“Oh, hai. Kamu juga lembur?”Cantika berhenti melangkah dan menoleh, mendapati Miko ada di belakangnya. Senyum menghias wajah lelah pria itu.“Iya. Udah makan, Mik?”Miko kemudian menyamakan langkah di sebelahnya. Sama-sama menyusuri lorong untuk menuju ke unit apartemen mereka. “Udah tadi, sama mamaku. Kamu?”Dengan senyum cerah, Cantika menjawab, “Aku juga udah. Besok aku aja yang siapin sarapan.” Memeluk lengan Miko dan menyandarkan kepala di sana.Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di depan pintu. Cantika masih menempel, sementara Miko menekan kode akses pintu.“Ada angin apa?” canda Miko mengelus puncak kepalanya.Cantika melepaskan lengan Miko untuk meloloskan sepatu dari kakinya dan meletakkan ke rak sepatu. “Kasian kamu. Capek-capek dobel kerja, masa disuruh siapin sarapan juga di rumah. Sekali-sekali aku aja, kan aku istrinya.”Miko juga melakukan hal serupa. Tapi saat ia ingin mengangkat sepatunya, Cantika sudah mengambil alih dan memasukkannya ke rak lebih dulu.“Tau ng
Tidak mugkin.Mustahil.Sekujur tubuh Cantika menjadi kaku saat melihat surat perjanjiannya terpampang di layar komputer Ben. Matanya mendadak terasa panas.“Aku tau, ini tulisan kamu,” kata Ben lagi.Cantika pucat pasi mengutuk kecerobohannya. Dia baru saja menggali kuburannya sendiri dengan menyertakan surat pernjanjiannya dengan Miko ke dalam folder yang dikirimnya pada Ben. Karena foto perjanjiannya itu diambil tepat setelah Cantika pergi dengan Ben ke Depok, dia keliru menyalinnya bersamaan. “Memangnya ... kenapa?” tanya Cantika dengan suara bergetar. “Setelah baca surat itu, terus apa? Itu cuma tulisan tangan biasa. Apa pun yang ada di situ, intinya we’re married.”“Palsu,” dengkus Ben sinis. “Pernikahan kontrak yang bahkan nggak terdaftar? Kalian nggak sah.”“Mungkin sekarang memang begitu. Tapi, kamu baca sampai akhir? Perjanjian bisa berubah.”Bagaimanapun caranya, Cantika tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Ben. Dia tidak ingin kalah lagi dari pria itu. Hatinya terus
“Kalau gitu, mulai sekarang jangan ganggu aku,” ucap Cantika lirih.Helaan napas Ben menggelitik dagu Cantika. “Kasih tau aku alasannya. Jelasin biar aku ngerti.” Nada pria itu melunak.Namun, Cantika hanya menggeleng dengan air mata yang kembali mengalir.“Kalo kamu cuma butuh suami, aku bisa gantiin dia.”“Nggak bisa gitu, Ben. Nggak bisa gitu.”“Ya terus apa? Apa yang bikin kamu lebih milih cowok jadi-jadian yang nggak jelas orientasi seksualnya itu? Jadi dia homo apa biseks? Oke, itu nggak penting. Gila ya, dari awal aku udah ngerasa curiga sama dia. Tau-tau main serobot pacar orang,” oceh Ben dongkol.Seharusnya Cantika menyingkir sejak tadi. Tapi berada di pangkuan Ben membuatnya nyaman. Plus, lengan kokoh yang mendekap pinggangnya terasa hangat di cuaca sejuk begini. Cantika jadi lupa untuk beranjak.“Pokoknya aku nggak bisa. Tolong jangan ganggu aku untuk sekarang. Ini satu-satunya cara aku bertahan.” Tangan Cantika memegang pinggiran meja kuat-kuat. “Anggap kita selesai.”Man
Cantika buru-buru menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas selagi menunggu render desainnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tinggal ia sendiri yang tersisa di ruangan arsitek. Gara-gara perdebatannya dengan Ben, sepanjang siang Cantika tidak bisa konsentrasi. Akibatnya, semua pekerjaan jadi terhambat.Cantika melirik ponselnya dan sekali lagi melihat notifikasi pesan balasan dari Miko yang belum sempat dibacanya. Dia mengambil ponselnya, baru akan membuka pesan itu ketika tiba-tiba mendengar suara gaduh.Kucing bertengkar? Terkanya mengerutkan dahi.Penasaran, Cantika keluar ruangan dan memandang ke lorong. Asal suaranya dari tangga, disusul suara Ubay si penjaga kantor. “Pak, Bapak nggak pa-pa? Weleh, weleehh, jangan tidur di sini, Pak. Nanti masuk angin.” Nadanya terdengar cemas.Tanpa pikir panjang, Cantika segera menuruni anak tangga dan mendapati Ubay sedang menyelipkan tangan di antara kedua lengan bosnya, berusaha mengangkatnya dari belakang.“Ubay, Pak Bos kenapa
