Film anak yang seharusnya penuh haru, menghibur, dan menyenangkan, sama sekali tidak dapat fokus ditonton oleh Cantika. Selama lebih dari satu setengah jam, dia hanya sibuk bertahan, menjaga jarak dari Ben, berontak, dan sebagainya. Sepanjang film diputar, mereka sibuk sendiri, bertengkar, mengelak, perang napas, dan adu mulut. Maksudnya adu mulut dalam konteks benar-benar beradu mulut ala Ben. Ketika lampu studio mulai menyala lagi, keadaan Cantika terlihat berantakan. Dia juga kekurangan oksigen. Bagaimana tidak kekurangan oksigen kalau ia jarang sekali diberikan kesempatan untuk sekadar bernapas oleh pria yang kini memandanginya aneh? Entah apa maksud dari tatapannya, Cantika tidak peduli. Yang jelas, dia sangat lega karena satu setengah jam telah berlalu dan akhirnya dia bisa terlepas dari jerat siksaan yang sejak tadi diterimanya. Cantika mengeluarkan ponsel dan sisir dari dalam tas untuk memeriksa penampilannya, dia cukup kaget. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya merah, sudah pas
“Kak, besok lari pagi?” Tiba-tiba Brian melongokan kepala dari luar pintu kamar adik-adiknya. “Kenapa Bri? Kamu mau ikut?” tanya Cantika merasa langka dengan pertanyaan Brian. “Enggak, sih. Nanya aja.” Remaja laki-laki itu tampak berpikir sejenak sebelum lanjut bertanya, “Kak Can besok kuliah, ya?” Tangannya masih memegang kenop pintu. Posisinya juga masih mengintip dari luar kamar. “Iya, kuliah. Ada apa Bri? Besok Kak Can tetap bisa jemput les, kok. Kamu mau pergi sama teman?” “Enggak ...,” jawab Brian pelan. Karena Brian tidak berkata apa-apa lagi, Cantika mengira Brian sudah selesai. Cantika lanjut mengerjakan tugas kuliahnya, dengan Bianca dan Byana yang ikut menggambar di kertas masing-masing. Sesekali mereka membantu Cantika mengambilkan penghapus atau pulpen. Namun sesaat kemudian, panggilan Brian terdengar lagi. “Kak Can,” “Hm? Apa Bri?” “Jadinya besok Kak Can jogging, enggak?” Anak laki-laki itu kini memegangi ponselnya. Jarang sekali Brian banyak tanya begini. Semenj
“Maaf,” ucap Ben. “Maaf buat apa?” Perasaan Cantika berkecamuk, mendadak meleleh oleh satu kata magis yang diucapkan Ben, tapi sebagian dirinya tidak terima bila langsung memaafkan pria ini begitu saja. “Buat semuanya,” jawab Ben seraya bersandar di pantry. “Kata-kata aku waktu itu, tingkah childish aku, semuanya.” Dia memberi jeda sesaat. “Aku betul-betul kesal sejak hari sebelumnya. Mood aku nggak bagus, kerjaan di kantor dan hal lain yang bikin aku stres, belum lagi baca chat kamu yang batalin janji. “Waktu di pesta lihat kamu batalin janji karena jalan bareng cowok lain semakin menyulut aku. Akhirnya aku malah limpahin semua emosi aku ke kamu.” Tidak ada niat untuk Cantika menimpali kata-kata Ben karena sepertinya laki-laki itu belum selesai bicara. Dia masih berdiri berseberangan dengan Ben, menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Sorry, I was being a jerk,” sesal Ben. “Tapi ... kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu?” Baru saja Cantika merasa tersentuh,
Cantika melirik ponselnya yang bergetar, notifikasi pengingat muncul di layar ponselnya. Seperti biasa, dia membuat pengingat kapan harus menjemput anak-anak, atau melakukan hal lainnya karena dia pelupa akut. Masalah dengan Ben sudah diselesaikan pagi tadi, mereka berbaikan, Cantika membuka blokir nomor pria itu. Tadinya Ben menawarkan untuk mengantarnya ke kampus hari ini sebagai tanda permintaan maaf dan rayuannya seperti biasa. Tetapi selesai kuliah, ada tugas yang harus di laksanakan Cantika. Menjemput Byana dan Bianca ke sekolah. Sehingga dia harus ke kampus dengan mengendarai mobil yang biasa dipakai menjemput anak-anak. Terpaksa tawaran Ben ditolaknya dengan berat hati. “Kiara.” Suara seseorang yang dikenalnya menghentikan langkah Cantika. Dia mengangkat kepala dari layar ponselnya, memastikan siapa yang memanggilnya sambil menyimpan ponsel ke saku celana. Meski sebetulnya, sudah bisa dipastikan siapa si pemilik suara. “Ya, Jov?” “Ra, aku nggak mau putus.” Adalah kalimat ya
