Marsya belum menyadari jika dirinya berbuat salah kepada Reval. Dia masih bingung apa kesalahannya. Namun, ketika Marsya mendengar jawaban Reval. Marsya baru mengerti apa kesalahannya.
"Maafkan saya, Tuan! Saya tidak bermaksud untuk membohongi, Tuan." Marsya meremas selimut yang sedang dipakainya.
"Sialan kamu, kamu mau menipuku, hah. Memangnya keperawananmu bisa kamu tutupi. Dasar wanita bodoh! Kamu pikir aku tidak bisa membedakan mana yang perawan, mana yang tidak. Dasar wanita jalang!" Reval melempar bantal ke tubuh Marsya yang sedang berdiri.
Marsya tidak bisa menghindar, dia hanya diam saja ketika tubuhnya dilempar bantal oleh Reval. Tidak terasa air matanya menetes begitu saja. Marsya mengakui kalau dirinya memang telah berbohong kepada Reval mengenai keperawanannya.
"Maafkan saya, Tuan! Saya memang bersalah. Saya sudah berbohong terhadap, Tuan. Saya juga ... sudah berbohong kepada Bapak saya." Air matanya jatuh dipelupuk mata Marsya.
"Oh, ternyata Bapakmu tidak tahu kalau kamu sudah tidak perawan. Pantas saja Bapakmu begitu percaya diri. Sama siapa kamu melakukannya? Bukankah Bapakmu bilang kamu belum pernah pacaran."
"Saya memang belum pernah pacaran, Tuan."
"Terus kamu melakukannya dengan siapa, hah? Dengan pria hidung belang. Dengan Om-Om yang sekali pakai. Ternyata kamu sama saja dengan wanita di luaran sana. Kamu menjadi pelacur tanpa sepengetahuan Bapakmu!" Reval geleng-geleng kepala.
"Jaga mulut, Tuan! Saya bukan wanita seperti itu!" teriak Marsya.
"Kamu berani membentakku, sialan!" Reval bangun dari atas kasurnya kemudian memakai kimono dan menghampiri Marsya. "Kamu pikir kamu siapa, kamu berani membentakku, hah!" Reval memegang dagu Marsya.
"Maaf ... maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud membentak Anda. Saya cuma tidak mau dikatakan wanita seperti itu oleh, Tuan."
Reval melepaskan tangannya dari dagu Marsya secara kasar. "Seorang pelacur tidak menerima kalau dirinya pelacur." Reval tertawa mencibir.
"Tapi saya memang bukan pelacur. Saya bukan wanita seperti itu." Marsya menangis sambil menatap wajah Reval.
"Sudah tidak usah menangis. Air mata kamu hanya air mata buaya. Kamu pikir dengan kamu menangis aku akan simpatik sama kamu. Jangan harap! Kamu sama saja layaknya dengan wanita malam. Jadi jangan sok-sokan memelas dan menangis di hadapanku."
"Baik, sekarang mau, Tuan apa? Setelah, Tuan menganggap saya sebagai pelacur! Dari awal saya memang tidak mau dijodohkan dengan, Tuan. Bapak yang memaksa saya untuk menikah dengan, Tuan." Marsya menatap tajam wajah Reval.
"Berengsek kamu!" Reval menarik rambut Marsya.
"Aaahh ... sakit, Tuan. Ampun, Tuan sakit." Marsya meronta sambil menahan sakit kepalanya.
"Aku tidak peduli kamu kesakitan atau tidak. Sana diam kamu di kamar pembantu! Mulai sekarang kamu menjadi Asisten Rumah Tangga di rumah ini. Paham kamu!" Reval mendorong Marsya setelah berada di luar kamar. "Kalau aku mengusir kamu dari rumah ini, aku yang rugi. Walaupun aku memang sudah rugi sekarang."
Marsya hanya bisa terdiam sambil menangis. Tidak percaya bahwa Reval akan berbuat seperti ini terhadapnya, hanya karena dia sudah tidak perawan. Marsya memang telah berbohong terhadap Reval dan Pak Bowo.
"Sudah sana berengsek! Buat apa menangis di hadapanku!" Reval bertolak pinggang sambil menatap tajam Marsya.
"Saya belum pakai baju, Tuan. Saya, 'kan tidak mungkin ke bawah seperti ini."
"Ya, sudah sana pakai baju! Tidak pakai lama!"
"Baik, Tuan," ucap Marsya lalu masuk ke dalam kamar.
***
Kini Marsya sudah berada di kamar asisten rumah tangga. Dia tidak percaya akan berakhir seperti ini. Setelah Reval menikmati tubuhnya, dengan gampangnya Reval menjadikan dirinya sebagai asisten rumah tangga.
