"Meminta Dinda?" Broto mengetukkan telunjuknya di ujung sofa yang ia duduki. " Mama mana?" Dinda sedikit terkejut mendengar pertanyaan Broto. Ia masih terpaku pada perkataan Arya barusan."Eh-Anu, Pa. Itu-Mama sedang keluar sebentar." "Hmmm." Menghadapi Broto yang seperti ini, membuat nyali Arya sempat menciut. Ia baru merasakan wibawa seorang bapak ketika putrinya dilamar seseorang. "Kita tunggu Mama Dinda dulu, meski sebenarnya yang paling berhak memberi jawaban di sini adalah Dinda sendiri." Kepala Dinda semakin menunduk. Rasa panas dan malu mulai merayapi wajahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa jika diminta menjawab permintaan Arya atas dirinya. "Apakah kamu sudah tahu semua sikap buruk Dinda?" Arya terus terang menggeleng. "Hanya tahu beberapa saja, Om. Karena saya belum begitu lama mengenal Dinda." Broto menatap heran Arya." Baru mengenal sebentar tapi sudah berani datang kemari untuk melamar? Apa yang membuatmu melakukan ini semua? Kalau bahasa orang tua, kamu termasu
Dinda masih berdiri mematung di balkon kamarnya. Semilir angin malam membelai lembut rambutnya yang tadi sore baru saja ia cuci dengan shampo beraroma mawar. Berulang kali ia menghela napas. Hatinya kini galau tapi bukan lagi karena masalah sidang skripsi, melainkan karena pinangan Arya tadi. Pikirannya melanglang buana. Ia tahu jika nanti dirinya tidak akan dapat menikmati hidup enak setelah menikah jika ia mengikuti Arya ke luar negeri. Itu akan sangat berat baginya. Terlebih lagi, selama ini Dinda belum pernah sehari pun jauh dari Sari. Dinda dan keluarganya lebih sering berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama. Kalau pun Broto ingin berlibur, ia pasti mengajak keluarga kecilnya, dan itu sudah menjadi kebiasaan keluarga Broto yang akhirnya menular pada putra-putrinya. Dinda merasa tidak nyaman jika ia harus pergi tanpa keluarganya, terlebih lagi tanpa Sari dan Broto. Ia akan merasa sangat kehilangan. Alasan lain adalah, bahwa ia belum benar-benar mengenal Arya. Ia takut. Ba
"Honeymoon?" ucap Dinda setengah berbisik. "Kenapa bisa honeymoon?" "Bukankah saya sudah mengatakannya kemarin? Besok mama dan papa datang ke rumah kamu. Setelah lamaran resmi besok, minggu depan kita nikah. "Eh, begitu?" "Begitu. Dan hari ini kamu harus menemani saya ujian S-2." Dinda lupa, jika dirinya belum tahu alasan Arya mengajaknya pergi hari ini. Ia pikir mereka akan berkonsultasi di hari-hari terakhir sebelum sidang skripsi digelar. Ia tidak tahu jika hari ini, pria idamannya akan bertarung memperebutkan satu tiket beasiswa S2 ke luar negeri. Belum hilang rasa kaget Dinda, Arya kembali mengatakan hal yang membuat jantungnya jempalitan. "Saya ingin kamu menjadi saksi perjuangan saya dan menjadi yang pertama tahu hasil ujian itu." Dinda melayang saat itu juga, mendengar ucapan Arya. Ia merasa tersanjung. Kalimat Arya terdengar begitu manis di telinganya. Ia lantas terkekeh sendiri. "Jangan becanda deh, Pak Arya. Mentang-mentang saya lugu begini, ngegombal terus bicara
"Bagaimana kalau nanti saya ketagihan?" Dinda berteriak sekeras-kerasnya di atas bantal tidurnya. Kegilaan apa yang sudah merasuki otaknya hingga menggerakkan bibirnya, mengucap kata yang membuatnya harus merasakan kecupan Arya untuk kesekian kalinya hari itu. Setelah mendengar pengakuan Dinda yang tidak direncanakan gadis itu, Arya kembali menghadiahi Dinda sebuah ciuman yang tidak ringan. Ciuman yang lebih berat dari sebelumnya, karena dilakukan Arya dengan sepenuh hati. Pria itu mencurahkan semua perasaannya saat itu, dan berhasil membuat Dinda hanyut meski sesaat. Jika bukan karena telpon dari Mita, mungkin saja mereka masih bertukar saliva selama lima menit lamanya. "See. Baru begini saja kamu sudah ketagihan. Belum yang lainnya." Arya begitu percaya diri menjauhkan wajahnya dari Dinda. Wajah Arya begitu bahagia. Setidaknya, keraguan yang sempat membayanginya sirna sudah. Ia sudah mendapat jawaban Dinda, dan baginya, itu sangat berharga. Dinda mati kutu. Kejujuran yang tida
