Share

04. Pertemuan

Deal!

Vinna barusan telah mentransfer lima ribu dollar. Dengan uang tersebut Zavy bisa melunasi semua biaya kuliah dan sewa rumah yang menunggak. Selain itu, Vinna juga memberikan uang sebanyak sepuluh ribu dollar lagi kepada Zavy.

“Sebagian untuk biaya pernikahan dan sebagiannya lagi dana pegangan mu, Zavy.”

Sebagai karyawan biasa-biasa saja, Zavy biasa menerima upah per bulan kisaran antara tiga ratus sampai lima ratus dollar saja dan uang tak seberapa itu tentu tidak bakal bisa menjadikannya pria kaya yang memiliki rumah dan mobil pribadi.

Lima belas ribu dollar yang baru saja masuk merupakan berkah tersendiri baginya. Setidaknya butuh waktu tiga puluh bulan baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Kini, masalah hidupnya pun terselesaikan.

"Sore ini akan ada acara penting di bisnis keluargaku. Kau harus datang dan berbicara di hadapan mereka, Zavy!"

Siang harinya, Vinna pulang ke rumahnya, sedangkan Zavy menemui pemilik rumah sewa dan menyerahkan uang sewa. Setelah itu, Zavy membeli satu motor matic bekas seharga tak lebih dari seribu dollar untuk keperluannya selama beraktivitas.

Selama ini dia pergi ke tempat kerja dengan berjalan kaki dan begitu juga ke kampus. Jarak dari rumah menuju tempat kerja dan kampusnya tidak lebih dari lima kilometer.

Namun kini, dia sudah punya motor matic butut murahan. Setibanya di Universitas, dia langsung menuju bagian loket pembayaran, lalu menyerahkan satu berkas administrasi pembayaran.

Pada saat menunggu di sana, tidak sengaja dia mendengar ada percakapan antar pegawai.

“Aku punya tiga nama baru. Dua memang miskin dan satu masih bisa dianggap mampu. Mereka bertiga punya prestasi.”

“Tiga nama? Lumayan.”

Mereka menggelapkan dana beasiswa yang semestinya diberikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya. Dari tiga nama tersebut, mereka bisa untung lebih dari tiga puluh ribu dollar selama mahasiswa tersebut kuliah sampai tamat, lebih kurang empat tahun. Bagaimana kalau mereka dapat tiga nama setiap tahun ajaran baru?

Zavy mengepalkan tangan, menggertakkan geraham, dan mengeraskan rahangnya. Akhirnya dia tahu bahwa selama ini rupanya ada sebagian kecil sindikat yang bermain licik. Tega, sangat tega sekali. Mereka merampas hak orang miskin dan berprestasi. Sungguh sadis. Zavy mendengus marah. ‘Jika nanti aku sukses, aku akan membongkar kejahatan kalian semua!’

Sekarang, jika Zavy bertindak, sama saja konyol. Suaranya tidak akan pernah didengar.

Zavy berdeham, lalu memanggil petugas di sana. “Permisi, saya mau membayar uang kuliah.”

“Oh,” sahut wanita gemuk penderita obesitas di dalam ruangan. Dia menggeser kursinya dan mengawasi Zavy yang dibatasi kaca dan terali di antara mereka. “Kau? Kau mau bayar? Zavy? Kau kena DO! Untuk apa lagi kau mengurus biaya kuliah mu ha?”

Tidak ingin berlama-lama dengan manusia picik itu, Zavy menyerahkan berkas dan struk pembayaran dari bank. “Biaya kuliah empat semester dan uang wisuda.”

Petugas tersebut dan rekannya terkaget-kaget.

“Kau mahasiswa miskin dan tidak bakal lulus,” ketus wanita itu namun begitu dia mengecek berkas yang dibawa Zavy barusan, dia dan lainnya pun terbelalak heran.

Apa? Zavy melunasi semuanya?

Zavy melihat jam tangannya. “Halo? Tolong aku mau cepat!”

Orang-orang di dalam ruangan tersebut memandangi Zavy dengan tatapan heran dan penuh kecurigaan. Mereka pikir, Zavy memang layak kena DO dan tidak bakal lulus, namun pada akhirnya mereka pun dipaksa menerima realita sesungguhnya.

Dalam hati, Zavy bersumpah akan membuat pelajaran pada mereka nantinya kalau dia sudah sukses.

Setelah urusan di Universitas selesai, Zavy kemudian bergegas menuju Cafe Ings, bermaksud menyelesaikan urusannya pula di sana. Di cafe, dia langsung berhadapan dengan sang pemilik cafe, Hugo Santos.