"Dasar lelaki! Seenaknya menikmati tubuhku. Hanya karena aku tidak perawan. Aku dicampakkan begitu saja. Dasar lelaki sialan!" Marsya merebahkan tubuhnya di atas kasur.
***
Sementara di kamar Reval, dia uring-uringan sendiri. "Sial, kenapa aku bisa tertipu dengan wajah polos dia. Dasar pelacur sialan, aku sama Bapaknya sudah ditipu sama dia." Reval mengacak-acak rambutnya sendiri.
Reval lalu bergegas pergi ke lantai bawah. Dia akan pergi ke club malam. Reval ingin bersenang-senang di club malam.
"Marsya! Marsya!" teriak Reval.
Samar-samar terdengar oleh Marsya, Reval sedang memanggilnya. "Iya, Tuan." Marsya berlari menemui Reval di meja makan.
"Kenapa kamu lelet sekali aku panggil!" marah Reval.
"Maaf, Tuan."
"Aku akan pergi ke club malam. Ingat sebelum aku pulang ke rumah, kamu jangan tidur dulu. Kamu harus tunggu aku sampai pulang. Awas kalau kamu sampai ketiduran!" perintah Reval.
"apa, Tuan! Saya harus nunggu, Tuan gitu. Kalau mata saya ngantuk, bagaimana, Tuan?"
"Kamu mau membantah omonganku, dasar pembantu sialan!" kesal Reval, "minggir sana! Pokoknya kamu tunggu aku sampai pulang." Reval mendorong Marsya sampai tubuh Marsya terdorong ke belakang lalu meninggalkan Marsya.
Marsya hanya bisa menghela napas ketika dirinya dimaki oleh Reval dan ditinggalkan begitu saja. "Ini semua gara-gara Bapak. Aku jadi berakhir seperti ini." Marsya duduk di kursi meja makan.
***
Marsya sedang duduk di sofa ruang tamu. Waktu menunjukkan pukul 23.35, kedua mata Marsya sudah sangat mengantuk. Dia lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Tidak terasa Marsya malah terlelap tidur.
Tidak lama kemudian Reval baru pulang, dengan keadaan mabuk. Dia diantar oleh asisten pribadinya. Marsya langsung bangun karena mendengar ocehan Reval.
"Tuan!" Marsya bangun dari tidurnya lalu menghampiri Reval.
Marsya kemudian memapah Reval masih dibantu oleh Farhan. "Terima kasih, asisten Farhan sudah membantu Tuan Reval. Sudah sampai di sini saja, sekali lagi terima kasih, ya."
"Ya, sudah. Saya permisi dulu." Farhan meninggalkan Marsya dan Reval.
***
Marsya sudah berada di dalam kamar Reval. Dia kemudian merebahkan Reval ke atas kasur. Marsya memang sudah terbiasa menghadapi orang mabuk. Setiap malam Bapaknya selalu pulang dalam keadaan mabuk.
"Kenapa semua lelaki harus seperti ini. Tidak Bapak, tidak tuan Reval pada doyan mabuk." Marsya membuka sepatu Reval dan kaos kaki Reval.
Marsya kemudian menyelimuti Reval. Namun, di saat dirinya akan beranjak dari atas kasur. Tangan Marsya malah ditarik oleh Reval.
"Tuan apaan sih, lepaskan!" Marsya berontak ingin melepaskan pegangan tangan Reval.
"Jangan berontak kamu, aku mau malam ini kamu tidur denganku. Kamu harus melayaniku." Tubuh Marsya di peluk Reval.
"Aku tidak mau lepaskan! Tuan sedang mabuk. Lepaskan, Tuan!" Marsya meronta ingin melepaskan pelukan tangan Reval.
Semakin Marsya ingin melepaskan pelukannya dari tangan Reval. Justru tangan Reval semakin kuat memeluk tubuh Marsya. Kini tubuh Marsya sudah berada di bawah tubuh Reval.
"Kamu istriku, kamu harus melayaniku. Kamu jangan membantah." Reval memegang bibir Marysa lalu melumatnya dengan kasar.
Marsya berontak, dia menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Sama sekali bibirnya tidak mau dicium oleh Reval. Akan tetapi, tetap saja Reval masih menikmati bibir Marsya.
Reval menatap tajam wajah Marsya karena dirinya tidak suka ditolak. Apalagi yang menolaknya hanyalah seorang Marsya. Seorang wanita yang hanya sebagai penebus hutang.
"Kamu siapa berani-berani menolakku, hah! Kamu tahu tidak, tidak ada wanita yang berani menolakku. Kamu yang sok-sokan tidak mau tidur denganku. Di luaran sana banyak wanita yang ingin tidur denganku! Kamu yang bukan siapa-siapa berani menolak, padahal kamu tidak lebih hanyalah seorang pelacur!"
