Melihat wajahnya yang menyeramkan, aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawah, demi menghilangkan rasa gugup. Namun, setelah menciptakan jeda yang cukup panjang, tanpa kata pria itu langsung meninggalkan kamar begitu saja.
Lebih baik aku segera menyelesaikan makan dari pada nanti dia akan mempermasalahkannya lagi. Ternyata makan di kursi gamers seperti ini sangat nyaman. Seharusnya dulu aku membeli kursi yang seperti ini.
Setelah makan aku kembali ke bawah dan langsung mencuci piring. Namun, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Cara Syahru melihatku sungguh sangat mengganggu.
“Sejak kapan kamu jadi suka cuci piring?”
“Ini hanya pekerjaan gampang, semua orang juga bisa melakukannya?”
“Enggak takut kukumu patah?”
“Aku sudah lama enggak pakai kuku palsu?”
“Oh ya, kenapa? karena, gak ada kerjaan?”
Di antara banyak perkataan lain yang lebih ramah di teli
“Kalau aku menikah karena kasihan memangnya kenapa?”Pria itu malah tersenyum.“Bukankah kita sudah menikah sekarang, enggak peduli alasan dibalik semua ini. Aku suamimu sekarang!” tegasnya lagiAda apa dengan pria ini. Kata-katanya itu kenapa sering kali membuatku menjadi salah mengartikannya.“Siap-siap sebentar lagi kita dipanggil!”Sekarang bahkan ia tersenyum padaku.Ah, iya aku lupa jika aktingnya akan segera dimulai. Kenapa juga dengan pikiranku. Sekarang ketika nama kami dipanggil, ia bahkan mengulurkan tangannya.Kami bahkan terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Sudahlah, sepertinya Tuhan bahkan menakdirkanku menjalani pernikahan sandiwara. Sesuai dengan pekerjaan yang kutekuni bertahun-tahun yang lalu.~“Kalian tuh settingan enggak sih? Tuh sekarang nitizen tuh banyak banget yang mempertanyakan pernikahan kalian yang serba mendadak di tengah gempuran gossip yang ssst!”Host itu langsung menutup bibirnya.Pertanyaan itu, padahal sudah dipersiapkan. Namun, sepertin
“ENAKNYA KITA APAIN INI!” Ya Allah aku harus bagaimana, bahkan orang-orang yang semula hanya hitungan jari sekarang hampir semua yang melintas jadi berhenti dan memperhatikanku. Saat itu aku ingin kembali masuk. Namun, seseoran malah menjaga di depan pintu. “Ih, mau ke mana?” kata wanita yang entah siapa. Dia bahkan mulai mendorongku, agar menjauh dari pintu kaca. “Mbak maaf, tapi saya di sini sama suami. Enggak mungkin juga saya menggoda suami orang.” “Alah, kamu bisa aja bohong! Saya tahu bagaimana jahatnya kamu. Kamu tuh sampai nyulik istrinya Mas Andi. Emang enggak malu, ya datang ke sini?” “Kalau saya jadi Mbak Ayu sudah saya masukin kamu ke penjara. Biar tahu rasa!” “Muka aja cantik tapi hatinya busuk!” Wuuuh! Sekarang mereka malah meneriakanku. Aku yang sudah tak tahan lagi, memilih meninggalkan tempat ini. “Tolong biarkan saya masuk! Suami saya di dalam.” “Hih! Enggak! Kal
“Mbak, kenapa? Abis dikejar-kejar siapa? Sini istirahat dulu!”Seorang ibu paruh baya tiba-tuba saja menghampiriku. Tak hanya itu, ia bahkan mengeluarkan botol air mineral ke pangkuanku.“Diminum dulu! Biar tenang!”Aku menatapnya sebentar. Bagaimana pun aku harus tetap waspada pada orang asing. Sejak kejadian itu, pikiranku jadi tak pernah tenang. Selalu saja waspada. Aku pikir semua orang pasti membenciku.“Tenang aja Mbak, ibu bukan orang jahat kok. Nah itu warung ibu.”Wanita itu menunjuk ke arah toko serba ada di seberang jalan.“Kalau mau istirahat di sana. Ayo bareng sama ibu! Dari pada di sini enggak ada kursi. Masa mau duduk di batu.”Sepanjang trotoar memang hanya ada batu-batu besar. Sekali lagi ibu itu merangkulku. Ia bahkan tak segan menuntunku menyebrangi jalan, yang saat itu masih ramai kendaraan berlalu lalang.“Ibu tinggal dulu, ada yang beli. Mbak tenagin diri di sini dulu, ya!”Saat itu memang ada 2 orang pembeli yang datang ke tokonya. Untunglah masih ada orang yan
Baik salah, tak peduli juga salah. Rasanya semua yang aku lakukan hanya sia-sia. Ia selalu punya cara untuk mencaci.~Malam itu aku tak peduli lagi, ia akan memakai selimutnya atau tidak, kalau pun ia kedinginan itu bukan salahku, tapi salahnya sendiri. Ternyata susah sekali menjadi istri, bahkan aku saja masih belum bisa mencuci dengan benar.Aku pikir uang bisa membeli segalanya, tetapi tak ada yang tahu nasib seseorang seperti aku sekarang. Tak ada gunanya tas-tas mahal koleksiku. Pada akhirnya semuanya hanya akan tersimpan di gudang.Andai dulu, aku mengalihkan dana itu untuk membangun sebuah bisnis, pasti di saat terpuruk seperti ini masih ada yang bisa diandalkan. Setidaknya tidak perlu bergantung hidup pada orang yang sama sekali tak tahu caranya menghargai.Malam itu sungguh aku menghabiskan malam dengan penuh penyesalan. Menyesali pernikahan, gaya hidup hedonis, juga aku yang selalu berpikir pendek. Alhasil keesokan harinya mataku membengkak cukup parah. Tadinya aku i
