Tengah malam, berteman guyuran hujan, Alex keluar dari mobil menuju ke rumah Ailyn. Dia hanya berdua dengan Gandhi.
Tok tok tok!Pria itu mengusap dagu, menunggu pintu dibuka.“Iya, sebentar.” Mohan menjawab dari dalam. Sewaktu pintu dibuka, Mohan sudah dengan ancang-ancang akan marah.Melihat siapa yang datang, ia langsung berubah. “Tuan di sini? Apa Ailyn belum ketemu?” tanyanya, memerhatikan tubuh Alex yang basah.“Karan pasti menyembunyikannya.” Alex mengusap pundaknya yang basah.“Mari, masuk.” Mohan membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi kedua tamu untuk masuk dan duduk.“Tak ada waktu lagi. Terpaksa pernikahannya kita tunda dulu sampai aku pulang dari Bangladesh. Semua tak sesuai rencana.”Alex memerhatikan rumah sederhana itu. Baru kali ini dia bisa masuk dan duduk dengan sedikit santai.“Yaahhh ... mau bagaimana lagi? Aku sih, terserah Tuan saja. Apa tidak sebaiknya Tuan bawaAilyn memasuki perusahaan dengan senyum merekah. Rok selutut berwarna ungu dan kemeja putih membuat kulit putihnya semakin cerah. “Kau sudah datang?” Geri membuka kacamata, merenung tepat pada kaki Ailyn. “Kenapa jalanmu pincang?” Geri heran melihat Ailyn berjalan. Itu pun hanya mengenakan sandal jepit berwarna hitam. “Sedikit terluka, Mas. Eh, Tuan. Terkena pecahan kaca,” jawab Ailyn, ikut memerhatikan kaki. “Hidupmu dipenuhi masalah, ya? Waktu itu kepala, sekarang kaki. Ya sudah, kau ikut aku. Tadinya syuting ditunda, tapi tak apa-apalah.” Ailyn hanya tersenyum mengikuti. Rambutnya yang dikucir membuat wajah ovalnya kian terlihat jelas. Wanita itu mengikuti Geri memasuki ruang syuting. yang bernuansa putih dan dipenuhi deretan pakaian. “Hari ini kau syuting iklan parfum KizBlizt. Ini parfum lama yang diperbarui.” Geri menyerahkan parfum berukuran sedang pada Ailyn. "Apa aku harus ganti baju dan
Alex, Marina, juga Kiran sampai di Bangladesh dengan selamat. Pria itu memaksakan diri untuk terlihat bahagia di depan istrinya.“Papa, ini rumah siapa?” Kiran yang terus memeluk boneka, mengamati seluruh isi rumah minimalis itu.“Ini ... rumah teman Papa. Kita diizinkan menginap di sini selama yang kini mau,” jawab Alex, lantas mengajak keduanya menuju ke kamar.‘Huh! Ini harusnya menjadi rumahku dan Ailyn untuk bulan madu,' gerutu Alex. Rencana yang sudah sekian lama dirancang, terpaksa dikesampingkan.“Bagus sekali. Aku jadi ingin lebih lama tinggal di sini,” ucap Marina, meletakkan koper di sudut ruangan.“Kapan Gandhi dan yang lain menyusul? Mas serius kan, tidak menjual wanita atau anak-anak?” Marina meremas jemari.Membayangkan suaminya tega menjual manusia rasanya akan membuatnya tak sanggup berdiri dengan tegak.“Tentu tidak, Sayang. Aku masih punya hati nurani.” Alex mengelus kepala Marina yang su
Farel membawa Ailyn ke salah satu restoran mewah di pusat kota. “Kau pernah ke sini?” tanyanya. “Tidak, Tuan.” Ailyn mengamati ruangan luas yang lumayan menarik. Dia dapat melihat dengan jelas ke arah luar sebab hampir seluruh ruangan didominasi kaca. “Kau suka tempat ini?” Farel memanggil pelayan dengan isyarat tangannya. “Tidak juga.” Ailyn sedikit merapikan rambutnya. Memang berkelas, tapi dirasa tidak cocok dengan model sepertinya yang baru bangkit lagi. “Loh, kok aneh? Ini restoran bintang lima, loh. Hanya segelintir orang yang ke sini. Itu pun hanya dari kalangan menengah ke atas.” Farel seolah ingin Ailyn bangga bisa diajak ke tempat itu. “Itulah yang kurang menarik. Aku merasa lebih suka makanan di pinggir jalan yang lebih terjangkau.” Ailyn menarik napas, teringat Hadid yang tak kunjung kembali. Farel hanya mengerakkan bibir, mempersilakan wanita itu untuk memesan. Beberapa saat berlalu .... F