“Nggak diangkat?”Miko menoleh dan menggeleng. “HP Cantika mati. Gue cuma mau ngabarin pulang telat, sih. Tadi lupa bilang.” Dia kembali duduk di sebelah Olin.“Emang kalian nggak chat-an?” tanya Olin menelengkan kepala untuk menatap wajah Miko.“Kalo kerja? Jarang. Hari ini chat terakhir dari dia cuma ngasih tau dia bakal lembur.”Olim manggut-manggut. “Mungkin dia lagi sibuk sama kerjaannya. By the way ... jangan bilang Cantika kalo lo nemenin gue ke sini.” Tangannya menggenggam sepotong kertas berisi nomor antrian.“Kenapa? Kita kan belum tau hasilnya, itu baru dugaan gue aja. Lo tetep harus jalanin pemeriksaan.”Olin menggeleng pelan dan bersikeras. “Jangan. Gue nggak mau dia khawatir.”Tidak ada lagi yang diucapkan oleh Miko. Lelaki itu menggenggam ponsel dengan kedua tangan seraya memandanginya. Mereka diam selama beberapa saat. Suara-suara orang yang berseliweran, alarm giliran masuk, serta aroma disinfektan mengisi kekosongan mereka. Sampai Olin kembali bersuara.“Oh iya, lo y
Kebohongan adalah hal yang sebisa mungkin dihindari oleh Cantika. Sejak kecil, mendiang ayahnya selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan serta kejujuran. Cantika yang menyayangi dan menghormati beliau tetap memegang prinsip tersebut meski melewati masa-masa sulit setelah kepergian ayahnya.Mahasiswa-mahasiswi di kampus yang tidak kenal dekat dengan Cantika banyak yang menilainya sebagai tuan putri angkuh, nona yang hanya mau berteman dengan sesama kasta tinggi, hingga gosip yang melabelinya anak clubbing. Dari semuanya, hanya satu hal yang benar mengenai Cantika, yaitu modis. Selain itu, semua hanya gosip belaka.Penyebab kemunculan persepsi itu sederhana, karena Cantika memang membatasi diri tidak mau bergaul dengan mahasiswa lain selain Olin yang beda jurusan saat masuk kuliah. Wajah cantik serta gaya berpakaian yang bermerek hasil hibahan para tante dan sepupunya tanpa sengaja memberi kesan melenceng pada dirinya.Cantika tidak pernah berniat menipu siapa pun tentang sosoknya. Tentan
“Cantika ke toilet?” tanya Miko. Datang membawa sekantong minuman di tangannya. Dia lalu mengeluarkan satu per satu gelas bubble tea dari kantong tersebut di atas meja.Olin meremas kertas di tangannya, menunjuk sembarang arah. “Katanya lanjutin bikin video transisi buat kontennya.”Setiap mereka bertiga pergi di akhir pekan, sering kali tujuannya adalah untuk membantu Cantika membuat konten. Perempuan itu mencari tempat-tempat estetik dan viral agar postingannya tak ketinggalan tren. Kadang-kadang Miko dan Olin juga masuk dalam satu bingkai bersama Cantika. Berkat itulah studio Olin cukup ramai pengunjung. Beberapa pasien yang datang ke klinik tempat Miko bekerja juga asalnya dari unggahan Cantika di media sosial. Tempat-tempat yang direkomendasikan Cantika, makanan, pakaian, sepatu, tas, atau apa pun itu sering kali membuat pengikutnya di medsos penasaran dan berujung menjajalnya.Mata Miko tertuju pada kertas yang dipegang Olin, duduk di seberang perempuan itu. “Hasilnya udah kelua
Akhir-akhir ini Cantika tidak lagi pulang larut meski juga tidak pulang tepat waktu. Beberapa kali Miko melihat Cantika duduk manis di sofa menunggunya. Menyiapkan jus seperti rutinitas mereka biasanya. Jika melihat sepintas, semua tampak normal. Hanya satu yang tak normal bagi Miko.Dirinya, yang menganggap segalanya terasa janggal.Kalau di awal pernikahan mereka, Miko akan merasa senang dengan perbuatan Cantika. Namun perubahan Cantika yang seperti semula malah membuatnya tak nyaman. Apalagi setelah kepulangannya dari Surabaya. Setiap kali Cantika mengajaknya bicara, Miko banyak menghindar.“Gimana kerjaan hari ini, Mik?”“Masih adaptasi,” jawab Miko singkat.“Oh iya, habis mandi kamu mau nonton?”“Nggak, Can. Aku capek.”“Ngobrol bentar, yuk.”“Aku mau mandi dulu, ya. Badan aku lengket banget, nggak betah."Masalahnya bukan Miko tidak ingin bicara pada Cantika, dia hanya takut. Takut apa yang hendak dikatakan perempuan itu adalah hal yang sudah lama dicemaskannya. Ini bukan lagi p