Krishna memasuki kantor Athena Corporation bersama Farel. Keduanya disambut tatapan sinis para karyawan yang memang terkenal judesnya.
“Selamat siang. Kami dari PT Sanjaya dan K2 Company, ingin bertemu dengan CEO. Apa beliau ada?”Krishna berusaha tersenyum pada wanita yang kebetulan berbincang dengan beberapa orang. Namun, senyuman itu hanya dibalas tatapan.“Hari ini CEO ada rapat sampai sore, tidak bisa diganggu. Silakan kembali Minggu depan,” ujar seorang wanita, memerhatikan ponsel setelah memberi perintah pada yang lain untuk pergi.“Apa? Minggu depan? Lama sekali.” Farel mengeluh. Ia tak punya banyak waktu untuk segera mendapatkan kerja sama dengan Athena Corporation sesuai kesepakatan.“Memang kau siapa? Kau CEO di tempatmu bekerja?” Wanita itu meneliti setiap ekspresi Krishna dan Farel yang langsung gelagapan.“Ah, ti-tidak. Kami hanya Sekretaris,” jawabnya, meringis. Wanita itu langsung pergi tanpa bicara laAilyn melangkah bersama Hadid memasuki restoran tempat reuni diadakan. Beberapa orang sudah pun berkumpul dan menikmati hidangan yang disediakan. “Hai, Ailyn!” Seorang wanita melambaikan tangan. Ailyn pun membalasnya sembari mempercepat langkah. “Wah, kau makin cantik, ya,” puji wanita itu. “Tentu. Dia kan model.” Temannya ikut menimpali, bergantian memeluk. “Ah, kalian bisa saja.” Ailyn tersenyum lebar. Dilihatnya Hadid berbincang bersama para pria yang rata-rata sudah memiliki pasangan. “Kau sudah punya anak, Lina?” tanya Ailyn pada wanita yang tadi memujinya. “Iya. Sudah dua, malah. Mereka ikut Papanya. Aku kan ... bercerai.” Lina melekatkan jari pada bibir. Ailyn hanya mengangguk, baru tahu sebab sudah lama tak bertemu. Acara reuni ini pun diketahuinya saat membuka laman media sosial. Diadakan oleh seorang pria yang sukses memimpin perusahaan. Entah siapa, Ailyn belum tahu. “Kalau kau bagaiman
Alex memukul anak buahnya yang kedapatan melalaikan tugas sampai nyaris ditangkap polisi. “Bodoh!” Alex memelototi. Pria yang kini lebam itu meringis saat Alex menendang kakinya dengan keras. “Kau sudah membuat keberadaan kami tidak aman. Akan lebih baik kalau kau dihabisi,” katanya, meremas kerah. “Ja-jangan , Bos! Maafkan aku. A-aku akan mengatasi semua,” lirihnya, ketakutan. Alex tak peduli. Siapa pun yang sudah membahayakan pekerjaannya, maka mati adalah balasan. Tidak ada ampun bagi yang bersalah. Alex mengambil pistol dari balik punggung dan mengarahkannya pada dahi pria itu. “Bos, jangan!” Lusi mendekat. “Katakan padaku, siapa yang tahu kau mengirim narkoba? Cepat!” Alex tak mengindahkan Gandhi dan Lusi yang berusaha mencegah. “A-aku tidak tahu, Bos. Dia ... dia hanya mengintai dari jauh. Aku yakin, dia tidak tahu siapa aku,” jawabnya. “Ya, ya. Jangankan dia, seluruh dunia juga tak akan tah
Karan memasuki rumah Alex dengan tergesa-gesa. Kaki panjangnya berlari menaiki tangga menuju ke kamar, di mana pintunya terbuka. “Kiran!” Karan berhenti ketika melihat Alex mencoba membuka pintu kamar mandi. Pria itu menoleh, dengan tatapan kesal. Perlahan Karan mendekat. Diaturnya napas yang sejak tadi memburu. Panik, ditambah berlari membuatnya bernapas tersengal. “Bagaimana?” bisiknya. Alex menaikkan pundak. Bisa saja dia mendobrak pintu agar Kiran keluar. Namun, itu terlalu beresiko. Bisa jadi nanti Kiran semakin takut padanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Karan ikut menguping dengan mendekatkan telinga pada pintu. “Kiran melihatku menembak seseorang.” Alex memelankan suara, setengah berbisik. “Dasar! Ceroboh sekali!” gerutu Karan, yang malah membuat Alex berdecak. “Kau ke sini untuk membantu mengeluarkan Kiran, atau memarahiku? Aku ini Ayah tirimu. Setidaknya, begitu kenyataannya.” Bahu Alex sedikit
Ailyn turun dari mobil Bima. Wanita itu merasa resah, mengingat apa yang mereka bicarakan di rumah pohon tadi. Bisa-bisanya Bima menawarkan kesepakatan tak masuk akal. Asal dia kembali pada Bima, maka kontrak kerja sama dengan Karan akan berjalan lancar. “Titip salam pada suamimu, minta dia temui aku besok di kantor,” ujar Bima, menurunkan kaca mobil. Ailyn menoleh, tak menjawab. Dilihatnya Bima mengedipkan sebelah mata padanya, terkesan sangat nakal. “Kau ... tidak akan macam-macam dengannya, kan?” Ailyn mendekat. Pria itu menaikkan pundak, meminta sopir untuk segera pergi. “Kalau kau berani macam-macam padanya, aku akan membuat perhitungan!” teriak Ailyn. Ia menghentakkan kaki, merasa sangat kesal. Sesaat dicobanya mengatur napas. Dirasa tenang, Ailyn berbalik menatap rumah mewah itu. Apa pun yang akan dikatakan nanti, dia harus berbicara sebaik mungkin agar Karan tidak marah. Kala hendak melangkah, menda
