“Gimana aku bisa percaya kamu?” Ben sedikitnya sudah menduga, Cantika meragukan ceritanya. Ia mengambil ponselnya, memijat layar sentuh itu sejenak sebelum menyalakan mode pengeras suara. Cantika menatapnya bingung. Tetapi Ben mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan agar gadis itu tidak bersuara. Pada nada sambung ketiga, panggilan itu diangkat. “Ada angin apa kamu nelepon aku?” ucap suara di seberang sana. Suara seorang wanita, sedikit melengking dan bernada sinis. “Aku peringatkan kamu, jangan pernah ikut campur urusanku. Jangan pernah, sekali pun, menampakkan muka kamu di depan Mama Ana lagi.” Alis Cantika terangkat sebelah ketika mendengar panggilannya merujuk pada ‘Mama Ana’. Kenapa Ben membubuhkan nama pada sebutan ibunya? Bukan mengatakan kata kepunyaan seperti ‘mamaku’. Apakah wanita bernama Viona sudah menyebut ibunya Ben dengan ‘mama’? “Are you drunk?” dengkus wanita itu. “Nelepon aku tiba-tiba cuma buat omong kosong?” “Ini bukan omong kosong. R
Olin mencengkeram sprei erat-erat, bersamaan dengan entakan kuat dari tubuh di atasnya. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat. Sudah beberapa kali ia melalui aktivitas malam bersama pria misterius itu. Meski pria itu bukan yang pertama dan entah yang ke berapa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dirasakannya, seolah pria itu pria pertamanya. Jantung Olin berdebar kencang oleh hal-hal yang menurutnya biasa. Seperti setiap kali ia menunggu kehadiran lelaki itu di apartemennya, ketika ia berdiri di depan apartemen pria itu menunggu pintu dibuka, atau di saat seperti ini—ketika mereka melakukan penyatuan. “The last, kan?” tanya Olin padanya. Olin dapat merasakan pria itu mengangguk di ceruk lehernya sebelum beranjak pindah ke sisi sebelahnya, merengkuhnya erat dalam tubuh polos mereka di bawah selimut. Semua itu membuat perasaannya seperti musim semi, cerah dan hangat. Olin tak tahu kata apa yang benar-benar tepat untuk menggambarkan keseluruhan perasaannya. Tapi, anehnya dia benar-benar
“Astaga! Ngapain kamu di sini lagi?!” Hampir saja Cantika terjungkang jatuh dari tangga, kalau Ben tidak menahan punggungnya. Di saat yang bersamaan, orang itulah yang menjadi penyebabnya nyaris terjatuh. “Kamar Byan bocor, remember?” ujar Ben tersenyum, masih sambil menahan tubuh Cantika. Berada dalam jarak sedekat itu membangkitkan beberapa indranya. Apalagi saat aroma manis yang lembut dari rambut Cantika berhasil menggoda indra penciuman Ben. “Oh ....” “Kamu dari mana?” tanya Ben memerhatikan Cantika berpakaian santai. Kaus putih polos dan rok jins warna salem pendek di atas lutut. “Antar anak-anak les.” Keduanya sempat hanyut dalam pikiran masing-masing barang beberapa detik. Hingga Cantika menyadari posisi mereka belum berubah. “Permisi, aku mau lewat.” Tetapi Ben belum juga melepaskannya. Memerhatikan Cantika dengan pandangan yang sulit diartikan. “Lepasin, dong.” Cantika kira, Ben hendak pergi ketika mereka berpapasan di tangga. Tetapi lelaki itu malah kembali naik. Dan
“Mik, coba cium aku.” “Hah?!” Miko yang sedang minum nyaris saja tersedak. Pria itu jelas kaget dengan ucapan perempuan cantik yang duduk di sebelahnya. Namun, bukan Miko namanya kalau tidak bisa tetap bersikap tenang. “Cewek sableng!” Sedangkan Olin memukul kepala Cantika dengan gulungan flyer. “Kesambet apa lo?” semburnya. Ketiga orang itu berada dalam ruangan Olin seperti biasa. Yang satu menghabiskan waktu sepulang kerja, dan yang satu lagi sedang numpang melamun. Keduanya setia mengacau di studio Olin. Sambil bertopang dagu, Cantika menyahut tanpa beban, “Pengin tau rasanya dicium Miko, bisa hilang akal nggak?” Tampang Olin sudah meringis ngeri sekaligus geli mendengar teman bodohnya itu. “Nggak usah nunggu dicium Miko. Sekarang aja kewarasan lo udah ilang, Mimi Peri!” gerutu Olin bak ibu-ibu mengomeli anaknya. “Ini anak kapan gedenya, sih? Fisik aja yang dewasa, otak nggak tumbuh kembang.” “Jangan dong, masa otak gue numbuh kembang? Nanti jadi ladang bunga,” balas Cantika s
