aja enggak apa kok.”Saat itu aku bisa melihat ekspresi ter
Sudah kuduga ia pasti menyukai suamiku.Ya Allah, ternyata hubungan seperti ini memang benar-benar ada. Sekarang, aku harus bagaimana, jika kemudian Mas Syahru juga memiliki perasaan yang sama?“Kamu bilang apa? Memangnya kamu menanggap aku sebagai apa? Bukankah kita saudara. Sudahlah, aku buru-buru. Setelah ini aku ingin pergi lagi.”“Memangnya kamu mau ke mana?”“Mau ajak Alea ke tempat makan yang lagi viral itu.”Mas Syahru bahkan tersenyum begitu lebar. Namun, berbeda dengan lawan bicaranya yang tampak memerah. Jelas sekali aura ketidaksukaan terpancar di wajahnya.Mungkinkah dia cemburu padaku.Mas Syahru dengan tegas melepaskan rangkulan Reza.“Jangan lakukan ini lagi!”“Kenapa? Apa kamu malu? Dulu kamu biasa saja.”“Ada perasaan yang harus aku jaga.”“Kamu mati-matian menjaga perasaannya, memangnya yakin kalau dia juga puny
Ia bahkan tak menghargai keberadaanku di sini. Berani sekali ia memeluk Mas Syahru di depanku.Aku refleks memalingkan wajah karenanya.“Jangan begini Za, kita mungkin memancing orang untuk berpikir macam-macam!”“Jangan pergi, Sayang!”Aku ingin berbalik, tetapi ragu. Ia memanggil aku atau bukan. Sebelumnya sekali pun ia tak pernah memanggil sapaan itu, kecuali jika kami sedang berada di luar. Namun, saat kurasakan seseorang menarik lenganku dari rah belakang, barulah aku sadar jika yang di maksud Mas Syahru memang aku.“Tunggu sebentar!” katanya lagi.“Kalau Mas masih ada urusan sama Reza, enggak apa selesaikan dulu. Kita bisa keluar kapan saja, lagi pula sekarang gerimis. Kayaknya terlalu maksain juga kalau kita nekat pergi sekarang.”“Dia bahkan enggak keberatan, Ru. Kenapa kamu yang justru seperti keberatan.”“Kamu ini yang kenapa Za, datang-datang sudah bertingkah aneh? Kali ini kami memang niatnya mau pergi. Bukannya kamu juga tahu itu.”Aku masih ingat tadi pagi Mas Syahru sem
Semakin aku melarangnya pria itu malah menjadi lebih tertantang. Sekarang aku hanya bisa pasrah. Membiarkan ia menyisir rambutku. Sampai kemudian sisiran itu berubah jadi pijatan lembut di kepala. “Enak enggak?” “Hm, tapi harusnya enggak usah!” “Diamlah, ini akan buat kamu lebih fresh.” Ah pria ini kenapa setiap hari ada saja perbuatannya yang membuatku salah tingkah sendiri. Apakah benar jika rasa sayangnya padaku tulus? Aku hanya takut kalau yang ia lakukan ini hanya untuk menutupi hal yang ia lakukan di belakangku. “Sudah selesai,” katanya. “Hm, makasih. Mas pintar mijat juga ya, hebat.” Aku berbalik menatapnya, sehingga kini mata kami jadi saling diam. Sampai ia kembali membelai legam rambutku dengan begitu lembut. Hampir saja aku kehilangan kendali karenanya. “Rambutmu bagus sekali.” “Biasa aja kok.” “Kamu jauh lebih cantik begini.” “Kalau kamu suka, aku bisa begini terus.” “Jangan sesekali memperlihatkan cantiknya dirimu pada orang lain lagi, ya.” “Insyaallah.” Sep