“Surprise Mamah!” Teriakan Ilham terdengar dari arah belakang. Disusul Rania, yang juga mengikuti aksi kakak laki-lakinya memeluk kaki Ayu, satu di sebelah kiri dan kanan. Keributan itu nyatanya juga memancing Reno yang tinggal di kamar sebelah ikut berkumpul di ruangan itu. Sementara Andi yang masih berada di lantai bawah, buru-buru berlari, ia baru tersadar akan kejutan yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi.
“Sayang, selamat datang kembali,” kata Andi begitu sampai di kamarnya. Senyumnya semakin merekah seiring dengan Ayu yang kini menatapnya.
“Mamah enggak senang, ya?” Ayu mendadak tersenyum, mungkin lebih tepatnya menggerakkan bibirnya, karena tak ada ketulusan yang terpancar dari matanya. Andi menyadari hal itu, begitu pun Reno yang memilih meninggalkan tempat itu. Ia hanya tak ingin merusak kebahagiaan adik-adiknya.
“Aku tahu, kamu tidak senang ‘kan?” bisik Andi saat tengah memotong cake
“Mah, tapi tadi ada Papah,” elak anak kecil itu yang masih saja penasaran dengan televisi yang menampilkan papahnya. Suasana menjadi tegang, seiring dengan Ilham yang terus memaksa ingin menyalakan televisi. “Sayang, ada apa? Kenapa Ilham menangis?” tanya Andi yang heran melihat anak-anaknya merajuk. Namun, Ayu sama sekali tak terbesit untuk menolong mereka. “Papah kenapa masuk ke kamar sama perempuan? Aku tadi lihat Papah sama perempuan di Tv.” “Astaghfirrullah.” Andi langsung menutup mulutnya, lantas refleks menengok Ayu yang sama tegangnya. “Aku akan bawa anak-anak ke kamar Reno,” kata Ayu. Cekalan di lengannya yang tiba-tiba itu membuatnya langkah Ayu terhenti. “Kamu tahu ‘kan, aku tidak melakukan apa pun,” ucap Andi. “Apa ada saksi?” Ayu menatap suaminya dengan begitu datar. “Mana ada saksi di sana. Kenapa tanya begitu, apa sekarang Adek mulai enggak percaya sama Abang?” “Bukan masalah percaya atau
“Apa kamu sedang tidak percaya diri?”“Sebaiknya kita makan sekarang, ayo.” Lagi-lagi Ayu mengalihkan pembicaraan. Ia dengan cepat mematikan televisi, lalu segera memanggil anak-anak yang tengah bermain di halaman depan. Mereka makan dalam diam, tak ada lagi tawa dan saling bercengkerama seperti hari-hari sebelumnya.“Bang, hari ini aku izin buat belanja bahan-bahan untuk membuat kue.”“Biar Abang antar.”“Enggak perlu aku bisa sendiri.”“Hari ini Abang libur,” katanya.“Sebaiknya Abang gunakan waktu libur ini buat istirahat,” ucapnya.“Memangnya harus sekarang banget, kamu baru aja pulang dari rumah sakit. Biar aku yang belikan, istirahatlah sebentar. Cukup kasih aku catatannya.”“Tidak perlu seperti itu, ini ‘kan usaha aku. Mana bisa aku merepotkanmu?”“Aku yang mau, bagaimana kalau nanti kamu pingsan
“Sayang, ayo pulang!” ajak Andi sambil menggandeng lengan istrinya dengan begitu mesra. Tak peduli jika wanita di depannya bahkan melihat aksinya tanpa berkedip. Baik Alea mau pun Rana sama-sama tak menyangka jika Andi juga berada di tempat itu. Ayu tampak tersenyum melihat ekspresi Alea yang mendadak berubah.“Mas Andi, ya ampun aku kira kamu enggak ada di sini. Mbak juga kenapa enggak bilang dari tadi.” Alea yang gugup, lantas ia berusaha menggapai lengan Ayu.“Lepaskan istri saya!” Andi sengaja menekankan nada bicaranya hanya agar Alea tahu jika perbuatannya salah. Mengingat Alea sering kali salah paham, jika Andi hanya bicara dengan nada biasa. Ia masih saja menganggap jika kebaikan Andi adalah karena dia menaruh rasa yang berbeda. Padahal, pada kenyataannya pria itu memang baik pada semua orang.“Mas, kamu enggak perlu sekasar itu ‘kan? Kamu lihat sendiri aku hanya memegang tangannya. Mana ada aku menyakiti di
“Kamu sudah pulang?” Ayu terperanjat saat merasakan dari arah belakang seseorang tengah melingkarkan lengannya di perutnya. Ia lantas membalikkan badan, tetapi belum sempat melakukannya pria itu justru menahannya agar Ayu tetap berada di posisi semula.“Begini saja, ini Abang. Apa kamu lelah? Tumben sekali jam segini sudah tidur.”“Tidak tahu, aku tadi niatnya setelah minum obat mau rebahan sebentar, tetapi malah ketiduran.” Andi yang sejak tadi sudah menuduh istrinya yang berubah karena sibuk dengan aktivitas barunya itu, kini menyesali perbuatannya. Kenyataannya wanita itu tertidur karena pengaruh obat.“Aku akan siapkan makan.” Wanita itu gegas bangkit dari ranjang, namun baru selangkah Andi menariknya dengan begitu kuat hingga Ayu kembali terjatuh ke ranjang.“Ya Allah Bang, kenapa begini?”“Maafkan Abang, sudah berpikir macam-macam padamu. Aku pikir kamu sudah tidak mau me
