Share

03. Membantu Zavy

“Ya, perjanjian.”

Perlahan, Zavy kembali menoleh dengan pandangan penuh curiga. “Malam ini kau harus tidur dulu. Besok pagi baru kita bicarakan lagi.” Dia pikir, Vinna belum bisa mengontrol omongannya.

BMW putih itu pun terus melaju pelan di jalanan yang sangat sepi. Karena jarak memang tidak jauh lagi, akhirnya mereka sampai lebih cepat. Zavy memapah Vinna agar bisa berjalan dari halaman menuju rumah.

Di dalam rumah, Zavy memberikan segelas susu dan segelas air putih kepada Vinna sebelum dia memasuki kamar. “Maaf kamar satu itu tidak pernah terpakai, jadi kotor dan berdebu. Silakan kau tidur di kamarku saja. Biar aku tidur di sini, di ruang tamu.”

“Biar aku saja yang tidur di sini, Zavy.”

“Presdir mana mungkin pernah tidur di sofa. Cepat habiskan minuman mu, lalu tidurlah. Kamar mandi ada di dalam sana.”

***

Pagi harinya, ketika matahari sudah tampak dan nyaris tinggi, Vinna pun terbangun. Dia duduk di atas kasur, mengumpulkan nyawanya. Sembari mengucek matanya, dia mengawas sekeliling kamar tidur Zavy. Terlihat bersih dan rapi. Sebagaimana seorang mahasiswa, di meja belajar dan rak buku di sana setidaknya terdapat seratus buku bacaan.

Di dinding ada poster pemain bola, tulisan kata-kata bijak, dan tidak ada foto wanita di dalam sini. Itu berarti bisa jadi Zavy tidak punya pacar saat ini. Bisa jadi. Tapi asumsi demikian belum bisa dipastikan benar karena mungkin saja foto wanita itu ada banyak di galeri ponsel.

Vinna membersihkan wajah dan mulutnya di kamar mandi, setelah lumayan segar, barulah dia keluar dan menuju ruang tamu. 

Di sana, Zavy sedang sibuk berada di depan laptop. “Seharusnya aku masuk kuliah pagi, tapi barusan aku meminta materi dari teman sekelas, jadi bisa aku pelajari di rumah.”

Vinna langsung duduk pas di hadapan Zavy. “Maafkan aku. Gara-gara aku, kau tidak berangkat kuliah.”

“Tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula, aku tidak tahu apa bakal lanjut atau tidak.”

“Zavy! Kau dua bulan lagi wisuda! Kau harus menyelesaikan kuliah mu!” cecar Vinna dengan alis yang bertemu. Ada seringai cantik di wajahnya.

Zavy mengangkat bahunya sekali. “Aku mencari ilmu, bukan sekadar selembar ijazah dan sertifikat. Kalau memang tidak wisuda dan mendapat gelar, ya sudah mau diapakan lagi? Aku belajar bukan itu target pencapaianku. Aku butuh ilmu, pengalaman, relasi, dan pembentukan karakter.”

Mendengar jawaban tersebut, Vinna lantas menghembuskan napas pendek. Dia pernah mendengar pernyataan yang senada di sebuah seminar pendidikan tetapi sulit untuk menerapkannya di dunia nyata. Namun, sekarang Vinna menyaksikannya.

“Sarapanlah. Aku cuma punya roti dan keju. Kalau masih kurang, nanti kau bisa beli sendiri, mini market tidak jauh dari sini.”

“Cukup. Terima kasih.” 

Setelah sarapan dan Zavy pun telah selesai belajar, barulah Vinna kembali membahas tentang perjanjian yang sempat mereka singgung semalam. 

Kembali Vinna menekankan bahwa dia tidak ingin menikah dalam waktu dekat dengan pria mana pun, terlebih menikah dengan Wayne Chad.

Dia masih ingin hidup sendiri dan fokus dalam mengurus bisnis keluarga. Begitulah, Vinna tidak tomboi apalagi LGBT. Baginya, LBGT sangat najis dan tidak manusiawi.

Namun, dia wanita jutek dan kalem. Terpenting baginya adalah impiannya dapat tercapai dan sebisa mungkin membahagiakan orang terdekat. Itulah prinsip yang telah dia tanamkan sejak dulu.

Zavy tersentak heran. “Vinna, lantas kenapa kau mau menjadi istriku?”

