"Mari kita selesaikan hari ini. Bila perlu, kita selesaikan secara laki-laki." Wow! Hasan, Rudy dan Denny langsung berkidik. Meski tenang, ucapan Arya justru mendatangkan ketakutan bagi ketiganya.Secara laki-laki? Rudy dan Hasan yang mendengar itu menggelengkan kepala mereka. Kata-kata itu terdengar begitu macho, bahkan di telinga mereka sendiri."Saya tidak akan panjang lebar. Silakan cerita dari awal sampai terjadinya kejadian hari ini. To the point. Jangan berbelit-belit!"Arya duduk di kursi yang berada tepat di depan Denny. Mereka terhalang satu meja. Ia terus menatap Denny dengan sorot yang tidak bisa dibaca oleh siapa pun.Hasan dan Rudy sama-sama menahan napas mereka. Ruangan itu kini bertambah panas. Hasan buru-buru mengambil remote AC , menurunkan suhu hingga 22 derajat, namun rupanya angka itu masih terasa begitu gerah bagi mereka sekarang."Saya pikir, saya tidak perlu menceritakan bagaimana awal mulanya, Pak. Cukup Bapak tahu saja jika saya tidak mengabulkan permintaan B
"Jadi, kamu sengaja dengan membuat jarak begitu dekat dengan dia?" Suara dingin Arya menusuk dalam telinga Denny.Denny tidak mengira jika Arya tahu soal itu. "Oh-Itu-Ehm, maafkan saya, Pak. Saya sudah lancang. Maksud saya cuma mau ambil foto close-upnya Dinda saja, tapi ternyata jaraknya terlalu dekat." Denny langsung menundukkan kepalanya. "Siapa yang mengambil foto kalian? Ada orang lain yang bersama kalian?" Suara Arya semakin tidak bersahabat."Eh? Mengambil foto? S-Siapa, Pak?" Denny mengerjapkan kedua netranya. Tidak ada orang lain di sana kecuali dirinya dan Dinda, dan dua orang mahasiswi yang berada di deret berbeda dengan dirinya dan Dinda. Punggung Denny menegak seketika. Mungkinkah salah satu atau kedua gadis itu yang telah mengambil fotonya dan Dinda?"Kalau saya tahu, untuk apa saya tanya sama kamu. Ada orang yang mengirimkan foto kalian kepada saya. Saya pikir, kamu sengaja mencari masalah dengan saya."Denny mendesah. Hatinya merasa tidak nyaman. Mengapa Mega mela
"Arya!! Jangan melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya!" Fahri masih berusaha memperingatkan adik semata wayangnya."Tidak ada yang tidak ada gunanya untuk wanita itu. Biar dia paham, bahwa setiap perbuatan yang dia lakukan ada konsekuensi yang harus ia tanggung.""Serahkan saja semua pada yang berwajib."Arya terkekeh geli. "Berwaijib kata kakak? Terlalu lama. Aku akan membuat perhitungan sendiri untuknya, dan aku pastikan itu tidak akan memakan waktu yang lama."Arya meninggalkan kamar Dinda setelah mengucapkan kata-kata itu. Fahri mendesah. "Memang bagaimana cerita aslinya? Apakah dia sempat menganiaya Dinda?" tanya Fahri pada Mita.Mita melirik ke arah Dinda. Arya sudah tidak ada di ruangan ini, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Setidaknya, Fahri lebih dewasa dan lebih tenang daripada Arya."Dia - ..." Dinda tidak mampu meneruskan kata-katanya. Kedua tangannya kembali mengepal kuat. "Harusnya Dinda dulu yang memulai. Mengapa selalu saja dia yang dulu
Arya bergegas menuruni tangga menuju lapangan tempatnya memarkir mobil. Telpon yang dibuat Fahri membuatnya merasa khawatir. Mobil jeep miliknya melesat cepat menuju rumah sakit tempat Dinda dirawat. Panggilan yang dibuat Dermawan diabaikan olehnya. Yang ada dalam benaknya saat ini adalah Dinda. Tidak ada yang lain."Papa mau kemana?" Anggun menatap keheranan Dermawan yang terlihat sangat buru-buru."Ayo! Kita harus segera ke rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit.""Hah?!" Anggun nyaris jatuh merosot saking kagetnya. Ia tidak pernah membayangkan akan ada anggota keluarga mereka yang dirawat di rumah sakit."Hati-hati, Ma." Dengan sigap Dermawan memapah tubuh Anggun dan mendudukkannya secara perlahan di sofa ruang keluarga."Papa pasti sedang bercanda'kan?" Raut wajah Anggun tidak berwarna sama sekali. Putih. Pucat."Papa tidak suka berbohong dan ya, ini adalah kebenaran yang menyesakkan. Dinda dirawat di rumah sakit karena dianiaya oleh dosennya sendiri.""Arya???!!!!" ucap Ang
Mita terpengkur mendengar panggilan Fahri. Ia tidak berani menatap Fahri, dan berusaha menghindar. Sayangnya, Fahri tidak dapat menahan kesabarannya. Ia menarik pergelangan Mita hingga tubuh mereka saling berhadapan. Mita gugup setengah mati. Ia sungguh sedang tidak ingin berdekatan dengan pria yang menurutnya sangat menyebalkan itu. Tampan memang, tapi menyebalkan. "Jawab pertanyaanku. Sampai kapan?""...""Mita! Aku sedang berbicara denganmu." Fahri sedikit mendesak. Ia ingin mendengar alasan apa yang akan diutarakan Mita kali ini, selain waktu yang tidak tepat untuk saat ini."Apa?! Kan sudah dibilang dari tadi. Waktunya sedang tidak tepat.""Alasan klasik. Berilah alasan yang kuat dan masuk akal, bukan alasan yang kuno seperti ini."Mita bergeming. Ia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Tuntutan Fahri dan kewajibannya sebagai seorang istri, mulai mengganggunya.Suara pintu yang dibuka dari luar menyelamatkan Mita. "Kalian sepertinya sudah lelah. Pulanglah." Arya masuk
“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota J. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota J.“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.“Apaaa?!”“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.****Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pertama satu bu
Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pu
Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Pengunduran jadwal sidang skripsi diundur hampir tiga bulan. Itu artinya ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia meliha