Mereka menunggu Prims, apa yang akan dia lakukan saat dia dihadapkan pada seorang gadis belia yang memelas dan meminta maaf atas kelancangannya untuk sudah mengakui hasil karya miliknya.“Kau dengar tadi dia memanggil nona Rosefiore sebagai ‘kakak’?” tanya sebuah suara yang muncul setelah Alice berbicara.“Iya, jadi mereka berdua bersaudara?” suara yang lain menimpalinya dengan segera. Bisikan kembali terdengar, memperbincangkan hubungan antara Prims dan Alice yang bersaudara. Dari yang lirih perlahan menjadi bising.“Kak Prims,” panggil Alice dengan suaranya yang gemetar. Entah apakah itu sungguh-sungguh karena sebuah sesal, ataukah dia sedang membangun citra seolah dirinya adalah gadis yang lemah sehinga mau tak mau Prims harus memaafkannya.Prims memandang Alice yang bibirnya bergerak tanpa suara, kemudian memandang Arley yang kedua alisnya terangkat. Jika terlahir dalam bentuk kalimat, pria itu pasti sedang mengatakan, ‘kamu yang memutuskan, Primrose!’Prims menghela napasnya. Dia
“Kenapa kamu tidak mau menjawabku Alice?!” desak Katie dengan kedua tangannya yang sesegera mungkin diraih oleh sang suami, Tom Miller. Sebab jika pria itu tak lakukan hal tersebut, kedua tangan istrinya itu bisa saja merusak rambutnya yang tersanggul dengan rapi atau malah mencakar Alice.Katie berpikir dalam hati, ‘Pantas saja Profesor Mashe memberikan respon yang dingin kepadanya, semua itu beralasan.’Namun, alih-alih menjawab tanya dari Katie, Alice malah sibuk dengan kebisuan yang dia suguhkan. Bukan kata yang terucap melainkan air matanya yang jatuh.Dan hal itu membuat Katie merasakan frustrasi yang luar biasa. Dia menghentakkan kakinya dengan kesal sesaat sebelum memutuskan untuk pergi dari sana setelah menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Tom. "Lepas!" sentaknya seraya beringsut pergi.Dia berjalan meninggalkan Alice yang berdiri terpancang tak bisa bergerak di tempatnya. Langkahnya yang gusar melewati Prims dan juga Arley yang melihat beliau meninggalkan ruang pam
“Kenapa kamu tidak menjawabku?” tanya Prims sebab Arley hanya memberikan keheningan yang rasanya akan membekukan ruangan dan juga jatuhnya air hujan yang ada di luar.Prims menatap matanya, berharap pria itu menyangkalnya agar ia tak perlu memiliki kebencian padanya. Namun, bukan jawaban yang diberikan Arley, melainkan nihil suara yang menumbuhkan rasa jenuh bagi Prims.Dia menggerakkan kakinya, mengajaknya enyah dari hadapan Arley. Langkahnya terasa gamang saat dia tiba di luar ruangan. Kala tubuhnya hampir saja diguyur jatuhnya air hujan, dia berhenti saat panggilan Arley yang singgah di indera pendengarnya.“Primrose.”‘Barangkali dia telah memutuskan untuk menjawab,’ setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Prims sehingga dia memutar tubuhnya. Manik mata mereka saling bertemu kembali, Prims bisa menjumpai badai yang besar di dalam iris kelamnya.“Primrose,” panggil Arley sekali lagi, tangannya mengarah ke depan, meraih Prims agar satu jarak lebih dekat kepadanya sebab tempias hujan
Hanya genangan darah yang hari itu disaksikan oleh Prims. Tujuh tahun silam, kenangan itu masih menghantuinya hingga kini. Meski samar bayangannya coba ia tepis ribuan kali dan acapkali berhasil, tetapi luka akan kematian Jasmine, ibunya tetap saja meninggalkan bekas. Ribuan hari terlewati, darahnya yang meluap di bawah hujan hari itu sering kali memasuki mimpinya. Merah pekat yang tak bisa menjadi pembeda antara yang gelap dan yang terang, yang nyata atau fatamorgana, dalam sadar atau dalam terlelapnya. Satu windu hampir genap dengan dia yang perlahan terlena dengan sibuknya dunia dan memungkiri kematiannya masihlah menyisakan misteri. Berita yang—dulu—setiap harinya dia tunggu dengan harapan dia tahu siapa yang menyebabkan mobil ibunya terbalik di persimpangan, lambat laun telah lenyap. Prims yang saat itu masih muda telah berpikir bahwa pelakunya tak pernah dihukum karena pelan-pelan tenggelam seiring bertambahnya tahun. Hanya satu wajah yang tak akan bisa dilupakan oleh Prims
