Prims sebenarnya ingin menolak ajakan Arley. Tetapi setelah dia pikirkan ulang ... sepertinya dia tak memiliki alasan untuk menolaknya karena mereka berdua sudah berbaikan dan mengakhiri kesalahpahaman tentang ‘skandal perselingkuhan’ yang digiring oleh Alice kemarin itu.
Lagi pula ... sepertinya memang Prims tak bisa menolaknya sebab dia melihat Jodie yang ada di sudut lain di lantai dua. Wanita paruh baya itu sepertinya sedang mengganti vas bunga dengan yang baru dan jelas mendengar apa yang baru saja Arley katakan.Sebuah variabel yang membuatnya tidak mungkin menolak Arley sehingga dia mengekor langkahnya untuk meninggalkan kamar tempat di mana Prims berada sebelumnya menuju ke dalam kamar mereka sendiri.Punggung bidang Arley yang telah berbalut dengan pakaian tidur yang wangi membuat Prims tak henti mengamatinya hingga mereka sampai di dalam kamar dan pria itu menoleh kepadanya, “Istirahatlah ... aku yang akan matikan lampunya,” ujaSepertinya semua orang sedang memperhatikan ke mana Profesor Mashe melangkah dan mengayunkan tangannya saat dia mengatakan bahwa seseorang sedang sangat ditunggu kehadirannya di tempat ini.Prims bisa melihatnya yang berhenti di hadapannya dan mengarahkan tangan kepadanya, senyumnya yang ramah membuat Prims segera menyambut ajakan tangan beliau, âUntuk apa semua orang menunggu saya, Prof?â tanya Prims sedikit panik, Profesor Mashe hanya menunjukkan senyum kecilnya.âPokoknya begitu.â Jawabannya yang abu-abu membuat Arley menoleh pada Prims dengan salah satu alisnya yang terangkat seolah bertanya, âApa maksudnya itu?â Tetapi tanggapan yang diberikan oleh Prims kepada Arley juga sama abu-abunya karena dia hanya melemparkan seulas senyum tipis yang tak dia ketahui maknanya. Jika suara Profesor Mashe tak terdengar lagi, Arley mungkin bisa memandang Prims sepanjang sisa malam ini.âKita bertemu lagi,â ucap Profesor Mashe kemudian juga mengajak Arley berjabatan tangan.âIya, Prof. Senang
Selama beberapa menit berjalan, keheningan telah mengambil alih ruangan dan menyergap mereka. Tak ada yang menyangka akan ada âsaksi hidupâ dari pembuatan lukisan beraliran romantisme karya Rosefiore yang sedang dipamerkan di antara mereka itu.Kubu-kubu yang terbelah menjadi dua sepertinya kini beralih pendapat dengan merapatkan barisan mereka ke arah percaya pada apa yang disampaikan oleh Arley.Mata penuh selidik dan penghakiman yang membuat Alice bergerak tidak nyaman. Dia seperti tak tahu bagaimana harus bersikap atau membawa dirinya.Dia berdiri kaku di sisi Katie. Kedua tangannya kebas di samping kanan dan kiri tubuhnya, meremas gaun malam warna hitam yang dia kenakan lengkap dengan senyum yang dia paksakan.Dia menghela napasnya sebanyak beberapa kali dengan gusar sebelum memandang Arley dan menjelaskan, âIni adalah lukisan yang terinspirasi dari pasangan yang aku lihat diââ kalimatnya terhenti di tengah jalan.Hal itu bukan tanpa alasan karena lawan bicaranya terlihat tak sud
âAstaga ... dia juga menyuap professor Mashe untuk mengatakan bahwa dia adalah Rosefiore?â bisik salah seorang perempuan yang berdiri sedikit di belakang Prims. Suara lain menyebut jika Alice, adik tirinya itu adalah wanita yang membentuk dirinya memiliki citra yang manis dan anggun padahal berhati jahat, âLuar biasa ... dia mengakui hasil karya orang lain dengan cara yang sangat menjijikkan.â âUntuk apa cantik kalau hatinya jahat begitu?â sambung sebuah suara yang lain dan itu dibenarkan oleh beberapa pria yang ada di antara mereka juga, âAku tidak akan menjadikan wanita sepertinya sebagai istri.â âBenar, dia sangat manipulatif.â âHarusnya dia pintar sedikit kalau bohong. Bagaimana bisa wanita tak berbakat sepertinya mengklaim dan mengaku dirinya adalah Rosefiore?â tanya suara pria yang disambut oleh suara tawa yang penuh dengan ejekan. Mendengar segala cacian itu singgah di indera pendengarnya membuat Alice tak bisa bergerak. Tangannya terasa kaku menggenggam paper bag berisi ua
Mereka menunggu Prims, apa yang akan dia lakukan saat dia dihadapkan pada seorang gadis belia yang memelas dan meminta maaf atas kelancangannya untuk sudah mengakui hasil karya miliknya.âKau dengar tadi dia memanggil nona Rosefiore sebagai âkakakâ?â tanya sebuah suara yang muncul setelah Alice berbicara.âIya, jadi mereka berdua bersaudara?â suara yang lain menimpalinya dengan segera. Bisikan kembali terdengar, memperbincangkan hubungan antara Prims dan Alice yang bersaudara. Dari yang lirih perlahan menjadi bising.âKak Prims,â panggil Alice dengan suaranya yang gemetar. Entah apakah itu sungguh-sungguh karena sebuah sesal, ataukah dia sedang membangun citra seolah dirinya adalah gadis yang lemah sehinga mau tak mau Prims harus memaafkannya.Prims memandang Alice yang bibirnya bergerak tanpa suara, kemudian memandang Arley yang kedua alisnya terangkat. Jika terlahir dalam bentuk kalimat, pria itu pasti sedang mengatakan, âkamu yang memutuskan, Primrose!âPrims menghela napasnya. Dia