"Sayang, kau mau bilang apa? Jangan membuatku mati penasaran.” Karan sudah tak sabar menunggu penjelasan. “Begini. Sebenarnya, ada temanku yang namanya Bima. Dia ... dia ternyata CEO Athena Corporation,” ujarnya, memulai dengan memberi tahu hal yang juga baru diketahuinya. “Apa? Dia temanmu? Kenapa kau baru bilang sekarang?” Karan membetulkan posisi duduk sampai Ailyn bersandar padanya. “Aku baru tahu tadi. Kami sudah lama tak ada komunikasi,” lirihnya. Jelas mustahil memberi tahu Karan bahwa Bima yang sama juga adalah mantannya yang masih berharap. “Lalu? Apa yang kau takutkan sampai memintaku untuk tidak marah?” Karan mengecup pundak Ailyn dengan keras hingga wanita itu melonjat kaget. “Dia menawarkan kesepakatan kerja dengan syarat aku harus kembali padanya, maka kontrak kerja itu akan disetujui.” Ailyn bicara lewat mata, sedangkan bibirnya kelu. “Apa? Kenapa menatapku?" Karan menyandarkan kepala pada leher sang is
Karan menemui Farel di ruangannya. Pria itu langsung pucat saat Karan melempar surat kontrak tepat mengenai wajah sang adik tiri. Gelagapan Farel menangkap. Kepalanya tertunduk, tak bisa berkata-kata. Gagal sudah ia mendapatkan kontrak dengan Athena Corporation. “Kau ingat apa yang aku katakan waktu itu? Kalau kau tidak bisa mendapatkan kontrak, maka kau akan kupecat!” Karan berkacak pinggang memerhatikan Farel. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bisa. Saya sudah berusaha untuk membujuk, tapi Tuan Bima rupanya sukar diajak kompromi,” jawab Farel, memerhatikan surat kontrak. “Alasan! Kau saja yang tidak becus! Mulai sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan lagi Sekretaris perusahaan sejak saat ini.” Karan berbalik, tapi urung untuk keluar. “Apa? Kenapa mendadak? Tidak bisa seenaknya. Aku banyak membantu perusahaan ini. Kau hanya CEO, bukan pendiri atau pemilik utama perusahaan ini.” Kalimat yang Farel lontarkan kepada Karan
Farel membawa kardus berisi barang-barang yang akan dipindahkan. Beberapa karyawan menatapnya, lalu berbisik-bisik. “Apa lihat-lihat!” Farel tampak tak suka diperhatikan. Langkahnya semakin cepat menuju ke ruangan lain. “Kenapa dengannya?” Karyawan pria memerhatikan pintu ruangan yang ditutup dengan kasar. “Aku dengar, Tuan Karan menurunkan posisi Tuan Farel dari Sekretaris menjadi karyawan biasa. Kau dengar dia korupsi, kan?” Wanita muda berkacamata bicara. “Oh, itu. Tuan Karan baik, ya. Kalau aku jadi CEO, sudah kupecat dan kupenjarakan dia,” kata pria itu. Wanita tadi membenarkan. Mereka berpikir Karan masih berbaik hati karena Farel adalah keluarganya. Meski berbuat salah, akan selalu ada kata maaf bagi keluarga. Jika tidak melihat dari sisi kekeluargaan, sudah tentu Karan tidak menyiapkan ruangan, melainkan membiarkannya bekerja bersama karyawan lain di ruangan terbuka. “Sialan!” Farel terlihat marah.
“Se-selingkuh? Tidak, Karan. Dengarkan penjelasanku dulu.” Ailyn menggelengkan kepala, masih dengan kedua tangan menggenggam tangan Karan. “Kau masih akan menyangkal saat aku melihat dengan mataku sendiri?” Karan memelototi. Memutih mata itu, menandakan ia sangat marah. “Tenang, Tuan. Kita selesaikan ini dengan baik-baik,” bujuk Jovan. Beberapa karyawan masih memerhatikan dengan tanda tanya. Baru kali ini ada keributan di Athena Corporation sampai ada yang mengamuk. “Kenapa kalian masih di sini? Kembali ke tempat kalian masing-masing. Tidak terjadi apa-apa. Ini hanya salah paham saja,” kata Bima. Sontak semua karyawan mulai meninggalkan tempat itu. Suasana masih tegang saat Bima mendekati Karan yang tak bisa menahan diri. Pria itu hendak memukul, tapi Bima hanya tenang. Senyum merekah malah ditampilkan. Bagi Karan, senyuman itu seolah-olah mengejeknya. “Beraninya kau!” Karan mulai berang. “Kau tidak us