“Kan, hanya berpura-pura. Kita tidak serius menjalaninya, Zavy. Nanti, kita akan menikah sungguhan, tetapi kita menjalaninya dengan berpura-pura saja.” Vinna sangat serius, tidak ada pengaruh alkohol sama sekali kali ini.

Masih belum bisa hilang keterkejutannya, Zavy kembali mengerutkan alisnya dan membelalakkan matanya. “Bagaimana bisa? Berpura-pura?”

“Tentu saja bisa. Setelah acara pernikahan, kita akan tinggal bersama. Ya, aku mau tinggal di rumah sewa seperti ini bersama mu. Mungkin dalam beberapa bulan saja, tapi aku belum bisa memastikannya. Setelah situasi telah aman ....”

“Lalu?”

Vinna melengos dari tatapan tajam pria di hadapannya. “Entahlah. Sebaiknya, kita pikirkan dulu untuk sekarang saja terlebih dahulu.” Tidak berpikir panjang lagi, Vinna pun melanjutkan, nadanya begitu dingin. “Zavy, aku berjanji akan menyelesaian biaya kuliahmu sampai kau lulus dan aku juga akan membayar sewa rumah mu. Semua masalah mu akan kelar. Plus, kau tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk hari pernikahan kita nanti.”

Deg!

“Kau akan berpura-pura menjadi seorang investor kaya dari luar negeri. Bilang saja, kita sudah lebih dari tiga bulan menjalin hubungan dan akan memberikan suntikan dana ke perusahaan kami.”

“Apa?” Zavy makin terbelalak, semakin kaget tak alang kepalang. “Kau masih mabuk, Vinna. Rencana mu tidak make sense, tidak masuk ke dalam nalar ku.” Zavy menegakkan bahunya. “Begini, perusahaan keluarga mu akan pailit dalam waktu dekat, apa pun alasannya, kecuali kalau kau bersedia menikah dengan Wayne Chad. Ingat, Charlton masih punya utang tujuh juta dollar. Lalu, Charlton juga butuh dana setidaknya tiga juta dollar lagi. Dari mana uang sepuluh juta itu?”

Tidak ada jawaban. 

Hening.

Hal yang ada di dalam benak Vinna adalah dia tidak menikah dengan Wayne Chad, itu saja. Tetapi dia tidak punya solusi lain. Ketika dia ingin menawarkan pinjaman ke bank atau berharap dana dari investor, semua tidak bisa terlaksana karena mereka tidak mau menggelontorkan dana pinjaman atau investasi ke perusahaan yang hampir bangkrut.

Saat itulah isi kepala Vinna semakin carut marut, liar tak keruan arah. Jika saja dia diberi waktu selama enam bulan sampai satu tahun, dia sangat yakin bisa menyelesaikan semua permasalahan finansial keluarganya. Dia cerdas dan bisa diandalkan. Akan tetapi, waktu sangat mepet dan singkat. Dia tidak bisa bergerak hanya dalam waktu satu atau dua minggu saja.

Tiba-tiba, Vinna menjerit histeris. “Aaaaagghhrrr!!!”

Terkejut, Zavy berdiri dan langsung duduk pas di samping Vinna. “Tenangkan dirimu, Vinna.”

Dan, Vinna menangis. “Aku tidak mau menikah dengan Wayne  Chad dan aku pun tidak mau melepas jabatan Presdir.”

Alasan kenapa dia mau menerima jabatan dan beban tugas berat itu karena keluarga dan kerabatnya yang lain tidak ada yang bisa diandalkan. Mereka bodoh, korup, dan jahat hati. Oleh karena itu, Vinna mengorbankan dirinya agar perusahaan tersebut bisa bangkit dan maju. Langkah Vinna sudah tepat dan bijak, hanya saja kebaikannya malah diperalat oleh keluarga dan kerabatnya sendiri.

Melihat kesedihan dan kepahitan hidup wanita tak berdosa ini, lantas Zavy pun tersentuh hatinya, lalu dia berkata dengan lembut, “Baiklah, aku bersedia mengikuti apa yang kau inginkan walaupun aku sangsi kalau semua masalahmu dapat terselesaikan dalam waktu dekat.”

Vinna mengangkat wajahnya. “Setidaknya, aku tidak menikah dengan tua bangka itu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status