Prims terjebak dalam situasi yang tak menguntungkannya sebab dia sedang berada di tempat yang asing bersama dengan pria tak dikenal. Dia mencoba melepaskan diri tetapi rasanya tidak berhasil. Barulah saat mereka tiba di dekat gang tak berpenghuni yang dekat dengan pemakaman dia dilepaskan. Telapak tangan pria yang tadi membungkam bibirnya sekarang tak lagi berada di sana, tetapi sebagai gantinya, tubuhnya jatuh terhempas di atas rerumputan basah yang tak jauh dari pagar pembatas gang tersebut dengan pemakaman di sebelah baratnya. Napas Prims terengah, otot di jantungnya menegang hingga terasa sakit saat membayangkan hal paling buruk yang akan dia terima pada pagi celaka ini. Matanya mengedarkan pandang pada tiga pria bertubuh kekar yang berdiri mengelilinginya yang sedang duduk dengan tak berdaya. Hujan yang mengguyurnya membuat jarak pandangnya mengalami keterbatasan. Namun satu hal yang bisa dipastikan oleh Prims, tak ada seorang pun di antara mereka bertiga yang dikenalnya. “S-
Ben lah yang membentur nisan salib berukuran tinggi itu. Dia mengaduh kesakitan karena memang lelaki itu seperti melayang akibat tendangan kaki seorang pria yang datang dari antah berantah dan menggagalkan rencana mereka untuk membuat Prims ternodai. Sedang Cal yang tadinya berada di dekatnya tiba-tiba tertarik menjauh, pria itu berteriak saat jatuh terperosok pada area pemakaman yang jauh lebih rendah. Prims meraba tanah di sekitarnya, jemarinya mendapatkan sebuah balok kayu yang dia akan dia gunakan sebagai senjata seandainya Matt, satu lelaki yang tersisa itu akan mendekat kepadanya. Tetapi itu tak berguna sebab Matt memiliki nasib yang sama dengan dua orang sebelumnya. “SIAL!” umpatnya setelah dia baru saja merasakan kepalanya beradu kuat dengan nisan tak jauh dari Ben berlutut dan mencoba bangkit. Prims masih tak bisa menemukan wajah pria yang menolongnya itu dengan jelas, matanya terhalang jarak, retinanya tak bisa mengenali siapa pria tinggi menjulang yang bergerak dengan pa
Sudah berapa jam Prims tak sadar? Rasanya sudah terlalu lama.Saat matanya terbuka, Ia menatap langit-langit kamar yang tidak asing, selimut yang hangat dan bau wangi ruangan yang memenuhi indera penciumannya. Ranjang ini, Prims juga tahu betul milik siapa. Ranjang milik Arley.Memutar ingatannya sebentar ke belakang, hal terakhir yang dia ingat di bawah mendung kelam dan hujan lebat saat itu adalah kedatangan Arley. Pria itu memberikan jasnya dan mengangkatnya pergi. Dan ke mana pemberhentiannya, bukankah Prims tak perlu bertanya akan di bawa ke mana dia?Ke tempat inilah jawabannya, kembali ke rumahnya.Ia meraba keningnya yang saat itu berdarah telah terbalut oleh kapas dan plester yang terasa nyaman. Luka yang dia terima pasti telah mendapatkan perawatan.Pakaiannya pun sudah bukan pakaian yang ia kenakan terakhir kali. Seseorang pasti menggantinya. 'Siapa yang melakukan ini semua?' tanyanya pada diri sendiri, matanya memandang jendela yang kelambunya masih terbuka. Tempias hujan
“Bukan maksudku untuk membuatnya seperti ini, Primrose. Maaf,” ucap Arley dengan kepala yang tertunduk. Prims menatap kedua tangannya yang terkepal, suara baritonnya yang terbiasa tegas dan mengintimidasi sekarang tidak terdengar demikian. Prims tahu jika pria ini pun juga sedang berada pada fase dilema antara harus mengatakan kejujuran ataukah merahasiakannya dari Prims. “Aku menikah denganmu bukan hanya karena ingin menebus kesalahan di masa lalu saja,” ucapnya perlahan mengangkat pandangan. “Aku tahu kamu berada di keluarga yang tidak melihatmu dan memperlakukanmu dengan buruk,” katanya dengan alis tegasnya yang tertaut dan dibubuhi oleh rasa bersalah. “Aku tidak ingin melihatmu tersiksa di sana sehingga mencari cara untuk membawamu pergi. Aku pikir, setidaknya dengan kamu hidup di sini bersamaku tidak akan membuatmu seperti itu lagi.” Prims tersenyum getir. Apa yang dikatakan oleh Arley tidak salah. Dia memang membawa Prims terbebas dari keluarga yang telah mematahkan hatinya b