Lady killer, sepertinya sebutan itu benar-benar cocok untuk Ben. Hanya dengan sedikit kalimat dan beberapa perlakuan, Cantika yang biasanya tidak peduli menjadi luluh seketika. Setelah dipikir lagi, kenapa dia begitu mudah menerima lelaki itu kembali? Jangan-jangan Cantika kena pelet? Duh, mikir apa sih?! batinnya mengetuk-ngetukkan pulpen ke kepala. Tidak boleh. Dia tidak boleh segampang ini terbujuk rayuan Ben. Cantika pun mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat untuk lelaki itu. Kiara C: Kamu kapan ada waktu? Kiara C: Aku mau ketemu Pokoknya Cantika sudah bertekad akan putus. Dia akan bilang pada Ben bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah sebuah kesalahan. Dia terbawa suasana dan dalam keadaan tersudut hingga tanpa sadar menerima ajakan balikan dari lelaki itu. Di dalam kelas, Cantika mengepalkan tangan penuh keyakinan bahwa setelah Ben membalas pesannya nanti, dia akan menemui lelaki itu dan mengakhiri semuanya. *** “Lo udah kebayang mau bikin desain kayak apa?” tanya
Setelah selesai makan siang, Ben benar-benar membawa Cantika berkeliling. Mengajaknya ke Sequis Center, Alamanda Tower, Sampoerna Strategic Square, dan terakhir masih seputar mengamati arsitektur; Ben mengarahkan mobilnya ke pusat perbelanjaan yang berada di bilangan Sudirman. “Pacific Place?” tanya Cantika dengan alis berkerut. “Yup.” Ben turun dari mobil, membukakan pintu untuk Cantika. “Apa kamu tau, mal ini pernah meraih Awards untuk kategori Efficient Building?” Cantika menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak tahu soal ini. Apakah dia melewatkan sesuatu di kelas? Atau memang hal ini tidak pernah dibahas oleh dosennya? “Biarpun kelihatan mewah, mal ini menerapkan beberapa program peduli lingkungan; seperti recycle, readjust, replacing, and reschecule,” jelas Ben menggandeng tangan wanita di sebelahnya. “Aku baru tau. Aku jarang ke sini karena mahal.” Mendengar ucapan Cantika, Ben terkekeh. Semahal-mahalnya, pakaian dan tas tangan yang melekat pada gadis itu masih beras
“Pi—maksudnya Pak Bayu, apa nggak pa-pa Olin ikut? Nanti kalau tiba-tiba ketemu kenalan Pak Bayu gimana?” tanya Olin ketika menemui Bayu di area lapangan golf. Bayu tersenyum mendengkus. “Tenang aja sayang, hari ini cuma ada kami di lapangan golf ini.” “Kami?” “Iya, teman-teman saya,” ucap Bayu. Tatapannya meneliti penampilan Olin dari atas sampai bawah, kemudian meletakkan tangannya di pundak Olin. “Nggak percuma saya minta kamu datang. Saya suka baju kamu hari ini.” Tank top putih dan rok senada di atas lutut yang kontras dengan warna kulit Olin seolah mengumbar daya tarik wanita itu. Dia amat percaya diri dalam memilih pakaian dan senang menonjolkan kelebihan yang dimilikinya. Meski tidak terlalu tinggi, tidak berkulit putih, tapi Olin memiliki pesonanya sendiri. “Oh ya? Berarti pilihan Olin tepat, dong. Olin udah nebak, ini pasti sesuai selera Papi,” kata Olin, melepaskan satu tangan Bayu dari pundaknya dan menggenggamnya. “Kamu tau, senyum manis kamu itu bahaya?” “Kenapa?”
Cantika bersandar di dinding tanpa bicara, sesekali melirik ibunya yang sibuk di dapur menuangkan makanan ke piring. Perasaannya tidak nyaman, tapi juga belum berani bicara. Sampai Arita menyadari tingkah aneh anak perempuannya. “Kenapa?” tanya wanita itu datar. “Kamu mau ngomong apa?” “Huh?” Cantika agak terperanjat mendengarnya. “Itu ... apa belakangan om Dany bertengkar sama tante Grace?” Arita membawa piringnya yang sudah terisi makanan, duduk lesehan di lantai karena mereka tak memiliki meja makan di rumah. “Kamu yang tinggal di sana, harusnya kamu lebih tau.” Memang benar apa yang dikatakan ibunya, tapi selama Cantika di rumah tante Grace, dia jarang melihat interaksi keduanya. Siang hari Dany bekerja, Grace juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman arisannya atau entah ke mana. Malam hari, pamannya pulang larut. Kadang juga tidak pulang saat Cantika ada di sana. Atau sebenarnya Dany pulang, tapi Cantika tidak melihatnya? Entahlah. Sekali-kalinya Canti