“Sungguh hari yang sangat melelahkan bagi Alea, tetapi tidak bagi Reno yang melihat berita di televisi. Mobilnya memang tidak hilang, tetapi semua kacanya pecah. Seingatnya mobil itu memang sudah mogok sejak saat Reno ingin mengerjainya. Ayu yang melihat anaknya terus terkekeh di depan televisi lantas mendekat.
“Ren, jangan tertawa di saat orang lain tertimpa musibah.”
“Ini bukan musibah, tapi azab.”
“Astaghfirrullah, Ren,” ucap Ayu yang langsung membuat Reno membetulkan posisi duduknya.
“Maafin Reno Mah, aku cuma kesel sama dia, tapi tenang saja urusan video sama foto-foto itu udah selesai. Aku sudah minta dia buat hapus. Bahkan kalau sampai dia masih punya salinannya aku bisa jamin dia enggak akan berani sebarkan itu ke media,” ucap Reno yakin. Pelan dia meraih tangan ibunya.
“Ada Reno di sini Mah, ke depannya tolong jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku. Kita keluarga, masa
“Keluarga apa maksudmu Reno, aku enggak berbuat apa pun sama mereka.”“Kau lihat itu Pak Satpam, dia dengan sengaja membawa kue yang sudah dia racuni ke rumahku lalu sekarang berpura-pura seperti orang bodoh yang tak bersalah. Munafik!” umpat Reno dengan kedua tangan yang meremas erat. Kini ia bahkan menatap Alea dengan seringai, yang menakutkan. Membuat wanita itu bergidik ngeri. Ia lantas melirik Rana yang terlihat santai.“Rana, aku tidak menaruh apa pun di kue itu. Bukankah kamu tahu sendiri, kalau kita beli kue itu di jalan. Mana bisa tiba-tiba beracun.”“Kamu yakin?” tanya Rana yang langsung membuat mata Alea membulat.“Aku enggak sedang bercanda, tolong serius Rana,”“Aku hanya membantumu, selebihnya kamu urus sendiri.” Sekarang dengan tanpa bersalah sedikit pun Rana malah berbalik dan berjalan kembali ke arah lift.“Rana apa maksudmu! Jelaskan dulu, a
PoV Andi“Sudah Abang katakan ‘kan Dek. Jangan terima apa pun dari Alea. Kamu sendiri ‘kan yang kena. Dia itu wanita jahat. Enggak akan segan buat menyakiti siapa aja yang menghalangi jalannya.”“Aku benar-benar enggak sengaja, maafin keteledoran aku, ya. Aku enggak berpikir sejauh itu,” kata Ayu yang tertunduk. Bahkan di saat seperti ini saja, wanita itu masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kalau kamu sampai kenapa-kenapa, Abang harus bagaimana?” ucapku sambil menatap lurus ke arah netranya yang mulai berembun. Sesekali membelai wajahnya yang memucat tanpa rona itu.“Sekali lagi maaf ya, bikin Abang khawatir.”“Abang akan kasih dia pelajaran Dek,” ucapku dengan penuh amarah.“Enggak perlu Abang, kadang-kadang kita cuma perlu mengabaikan orang-orang seperti Alea. Lalu, fokus aja sama kehidupan kita. Bukankah hukum enggak bisa menjerat dia. Jadi, buat apa buang-
Hari-hari berlalu, sampai tiba di mana kami mulai terbiasa dengan kehidupan sederhana. Menjadi orang biasa, ternyata jauh lebih menyenangkan. Tak ada yang perlu ditutupi, juga rumah kami juga tak lagi kerumuni karyawan. Meski, tak memungkiri sampai kini masih saja ada agensi yang menawarkan untuk kembali merekrutku menjadi artis mereka. Sayangnya, aku sudah lelah dengan dunia hiburan yang menyilaukan itu. Aku takut, terbuai dengan gemerlapnya yang fana, tetapi lambat laun justru menjerumuskan pada jurang nestapa. Jika yang harus aku pertaruhkan adalah keutuhan keluarga, maka lebih baik kembali bekerja keras dengan tenaga, dari pada mengorbankan suatu hal yang telah kujaga bertahun-tahun. Apalah arti harta yang berlimpah jika tak ada ketenangan dalam hidup. Hari ini adalah bulan ketiga setelah aku memutuskan untuk fokus kembali pada usaha ayam geprek. Ayu yang kini terlihat lebih segar dan ceria juga membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Sesekali ia membantu untuk mengecek
Pov Alea“Kita memang menikah, tapi ingat ini semua hanya karena kepentingan saja. Kita saling membutuhkan satu sama lain,” ucap Mas Syahru, Pria keturunan India itu melangah menjauh. Meninggalkan aku sendirian di ranjang pengantin yang penuh dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Ya, kami menikah memang bukan saling mencintai. Namun, karena suatu kepentingan yang menguntungkan satu sama lain, karena kebodohanku yang mengejar Mas Andi begitu menggila aku diteror di mana-mana. Dicap pelakor tak tahu diri. Yang paling parah adalah ketika aku berjalan-jalan di keramaian. Orang-orang tak lagi memandangku kagum seperti dahulu. Mereka malah cenderung memaki dan menghinaku. Parahnya ketika aku mulai sering mendapatkan lemparan telur busuk. Ya Tuhan, entah kenapa aku harus menanggung semua ini, padahal aku sudah benar-benar berhenti mengejar pria itu. Pria yang kuanggap seperti malaikat itu. Namun, apalah artinya dia berjiwa malaikat kalau sudah milik orang lain. Keteguhannya untuk memp