“Oke, cepat buka.” Ben menepuk kedua telapak tangannya. “Sekarang?” tanya Cantika ragu-ragu. “Di sini?” “Kamu mau di mana? Di kamar aku?” “Ng-nggaklah! Tapi ... aku maluu.” “Katanya mau dibantuin? Ayo, kasih lihat aku dulu.” Cantika menjepit bibirnya dengan raut gusar. Gadis itu melangkah dan bergerak sepelan siput menuju sofa. Meletakkan gulungan kertas, menarik ritsleting tas yang dibawanya, dan mengeluarkan laptop dari dalam tas. Dia baru menyalakan laptop hendak membuka program AutoCAD, saat suara Ben kembali mengudara. “RAM laptop kamu kuat buat ngerjain tugas?” “Kuat kayaknya.” “Aku saranin kamu ganti laptop biar AutoCAD-nya nggak tiba-tiba forced close dan tugas kamu aman.” Ganti laptop katanya? Batin Cantika melirik Ben cemberut. Laptopnya yang sekarang saja susah payah didapatkannya dari hasil hibahan para sepupu. Cantika mana mampu beli laptop baru? Jangan harap bisa minta pada ibunya, untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka pas-pasan. Semua yang dimilikinya kebanyak
“Kita itu ... sebetulnya apa?” Pertanyaan Cantika membuat Ben menghentikan segala aktivitasnya. Sedangkan Cantika segera tersadar akan apa yang baru saja ditanyakannya. Gadis itu buru-buru menutup mulut rapat-rapat, kelihatan salah tingkah, wajahnya merona. “M-maksud aku ...” Mendadak dia gelagapan. Ben memutar tubuh menghadap Cantika. Senyum tipis terbit di wajahnya. “Kamu maunya apa? Aku jadi selingkuhan kamu?” Kata selingkuhan sama sekali tidak terdengar baik di telinga Cantika. Lebih dari itu, dia membencinya. “Aku udah putus.” Sepasang iris husky milik Ben pun mengerjap memandangnya. “Kamu udah putus?” ulang pria itu dengan dahi berkerut. Cantika melirik Ben ragu-ragu dan mengangguk. Memalukan. Rasanya dia seperti baru saja menyatakan perasaan pada pria itu. Di mana dirinya yang biasa mampu mengambil kontrol? Dia selalu tidak berkutik di depan Ben. “Then, will you be my girlfriend?” Napas Cantika terasa seperti tersangkut di kerongkongan. Jantungnya berdentum-dentum menggi
“Wah! Givenchy?!” serunya heboh. Mata Cantika langsung berbinar-binar ketika melihat tas tangan dari merek ternama yang mendunia di atas meja kerja Olin. “Ori?” “Mm-hm,” sahut wanita itu singkat. “Waa, gila sih temen gue yang satu ini, udah sukses kayaknya studionya.” Cantika bersandar di tepi meja, bertepuk tangan dengan ekspresi takjub dan terkesan. Turut senang jika usaha temannya berjalan lancar. “Bukan beli, itu hadiah,” Olin memutuskan untuk menjawab jujur. Tepukan tangan Cantika mendadak berhenti. Raut wajah cerahnya berubah datar tak bersemangat. Olin tahu persis apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. “Om itu royal ya?” tanya Cantika bernada lesu. Kepalanya tertunduk, memainkan ujung bajunya. “Yah ...” Olin tak bisa menjawab pasti, sebab bukan Bayu yang memberikannya. “Lo bahagia, Lin?” Kali ini Cantika menatap lurus pada Olin. Apakah dia bahagia? Itu juga yang ditanyakan Olin pada diri sendiri. Bagi Olin, asalkan dia bisa memiliki barang-barang yang diinginkannya, dia
“Yang ini, terus ini, ini ... hm ... sekalian ini juga,” gumam Cantika mengeluarkan satu per satu barang dari tas jinjing besar miliknya. Seperti akan kabur dari rumah. Ben bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala melihat banyaknya barang yang akan difoto oleh Cantika. Akhir pekan ini dia memang berjanji untuk membantunya, tapi siapa sangka gadis itu membawa semua produk yang akan dipromosikannya di media sosial? Di waktu senggang kemarin, Ben penasaran dan mencari akun media sosial milik Cantika. Ternyata tak sulit menemukannya karena gadis itu menggunakan namanya. Meski seperti katanya, Cantika bukan influencer atau selebriti media sosial dengan ratusan ribu pengikut, tapi akunnya cukup hidup. Foto-fotonya tak tampak diambil oleh seorang profesional, namun siapa yang peduli jika wajah rupawan Cantika berada di dalam frame? Foto selfienya sendiri saja sudah terlihat estetik. Berbeda dengan Cantika, Ben sama sekali tidak tertarik dengan media sosial. Akun pribadinya seperti ru