PoV AndiMalam itu aku memutuskan pulang lebih awal, padahal semua rekan kerjaku masih berada di base camp. Belum lagi aku yang merasa tidak enak dengan Anwar yang sejak penolakanku mengenai setingan dengan Alea, pria itu terkesan mendiamkanku. Pada akhirnya keputusanku sudah bulat, aku ingin mundur dari project yang berisiko tinggi itu. Aku mungkin akan punya banyak uang dalam sekejap, tetapi risikonya adalah rumah tanggaku yang hancur.Sebuah panggilan telepon dari nomor Dian membuatku mengernyit antara yakin dan tidak, karena kami memang sangat jarang saling berhubungan lewat telepon. Aku refleks melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri, di mana jarum pendeknya mengarah pada angka 10. Firasatku sudah tidak enak.“Assalamualaikum, Mas Andi. Maaf saya ganggu malam-malam. Cuma mau ngabarin ini anak-anak nyariin mamahnya. Kira-kira Mas tahu enggak ya, di mana Mbak Ayu?” Suara Dian
Dua hari berlalu, setelah melaporkan kehilangan Ayu ke polis, sampai hari ini kami masih belum menemukan titik terang.“Pah. Mamah bakal balik lagi ‘kan?” tanya Randi dengan wajah yang ditekuk. Sejak kepergian Ayu dari rumah, rumah ini benar-benar kehilangan cahayanya. Semua menjadi murung. Meski hubunganku dengan Reno menjadi membaik, tetapi bukan cara seperti ini yang aku harapkan.“Insyaallah kita doakan saja, ya,” ucapku.“Kata Ibunya Haru, Mamah kebur karena Papah pacaran sama artis. Memangnya bener, Pah?” tanya Randi. Seketika semua pasang mata mendadak tertuju padaku.“Tentu saja enggak bener, Sayang. Mana mungkin Papah bisa suka sama perempuan lain selain Mamah. Enggak ada yang lebih baik dan cantik dari pada Mamah, semua itu fitnah, enggak usah percaya sama mereka.”“Tapi, pas kemaren di Tv aku lihat Papah berdua sama artis kok, berarti yang dibilang Ibunya Haru enggak sa
“Dek mana bisa begitu, Rania lebih butuh perhatian kamu dibanding Randi sama Ilham. Abang percaya mereka bisa jaga diri kok, salah dong kalau kamu tiba-tiba mau nungguin mereka di sekolah. Lagi pula sekolah mereka juga tertutup. Gerbangnya bakal dikunci sampai jam pulang nanti. Penjagaan mereka juga ketat ada satpam yang berjaga di luar supaya anak-anak enggak sembarang terima jemputan dari orang lain.”“Abang enggak tahu bagaimana keadaan di luar sana, Adek harus menjamin sendiri keselamatan mereka.” Aku menghentikan mobil tepat di depan rumah kami. Anak-anak yang menyadari ada Ayu di sisiku. Langsung berteriak kegirangan tak terkecuali Reno yang terlihat santai. Meski aku masih bisa menangkap senyum di bibirnya yang merekah seiring dengan Ayu yang menuruni mobil.“Mamah!” teriak ketiganya kompak dengan wajah yang semringah. Mereka juga langsung memeluk Ayu.“Ya Allah Nak, kenapa panas-panas begini pada main di luar? Ra
“Adek Abang dobrak nih! Kalau sampai hitungan kesepuluh kamu enggak buka pintunya!”Aku mulai berhitung seiring dengan menyiapkan ancang-ancang, untuk membuka pintu dengan paksa.Namun, baru saja tanganku bersiap, suara kunci yang diputar dari dalam tiba-tiba terdengar.“Aku baik-baik aja kok, Bang.” Kini Ayu malah berdiri di ambang pintu dengan raut datarnya yang begitu menguji kesabaranku, karena terlalu emosional aku tidak lagi memedulikan bagaimana dia akan berekspresi. Masa bodo dengan pikiran-pikiran negatif tentang apa yang terjadi dengannya dua hari yang lalu. Aku hanya ingin memeluknya sebagai bentuk rasa syukurku, karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menemuinya. Entah bagaimana aku akan hidup tanpa dia. Aku harus memulai hari dengan apa dan siapa? Aku segera melepas rengkuhan lalu berpindah memegang kedua tangannya, dengan erat.“Dek, Mas enggak peduli apa yang terjadi sama kamu dua hari yang lalu. Mas engg