Dalam keadaan mabuk bisa-bisanya Reval mengatai Marsya. Marsya tidak terima dirinya dikatai pelacur. Sama sekali apa yang dikatai sang suami tidak benar adanya. "Lepaskan, lepaskan saya!" Marsya memukul dada Reval berulang-ulang."Diam berengsek!" Reval tidak peduli dengan penolakan Marsya dan juga pukulan Marsya. "Kamu itu istriku, kamu harus melayaniku.""Tapi bukan kaya begini caranya! Aaaah ...." Marsya berteriak sekencang mungkin."Aku tidak peduli dengan teriakanmu. Teriak sekencang yang kamu bisa, pelacur!" "Aku bukan pelacur! Lepaskan!" Marsya meneteskan air matanya. Reval pun bercinta dengan Marsya. Walaupun sag istri menolak dan menangis, Reval tidak peduli. Yang terpenting dia bisa mengeluarkan hasrat kelelakiannya. Pergulatan pun telah selesai. Marsya hanya bisa menangis setelah ditiduri oleh Reval. Dia menoleh ke arah Reval dan sang suami sudah tertidur pulas.***"Kepalaku pusing sekali." Reval memegangi kepalanya lalu mengingat kejadian semalam. "Sial! Kenapa
Sudah habis kesabaran Marsya karena dirinya terus menerus dihina oleh Reval. Akhirnya, Marsya pun mengatakan hal yang sebenarnya kepada Reval. Tak terasa air mata jatuh di pelupuk matanya."Kamu jangan bohong! Kamu pasti hanya membela diri saja, 'kan agar aku simpatik sama kamu," ucap Reval."Buat apa saya bohong. Kalau saya mau menarik simpatik orang untuk apa harus saya pendam sendiri masalah ini. Saya pendam sendiri karena saya malu dan juga ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya."Dan juga apa?" tanya Reval penasaran.Marsya hanya terdiam, dia sama sekali tidak mau menjawabnya. "Marsya! Malah diam lagi kamu? Ayo, jawab! Atau kamu memang lagi berbohong karena tidak mau dikatai pelacur," bentak Reval."Saya tidak bohong, buat apa saya bohong!" teriak Marsya, "saya … saya sudah diancam sama orang itu. Saya tidak boleh cerita sama siapapun. Termasuk sama kedua orang tua saya. Kalau saya berani cerita, apalagi sama kedua orang tua saya. Katanya mereka akan dibunuh." Marsya menang
Ketika Marsya sudah sampai di rumah baru orang tuanya. Marsya tidak sengaja mendengar pembicaraan pak Bowo dan Bu Tasya. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.Marsya seakan hilang keseimbangan di saat dia mendengar ucapan pak Bowo. Untung saja Reval langsung sigap memegang badan Marsya. Reval menatap wajah Marsya dengan penuh kasihan.Marsya menutup mulut dengan tangan kanannya. Tidak terasa air mata jatuh di pelupuk mata Marsya. Bibir Marsya seakan kelu dan dia menggelengkan kepalanya beberapa kali."Sudah jangan ditangisin. Ayo, kita keluar," bisik Reval. "Tapi …." Marsya meneteskan air matanya."Sudah, ayo!" Reval memegang tangan Marsya lalu membawanya keluar.Marsya melonjak kaget. Akan tetapi, Marsya tetap mengikuti sang suami berjalan. Tangan Marsya dipegang erat oleh Reval. Sang istri menangis sambil berjalan mengikuti sang suami. "Sudah jangan menangis, buat apa kamu tangisin mereka." Marsya hanya mengangguk lalu menghapus air matanya. Dia kemudian melihat R
"Apa!" kamu jangan mengada-ada, Reval. Sejak kapan kamu bisa akting?" "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas Marsya memang istriku." "Kamu sedang mabuk, 'kan? Tidak, pokoknya aku tidak percaya kalau dia adalah istrimu. Sejak kapan kamu menikah? Kalau kamu sudah menikah sama dia. Kemarin malam buat apa kamu tidur denganku, kita sudah bercinta dan kamu sendiri yang bilang kalau dia adalah pembantu." "Iya, kemarin adalah kesalahanku. Aku sedang marah sama dia. Makanya aku berbuat begitu sama kamu dan ingat kita tidak bercinta malam itu!" Reval menunjuk wajah Angel. "Jadi aku hanya pelampiasanmu saja. Tetap saja kamu sudah menikmati tubuhku! Aku tidak terima pembantu ini istrimu!" Angel menatap tajam wajah Marsya. "Pergi kamu. Ayo, pergi!" Reval menarik tangan Angel. "Tidak, aku tidak mau! Aku cinta sama kamu, Reval. Aku mohon jangan usir aku." Angel mengangkat kedua tangannya memohon. Reval malah menyunggingkan se