âKenapa kamu tidak mau menjawabku Alice?!â desak Katie dengan kedua tangannya yang sesegera mungkin diraih oleh sang suami, Tom Miller. Sebab jika pria itu tak lakukan hal tersebut, kedua tangan istrinya itu bisa saja merusak rambutnya yang tersanggul dengan rapi atau malah mencakar Alice.Katie berpikir dalam hati, âPantas saja Profesor Mashe memberikan respon yang dingin kepadanya, semua itu beralasan.âNamun, alih-alih menjawab tanya dari Katie, Alice malah sibuk dengan kebisuan yang dia suguhkan. Bukan kata yang terucap melainkan air matanya yang jatuh.Dan hal itu membuat Katie merasakan frustrasi yang luar biasa. Dia menghentakkan kakinya dengan kesal sesaat sebelum memutuskan untuk pergi dari sana setelah menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Tom. "Lepas!" sentaknya seraya beringsut pergi.Dia berjalan meninggalkan Alice yang berdiri terpancang tak bisa bergerak di tempatnya. Langkahnya yang gusar melewati Prims dan juga Arley yang melihat beliau meninggalkan ruang pam
âKenapa kamu tidak menjawabku?â tanya Prims sebab Arley hanya memberikan keheningan yang rasanya akan membekukan ruangan dan juga jatuhnya air hujan yang ada di luar.Prims menatap matanya, berharap pria itu menyangkalnya agar ia tak perlu memiliki kebencian padanya. Namun, bukan jawaban yang diberikan Arley, melainkan nihil suara yang menumbuhkan rasa jenuh bagi Prims.Dia menggerakkan kakinya, mengajaknya enyah dari hadapan Arley. Langkahnya terasa gamang saat dia tiba di luar ruangan. Kala tubuhnya hampir saja diguyur jatuhnya air hujan, dia berhenti saat panggilan Arley yang singgah di indera pendengarnya.âPrimrose.ââBarangkali dia telah memutuskan untuk menjawab,â setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Prims sehingga dia memutar tubuhnya. Manik mata mereka saling bertemu kembali, Prims bisa menjumpai badai yang besar di dalam iris kelamnya.âPrimrose,â panggil Arley sekali lagi, tangannya mengarah ke depan, meraih Prims agar satu jarak lebih dekat kepadanya sebab tempias hujan
Hanya genangan darah yang hari itu disaksikan oleh Prims. Tujuh tahun silam, kenangan itu masih menghantuinya hingga kini. Meski samar bayangannya coba ia tepis ribuan kali dan acapkali berhasil, tetapi luka akan kematian Jasmine, ibunya tetap saja meninggalkan bekas. Ribuan hari terlewati, darahnya yang meluap di bawah hujan hari itu sering kali memasuki mimpinya. Merah pekat yang tak bisa menjadi pembeda antara yang gelap dan yang terang, yang nyata atau fatamorgana, dalam sadar atau dalam terlelapnya. Satu windu hampir genap dengan dia yang perlahan terlena dengan sibuknya dunia dan memungkiri kematiannya masihlah menyisakan misteri. Berita yangâduluâsetiap harinya dia tunggu dengan harapan dia tahu siapa yang menyebabkan mobil ibunya terbalik di persimpangan, lambat laun telah lenyap. Prims yang saat itu masih muda telah berpikir bahwa pelakunya tak pernah dihukum karena pelan-pelan tenggelam seiring bertambahnya tahun. Hanya satu wajah yang tak akan bisa dilupakan oleh Prims
Prims terjebak dalam situasi yang tak menguntungkannya sebab dia sedang berada di tempat yang asing bersama dengan pria tak dikenal. Dia mencoba melepaskan diri tetapi rasanya tidak berhasil. Barulah saat mereka tiba di dekat gang tak berpenghuni yang dekat dengan pemakaman dia dilepaskan. Telapak tangan pria yang tadi membungkam bibirnya sekarang tak lagi berada di sana, tetapi sebagai gantinya, tubuhnya jatuh terhempas di atas rerumputan basah yang tak jauh dari pagar pembatas gang tersebut dengan pemakaman di sebelah baratnya. Napas Prims terengah, otot di jantungnya menegang hingga terasa sakit saat membayangkan hal paling buruk yang akan dia terima pada pagi celaka ini. Matanya mengedarkan pandang pada tiga pria bertubuh kekar yang berdiri mengelilinginya yang sedang duduk dengan tak berdaya. Hujan yang mengguyurnya membuat jarak pandangnya mengalami keterbatasan. Namun satu hal yang bisa dipastikan oleh Prims, tak ada seorang pun di antara mereka bertiga yang dikenalnya. âS-