"Siapa dia?" "Dia ... Kakak iparmu. Sekarang sedang patah hati. Ia sedang mencari calon istri pengganti." "Hah?" Dinda tidak paham dengan apa yang dikatakan Arya barusan. Arya menghela napasnya. "Sebenarnya, .... " "Din!" Mita memanggil Dinda, menyela ucapan Arya yang belum selesai. Mita sekarang di depan meja yang masih penuh dengan aneka makanan. Dinda menoleh ke arah Mita dan Fahri. Dinda secara tidak sengaja justru terus menatap wajah Fahri. Ada sesuatu yang menggelitiknya saat melihat senyum yang mengembang di wajah Fahri. Tatapan Fahri pun menurutnya sedikit aneh. Ada sesuatu yang berbicara di sana. "Mau makan?" Dinda buru-buru mengalihkan pandangannya dari Fahri ketika pria itu mengedipkan mata sebelah kanannya ke Dinda. "Ayo. Katering yang dipilih mama keliatannya baru. Perlu kita coba." Arya berjalan sembari menggenggam tangan Dinda. Kini, ia jadi lebih leluasa menunjukkan perasaannya terhadap Dinda. Fahri terus menempel Mita yang juga terus menempel Dinda. Mita
Arya ditarik paksa mengikuti wanita bergaun merah marun. Pegangan tangannya dengan Dinda secara otomatis terlepas begitu saja. Arya berjalan terus dengan terpaksa, mengikuti wanita di depannya. Kedua netranya tidak lepas dari sosok di depannya. "Siapa gerangan wanita kurang ajar ini?' geram Arya. Wanita itu terus saja melangkah tanpa memerdulikan Arya yang kebingungan dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Terpaksa terpisah dengan calon istrinya. Arya menghentikan langkahnya secara mendadak, hingga membuat wanita yang menariknya paksa, tertarik sedikit ke belakang. "Kenapa berhenti tiba-tiba?" Wanita itu sontak memutar tubuhnya ke belakang. Kini mereka berdiri saling berhadapan. "Mengapa anda bersikap ceroboh?" Arya menatap tajam wanita di depannya itu. 'Andai dia laki-laki,' gumam Arya mengepalkan kedua tangannya. "Saya tidak begitu." Arya tidak ingin memperpanjang percakapan itu. Ia langsung kembali menuju Dinda yang masih berdiri menatap dirinya dengan tatapan bingung
Arya memberikan snack kepada Dinda yang duduk persis di samping kanannya, sedangkan Mega duduk di sebelah kirinya. Keberadaan cincin di jari manis tangan kiri Arya mengejutkan Mega. Kilau cincin itu menyilaukan netranya, akibat pantulan sinar lampu yang berada tepat di atas mereka. Cincin dengan satu batu permata yang terletak di tengahnya. Sederhana tapi terlihat mewah. Mega ingin bertanya tapi, sayangnya acara inti sedang berlangsung. Sedangkan Arya sendiri begitu serius mengikuti acara demi acara . Tampaknya Arya sengaja melakukan itu, karena ia tidak ingin terlibat percakapan panjang dengan Mega. Baginya, Mega hanyalah sebuah iklan yang tidak menarik sama sekali. Sebuah iklan yang kehadirannya justru sangat mengganggu dan merusak moodnya. Mega duduk diam namun tidak dengan otaknya. Otaknya terus berputar mencari cara untuk mendapatkan perhatian Arya. Ia ingin menjadi sosok yang penting dalam hidup Arya. Ia ingin menjadi satu-satunya wanita yang berada di sisi dosen tampan it
Halaman parkir perlahan mulai sepi, Arya dan Dinda yang menunggu di pos satpam berjalan lebih santai menuju jeep milik Arya. Suasana malam yang gemerlap dengan bintang membuat Dinda, dan Arya tidak menyadari jika jarum jam sudah nyaris menuju angka 11. "Langsung pulang atau mau mampir kemana dulu?" Arya membawa mobilnya secara perlahan meninggalkan kawasan gedung resepsi. "Pulang. Sudah hampir tengah malam." Dinda menatap layar ponselnya yang menyala terang. "Baiklah." Jalanan mulai sepi, namun tidak begitu dengan jalan raya utama. Di sana, macet masih terjadi di beberapa titik, membuat Arya terpaksa merayap seperti semut. "Mereka semua baru saja pulang kerja?" "Sebagian besar. Sebagian lagi mungkin mereka baru berangkat kerja atau sekedar jalan-jalan bersama keluarga mereka." "Oh. Kalau Pak Arya juga pernah sampai jam selarut ini, pulang dari kampus?" "Sayang... Harus berapa kali aku memintamu untuk tidak lagi memanggilku dengan panggilan 'Pak'?" Dinda langsung tersipu mal