Saat itu aku merasa benar-benar ditolak dunia. Dibenci masyarakat, tak dianggap oleh suami, juga tak punya pekerjaan. Lengkap sudah penderitaanku ini. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis di kamar, sampai aku terbangun ketiak matahari sudah naik.Aku memutuskan untuk turun, setelah sebelumnya memastikan tak ada suara di bawah sana. Rupanya pria itu sudah pergi. Ia bahkan meninggalkan rumah tanpa pamit.Aku duduk di sofa bekas tidur Mas Syahru yang bahkan masih berantakan.Haruskah aku yang membereskannya? Untuk apa, aku bahkan tidak dibayar sebagai pembantu.Namun, tetap saja rasanya mataku sakit melihat pemandangan yang berantakan ini. Apa lagi bau selimut ini, seperti tak pernah tersentuh air. Warnanya saja sudah sangat dekil. Bagaimana dia bisa sejorok itu.Akhirnya dengan sedikit perjuangan aku membawa benda bau dan dekil itu ke mesin cuci. Untunglah meski rumah ini sangat mini, tetapi peralatan elektroniknya cukup lengkap.~Entah ke mana dia pergi pagi ini. Bahkan, semalam ia
Melihat wajahnya yang menyeramkan, aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawah, demi menghilangkan rasa gugup. Namun, setelah menciptakan jeda yang cukup panjang, tanpa kata pria itu langsung meninggalkan kamar begitu saja.Lebih baik aku segera menyelesaikan makan dari pada nanti dia akan mempermasalahkannya lagi. Ternyata makan di kursi gamers seperti ini sangat nyaman. Seharusnya dulu aku membeli kursi yang seperti ini.Setelah makan aku kembali ke bawah dan langsung mencuci piring. Namun, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Cara Syahru melihatku sungguh sangat mengganggu.“Sejak kapan kamu jadi suka cuci piring?”“Ini hanya pekerjaan gampang, semua orang juga bisa melakukannya?”“Enggak takut kukumu patah?”“Aku sudah lama enggak pakai kuku palsu?”“Oh ya, kenapa? karena, gak ada kerjaan?”Di antara banyak perkataan lain yang lebih ramah di teli
“Kalau aku menikah karena kasihan memangnya kenapa?”Pria itu malah tersenyum.“Bukankah kita sudah menikah sekarang, enggak peduli alasan dibalik semua ini. Aku suamimu sekarang!” tegasnya lagiAda apa dengan pria ini. Kata-katanya itu kenapa sering kali membuatku menjadi salah mengartikannya.“Siap-siap sebentar lagi kita dipanggil!”Sekarang bahkan ia tersenyum padaku.Ah, iya aku lupa jika aktingnya akan segera dimulai. Kenapa juga dengan pikiranku. Sekarang ketika nama kami dipanggil, ia bahkan mengulurkan tangannya.Kami bahkan terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Sudahlah, sepertinya Tuhan bahkan menakdirkanku menjalani pernikahan sandiwara. Sesuai dengan pekerjaan yang kutekuni bertahun-tahun yang lalu.~“Kalian tuh settingan enggak sih? Tuh sekarang nitizen tuh banyak banget yang mempertanyakan pernikahan kalian yang serba mendadak di tengah gempuran gossip yang ssst!”Host itu langsung menutup bibirnya.Pertanyaan itu, padahal sudah dipersiapkan. Namun, sepertin
“ENAKNYA KITA APAIN INI!” Ya Allah aku harus bagaimana, bahkan orang-orang yang semula hanya hitungan jari sekarang hampir semua yang melintas jadi berhenti dan memperhatikanku. Saat itu aku ingin kembali masuk. Namun, seseoran malah menjaga di depan pintu. “Ih, mau ke mana?” kata wanita yang entah siapa. Dia bahkan mulai mendorongku, agar menjauh dari pintu kaca. “Mbak maaf, tapi saya di sini sama suami. Enggak mungkin juga saya menggoda suami orang.” “Alah, kamu bisa aja bohong! Saya tahu bagaimana jahatnya kamu. Kamu tuh sampai nyulik istrinya Mas Andi. Emang enggak malu, ya datang ke sini?” “Kalau saya jadi Mbak Ayu sudah saya masukin kamu ke penjara. Biar tahu rasa!” “Muka aja cantik tapi hatinya busuk!” Wuuuh! Sekarang mereka malah meneriakanku. Aku yang sudah tak tahan lagi, memilih meninggalkan tempat ini. “Tolong biarkan saya masuk! Suami saya di dalam.” “Hih! Enggak! Kal