"Karan!” Ailyn menarik sekuat tenaga agar pria itu menoleh. “Apa!” Karan berkacak pinggang dengan ekspresi cukup seram, tapi malah terlihat lucu di mata Ailyn. “Kau ini! Coba dengarkan aku dulu!” Ailyn ikut meninggikan suara. Pria itu bergeming. Tangannya menopang pada pinggiran tangga menuju ke lantai bawah. “Ya, kau benar. Semalam aku makan malam bersama Tuan Farel. Itu karena aku merasa tidak enak menolak. Dia anak tiri pemilik perusahaan ini.” Ailyn yang coba menjelaskan, malah dibuat salah tingkah dengan jawaban Karan. “Oh, jadi kau mau makan dengannya karena dia anak tiri pemilik perusahaan ini, begitu? Kau menolakku hanya karena aku karyawan?” Karan menunjuk diri sendiri. Tak pernah terpikirkan oleh Karan bagaimana cara Ailyn berpikir. Apa jangan-jangan dia sama seperti yang Yunita katakan? Mendekati dengan sebuah tujuan? “Kau salah. Aduhhh!” Ailyn mengacak rambutnya yang kini mulai b
“Kau tenang saja. Kan ada aku. Kita lewati ini bersama, ya. Tolong, anggap aku sebagai pria dewasa, bukan pria 25 tahun yang lebih muda darimu,” pinta Karan. “Aku akan mencoba.” Ailyn menjawab dengan senyuman. “Hei, kau makan es krim habis berapa?” tanya Karan. “Kenapa?” Ailyn balik bertanya. “Senyummu jadi lebih manis dari es krim ini. Jangan-jangan kau menyedot rasa manisnya, lalu kau jadikan senyuman, ya?” goda Karan. “Kau ini bisa saja!” Ailyn mendorong tubuh Karan pelan. Keduanya sama-sama tertawa, tak menyadari sepasang mata mengamati. Sedangkan dari kejauhan, Mohan mengawasi. “Tuan akan pulang Minggu depan? Baiklah. Aku sedang menjaga Ailyn. Apa? Oh, pernikahan.” Mohan manggut-manggut, mengatakan Ailyn akan siap dinikahi, kalau waktunya sudah dekat. "Semua bisa diatur." Pria itu tersenyum. Tanpa sengaja matanya beradu dengan mata Ailyn yang kebetulan melihat. “Ayah?” Wanita itu bangkit saat mendap
Alex bergegas memasuki rumah. Dimintanya semua anak buah membereskan sisa barang yang belum dikirim.“Masukkan ke dalam kotak kecil! Jangan sisakan satu pun barang bukti!” Alex memberikan pengarahan.“Siap, Bos!” Gandhi memimpin semua, mulai membereskan apa yang seharusnya mereka bawa.“Mas, apa yang belum dikirim? Bukannya senjata-senjata sudah dipasok?” Marina ikut membantu memasukkan pakaian ke dalam koper.“Obat-obatan. Jenis baru,” jawab Alex, memeriksa sisa barang di lemari.“Apa? Mas! Kalau kita ditangkap polisi, bagaimana? Kau tidak memikirkan Kiran?” Marina mengusap mulut.“Bukannya aku sudah mengatakan ini sebelumnya? Kalau kau dan Kiran ikut, kemungkinan ini akan terjadi.” Alex menyalahkan istrinya.Marina mendengus. Dilihatnya Kiran tertunduk sedih duduk di sofa memeluk boneka. Baru juga menikmati liburan, sekarang sudah mendapat masalah.“Kita harus meninggalkan Bangladesh hari ini j
“Hari ini kau libur, bisa bantu Ayah di pasar?” tanya Mohan. Sejak kemarin ia bersikap lunak pada anaknya yang malah terkesan mencurigakan. “Kalau sudah mencuci baju, aku akan menyusul.” Ailyn menjawab sambil mencuci piring selepas sarapan. “Bagus! Oh, ya. Apa Tuan Alex menghubungimu? Entah kapan dia pulang, belum mengabari.” Mohan memakai jaket hitam di dekat Ailyn. “Tidak. Aku memblokir nomornya.” Ailyn mengelap tangannya yang basah. “Astaga! Kau memang anak tak berguna!” Mohan memukul kepala Ailyn dengan sendok. “Apa sih, Ayah?” Ailyn beranjak keluar dari dapur, diikuti Mohan. Tit tit! Keduanya menoleh ke arah luar, di mana terlihat seorang pria turun dari mobil. “Eh, sudah datang.” Mohan tersenyum lebar, menyambut tamunya. Sesaat Ailyn memerhatikan sembari mengelap meja dengan kemoceng. Tampak ayahnya memeluk pria itu sambil menepuk pundaknya. Ada yang tak beres, pikir Ailyn.
Karan optimis ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan simpati Mohan. Siapa tahu dengan demikian, Mohan akan melunak dan mengizinkannya bersama Ailyn. Mungkin juga akan membatalkan rencana pernikahan sepihak itu. “Halo, Karan! Halo!” Ailyn mengecilkan suaranya. “Kalau kau ke sini hanya untuk menjadi beban, pergi sana! Membantuku saja tidak becus! Dengan siapa kau bicara?” Mohan meletakkan kardus apel di dekat kakinya. Melihat perubahan ekspresi wajah Ailyn sudah cukup memberi tahu bahwa ada masalah. “Kau membuka blokir nomor Tuan Alex?” tanyanya, menoleh. “Ti-tidak, Ayah. I-ini dari kantor. Besok aku harus datang lebih awal, katanya. Ha-harus mencari manager.” Ailyn meringis, memaksakan diri untuk tersenyum. “Oh, ya? Manager? Bagaimana kalau Ayah saja yang jadi managermu? Wah, ini ide bagus.” Mohan tampak antusias. Ailyn hanya memejamkan mata, bingung dengan situasi ini. Bukannya keluar dari