Angel merasa geram kepada Reval dan juga Marsya. Bisa-bisanya mereka jalan bersama. Reval yang seharusnya menjemput dirinya, mereka malah pulang berduaan."Aku akan buat perhitungan dengan kalian. Apalagi kamu Marsya. Ingat, Marsya kamu sudah dibilang pembantu sama Reval. Reval milikku, milikku selamanya!" Angel melempar parfum dan yang lainnya yang ada di atas meja rias.***Marsya sedang berada di kamar Reval. Dia tiduran di atas sofa sambil melihat-lihat galeri ibunya di ponsel. Dia menatap wajah sang bunda sambil tersenyum.Marsya begitu rindu dengan ibunya. Walaupun Marsya sudah tahu kalau Bu Tasya bukanlah orang tuanya. Akan tetapi, tetaplah Bu Tasya telah merawat Marsya.Akhirnya, Marsya menghubungi Bu Tasya melalui ponselnya. "Hallo, Bu." Mata Marsya berkaca-kaca."Marsya! Ya, ampun Marsya ibu kangen sama kamu," jawab bu Tasya di balik ponsel."Iya, Bu. Marsya juga kangen sama, Ibu. Ibu baik-baik saja,
Ketika Angel sedang marah dan menjambak rambut Marsya. Reval telah pulang dari perusahaan. Dia merasa geram terhadap Angel karena Angel malah menjambak rambut sang istri."Reval! Kamu sudah pulang?" Angel langsung melepaskan rambut Marsya."Pergi kamu! Ngapain kamu datang ke rumahku lagi, hah? Tidak tahu diri, belum jelas aku bilang apa sama kamu. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, Angel." Reval menatap tajam wajah Angel.Sementara Marsya hanya terdiam dan menunduk."Reval please, aku mau balik lagi sama kamu, Sayang. Aku cinta kamu, aku tidak mau kehilangan kamu." Angel mengangkat kedua tangannya memohon.Reval menyunggingkan senyumnya. Ia kemudian berjalan ke arah Angel yang sedang duduk di sofa bersama Marsya. Reval sama sekali sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi kepada Angel."Ayo, pulang kamu! Aku sudah menikah. Jadi kamu tidak usah menggangguku lagi. Paham kamu!" Reval menarik tangan Angel."Aku tidak mau. Lepaskan
Reval menatap tajam wajah sang istri yang sedang berada di bawah tubuhnya. Jantung Marsya seakan mau copot karena ditatap sebegitunya oleh sang suami. Tatapan yang membuat semua para wanita dimabuk kepayang. "Kenapa? Kamu terpesona melihat ketampananku? Asal kamu tahu semua wanita menginginkanku. Mereka berharap ingin bercinta denganku. Jadi kamu adalah wanita paling beruntung karena bisa bercinta denganku dan menjadi istriku." Reval mendekatkan wajahnya ke arah Marsya. Reval menciumi bibir Marsya. Marsya merasakan ciuman tersebut. Ciuman malam ini sangat berbeda dirasakan oleh sang istri. Reval mencium bibir Marsya dengan begitu lembut. Marsya secara refleks membalas ciuman Reval. Sang suami begitu senang di saat sang istri membalas ciumannya. Akhirnya, mereka pun bercinta dengan begitu panas. Tidak bisa dipungkiri Marsya sangat menikmatinya. Sentuhan-sentuhan dan ciuman lembut Reval membuat Marsya tidak berdaya. "Ada
Akhirnya, Marsya sudah tidak bisa menahannya. Niat hati tidak ingin mengatakan hal itu. Namun, perkataan Pak Bowo membuat Marsya geram. "Marsya kamu bicara apa? Kamu anak Ibu dan Bapak. Kamu jangan berkata seperti itu." Bu Tasya memeluk Marsya. "Ke mana orang tua Marsya, Bu? Kenapa Marsya bisa sama, Ibu dan Bapak?" Marsya memeluk erat Bu Tasya sambil menangis tersedu-sedu. Pak Bowo sama sekali tidak merasa simpatik kepada Marsya. "Sudah-sudah ngapain kalian pada menangis. Tidak penting, cuma masalah anak kandung atau bukan. Tahu dari mana kamu, kalau Bapak sama Ibu bukan orang tua kandungmu?" tanya Pak Bowo. Bu Tasya melepaskan pelukan Marsya. Dia lalu mengusap pipi Marsya yang sudah basah oleh air mata. Bu Tasya tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya. "Bapak tidak perlu tahu! Toh, itu tidak penting, 'kan buat, Bapak. Marsya benci sama, Bapak. Bapak jahat!" Marsya berlari meninggalkan Pak Bowo dan Bu Tasya. "Mau ke mana kamu,