Di ruang kerjanya, Hugo mengoles dagu seraya memandangi Zavy dengan sangat remeh. “Seharusnya kau masuk kerja jam dua. Sekarang baru jam satu. Ada apa? Mau pinjam duit lagi?”

Zavy mengaparkan uang dua ribu lima ratus dollar di atas meja kerja bosnya. “Aku resign. Ini sisa utangku.”

Alis Hugo sedikit terangkat ke atas, lalu bertanya dengan agak heran. “Kau mau berhenti? Kenapa? Zavy, bulan depan aku akan menambah gaji mu sebesar sepuluh persen.” Hugo tidak mau kehilangan karyawan terbaiknya. Kepergian Zavy merupakan masalah yang cukup besar. Di mana lagi dia bisa menemukan karyawan seperti Zavy? Namun, timbul pertanyaan, bagaimana bisa Zavy punya duit ribuan dollar sementara gajinya di sini terus dipotong untuk mencicil utang?

“Aku mau menyelesaikan kuliahku,” ucap Zavy, walaupun tidak terlalu jujur, tapi masuk akal. Padahal sebenarnya dia ingin mempersiapkan acara pernikahannya yang tidak lama lagi akan diselenggarakan.

Hugo menghitung duit tadi. Sejatinya, dia merupakan pebisnis keji dan tidak punya rasa kasihan. Zavy paham karakter orang semacam Hugo namun karena tidak punya kuasa, Zavy tidak punya cara untuk melawan kebrutalan Hugo selama ini. Jujur saja, Zavy sebenarnya makan hati dalam meladeni sikap Hugo selama ini. Gaji tak seberapa, lalu dipaksa mencicil utang karena kasus fitnah waktu itu, serta problem keuangan lainnya.

Ketika meninggalkan ruangan yang menyesakkan hati itu, Zavy bersumpah, ‘Jika aku sukses, aku akan membalaskan dendamku padamu, Hugo!’

***

Uang sewa rumah, aman. Biaya kuliah, aman. Dan utang, juga aman.

Akhirnya, Zavy bisa bernapas lega setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya hidup dalam kesengsaraan. Dia sulit melepaskan diri dari jeratan pahitnya kehidupan yang mencekik lehernya selama ini. Begitu semua masalah telah terselesaikan, lantas apakah Zavy bisa hidup dengan tenang dan santai?

Jawabannya, tentu tidak.

Menyamar menjadi pria kaya dan berpura-pura menjadi seorang suami dari CEO jutek merupakan problem berat. Baginya, problem yang bakal dia hadapi nanti akan jauh lebih berat dari pada sebelumnya. Analoginya, Zavy bisa keluar dari kubangan lumpur kecil, namun hanya berpindah tempat saja ke kubangan lumpur lainnya.

Sore ini dia mendapat undangan dari Vinna di acara Anniversary ke-25 Charlton Property Group. Bukan hanya hadir sebagai tamu, melainkan sebagai kekasih dan calon suami bagi Vinna. Nama Charlton tidak asing di telinga Zavy. Meskipun Keluarga Charlton belum pernah menjadi Keluarga kelas tiga, mereka cukup terkenal, ya terkenal karena bisnis mereka yang tidak pernah maju.

Namun, sebagai orang miskin yang tidak jelas asal ususlnya serta tidak punya track record dalam menghadapi orang-orang hebat, Zavy harus bisa berakting sebaik mungkin di acara nanti kalau ingin bisa menyelamatkan kehidupan Vinna agar terlepas dari cengkeraman tangan busuk Wayne Chad.

Zavy baru saja keluar dari sebuah toko, sehabis membeli tuxedo keren, setelan kebanggaan orang-orang sukses. Ketika berjalan menuju parkiran, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat dua orang sedang mengutak-atik motor bututnya. Terang saja, Zavy beringas. Tidak banyak cincong lagi, dia langsung menyikat habis dua pencuri itu dalam waktu kurang dari tiga puluh detik. Dengan gerakan serangan cepat, Zavy berhasil membuat mereka tak berkutik.

“Ampun! Ampun!”

“Jangan pukuli kami lagi!”

Dua pria itu merengek sambil menutupi wajah.

Zavy tahu kalau dua orang itu sangat miskin. Setelah menghajar mereka, dia tak tega. “Dua puluh dollar ini, bagi dua. Pergilah!”

Mereka pun lari pontang-panting.

Tak jauh dari posisi Zavy berada, tepatnya di pinggir jalan, sebuah Volkswagen hitam metalik dari tadi berhenti di sana. Seorang pria berumur sekitar lima puluhan memperhatikan Zavy dari tadi. “Apa kau orang yang selama ini aku cari? Gaya bertarungnya, dan kemurahanhatinya. Aku yakin kau adalah orangnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status