Entah kenapa waktu seakan enggan berlalu. Aku sudah sangat merasa tidak enak. Apa lagi hari ini aku makan cukup banyak. Pasti sangat berat.“Turun aja ya, Mas! Enggak apa kok. Aku biasa kayak gini. Namanya juga perempuan.”“Jangan bawel. Sebentar lagi nyampe!” katanya.Pria itu benar-benar menggendongku sampai ke rumah. Herannya, Mas Syahru masih saja mempertahankan wajah datarnya. Bahkan ketika ia menurunkanku.“Udah nyampe. Masih mau digendong?” tanyanya sambil menatapku, tanpa senyum sedikit pun.Bagaimana bisa ia biasa saja dengan jarak sedekat ini?Ah, iya bagaimana aku bisa lupa kalau dia seorang model profesional. Jelas saja ia sangat biasa dengan adegan seperti ini.Sepertinya aku terlalu lama menganggur. Sehingga terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting.“Alea, kalau memang enggak mau turun, bukakan pintunya!”“Oh, a-aku mau turun kok, Mas!”“Enggak usah, sudah tahu sakit. Kenapa tetep maksain buat jalan sendiri?”“Ayo, bukain handlenya? Tanganku dua-duanya sibuk
“Apanya yang yang jangan sekarang?”Pria itu malah menatap bingung.“Ka-kamu mau i-itu ‘kan?”“Dasar mesum! Aku mau ambilkan kamu minyak kayu putih. Ini!”Tanpa merasa bersalah pria itu meletakkan benda kecil itu ke genggamanku.“Aku sudah bilang ‘kan belum mau menyentuhmu.”Dia bilang belum? Itu artinya?Ah, tidak. Jangan berpikir macam-macam. Dia menyukai sesama. Bahkan jika aku memakai pakaian terbuka pun ia tak akan tergoda.Tanpa sadar aku telah menggelengkan kepala. Sekarang Mas Syahru jadi semakin memperhatikanku.“Aku akan ngebut! Kamu jangan kabur lagi, oke?”“Siapa juga yang mau kabur, bisa bocor di jalan nanti.”“Nah, itu tahu. Jadi anak baik! Yang nurut sama suami!”Suami?Kenapa rasanya aneh sekali.Pria itu datang dengan membawa pembalut beserta minuman untuk meredakan nyeri datang bulan, tetapi dengan jumlah yang sagat banyak. Aku masih memaklumi jika ia membeli pembalut yang sangat besar. Aku juga suka begitu, tetapi minuman sebanyak ini siapa yang akan mengonsumsinya?
“Minumlah!”“Terima kasih.”“Kamu selalu seperti ini setiap bulan?”“Ya,”“Almarhumah ibuku dulu enggak seperti ini.”“Setiap wanita memang berbeda.”“Apa perlu ke dokter buat cek, mungkin ada sesuatu yang memicumu seperti ini.”“Enggak perlu, biasanya setelah minum akan baikkan.”“Oke, sebentar sayurku sudah matang.”Pria itu sangat sibuk. Namun, sama sekali tak mau dibantu. Melihatnya begini, sekarang air mataku tak tertahankan lagi. Ia tumpah begitu saja dan aku benar-benar kehilangan kendali atas itu.“Jangan menangis, Alea. Aku aku menyakitimu lagi?”Aku hanya menggeleng.“Lalu, kenapa kamu begini. Aku yakin rumah ini cukup bersih, rasanya tak mungkin ada debu bahkan angin yang masuk dari luar.”“Kamu benar, Mas. Aku hanya merasa sedikit terharu mendengar seseorang memujiku. Setiap hari aku begitu akrab dengan hinaan.”“Kamu masih sering buka komen negative?”“Aku enggak niat buka, tapi berita itu muncul sendiri.”Mas Syahru yang semula berdiri, lantas mulai mendekatkan diri pada
“Apa kamu yakin baik-baik saja di jalan? Lumayan loh, sejam dari sini.”“Enggak masalah kok, Mas. Ini juga sudah mendingan abis minum.”“Memangnya harus sekarang banget ketemunya?”“Aku sudah terlalu lama menundannya. Semakin, hari aku jadi enggak tenang.”“Bukankah di hari pernikahan kita, kamu juga sudah meminta maaf padanya.”“Memang, tapi masih ada yang ingin kukatakan padanya.”“Kalau begitu habis zuhur kita pergi. Kamu siap-siap, ya!”“Oke.”~Akhirnya hari itu juga aku bertemu dengan Mbak Ayu. Sejujurnya aku agak ragu, jika nantinya harus bertemu Mas Andi. Rasanya malu sekali, aku pernah mengejarnya begitu menggila sampai putus rasa maluku.Tak tahunya malah berjodoh dengan sahabatnya.“Kenapa melihatku begitu?”“Enggak kok, Mas.”Ah, kenapa juga aku harus tertangkap basah tengah memandanginya.~Pukul 3 sore kami baru tiba di kediaman Mbak Ayu. Wanita itu menyambut kami dengan ramah, rupanya mereka tengah berkumpul di halaman depan. Rumah Mas Andi banyak sekali yang berubah. D