Aku keluar kamar setelah selesai bersiap untuk ke sekolah anak-anak. Sebenarnya ini terlalu awal untuk menjemput mereka. Hanya saja, berlama-lama di rumah saat ada ibunya Mas Bima bisa membuat tensi darah cepat naik. Dan ini jelas tidak sehat untuk aku yang sedang hamil.
"Masakan apa …, ini? Sayur sop kok hambar, gak ada rasanya."Suara ibunya Mas Bima menggelegar dari dapur. Sepertinya sengaja ingin mengejekku. Tidak tahu saja jika yang sedang dihina adalah masakan menantu yang tadi dibanggakannya.Kalau tadi aku malas menanggapi omongannya, maka sekarang aku semangat sekali membalasnya. Aku pun berjalan santai menuju dapur dan berhenti di ambang pintu masuk yang hanya tertutup tirai bermotif bunga."Coba Ibu tanya aja sama menantu ibu yang lain, tadi dia gimana masaknya, soalnya aku juga gak ikut nyicipin masakan dia, sih."Aku melihat wajah ibunya Mas Bima terlihat terkejut. Beliau“Kita mampir ke supermarket dulu, ya? Ibu mau belanja.”“Iya, Bu.”Aku memutuskan untuk menunda menasehati kedua putriku nanti setelah kami hanya bertiga saja dan mungkin setelah sampai di rumah. Aku selalu berusaha untuk tidak menegur anak-anak di keramaian. Takut melukai hati atau membuat mereka menjadi malu. Ini sangat penting untuk kesehatan mental anak-anak. Aku berbelanja dengan cepat. Mengambil barang yang dibutuhkan, ditambah dengan jajanan kedua putriku yang kusuruh untuk memilih sendiri. Mereka sudah hafal dengan jenis makanan dan minuman yang boleh dibeli dengan yang tidak. Aku memang membatasi jajanan tidak sehat kepada mereka, dan mengajarkannya sejak dini. Sehingga mereka menjadi terbiasa, dan tahu mana yang bisa diambil saat ikut berbelanja. “Sudah?” tanyaku saat mereka sudah memasukkan masing-masing jajanan yang dipilih. “Sudah, Bu. Terima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Sekarang kita bayar dulu belanjaannya, ya?” “Iya, Bu.” Saat berjalan menuju bagian kasir pembaya
Aku mengisi tas belanja dari kain dengan susu formula yang tadi aku beli di supermarket, juga dengan beberapa buah-buahan yang masih tersedia di kulkas. Tadinya, aku sudah menyiapkan pakaian bayi milik Andini untuk anaknya Rima. Karena mereka juga punya anak perempuan dan baru berusia sekitar sembilan bulan. Namun, mengingat aku juga sedang hamil dan belum tahu apakah nanti anak yang kukandung perempuan lagi atau tidak, pakaian bekas Andini aku urungkan untuk diberikan ke anaknya Rima. “Nanti aku bagi dua dulu aja deh. Kalau adiknya anak-anak perempuan biar gak perlu belanja pakaian lagi. Aku juga males belanja-belanja perlengkapan bayi. Ribet,” gumamku sambil meletakkan kardus yang tidak jadi kubawa. Dulu, saat anak Bianca lahir, aku memberikan semua pakaian kecil Astuti untuk anaknya. Tidak lama setelah itu, aku hamil Andini dan merasakan repotnya kembali membeli perlengkapan bayi. Bukan masalah uangny
“Mbak Raya tahu dari mana?” tanya Rima terlihat terkejut sekali.”Jadi benar, yang tadi itu kamu?” balasku masih butuh kepastian. Rima mengangguk sambil menunduk. Dia pasti sedih sekaligus malu saat mengakuinya. Aku sendiri rasanya lemas sekali mendengar pengakuan tersebut. Sedih dan tidak tega. “Ya Allah, Rima …, bukannya Mas Bima masih rutin kasih bantuan susu buat Runi, ya?“ Sejak Runi lahir prematur dan asinya Rima tidak bisa keluar, aku memang meminta Mas Bima untuk membantu mereka membelikan susu formula khusus untuk bayi prematur secara rutin. Jadi, saat melihat Rima sampai harus mencuri sekaleng susu untuk anaknya, aku menjadi sangat syok mendengarnya. “Mas Bima udah gak pernah kasih susu lagi, Mbak. Sudah 2 bulan lebih Mas Bima gak pernah datang ke rumah. Uang tabunganku sudah habis buat menyambung hidup terutama buat susunya Runi. Apalagi Mas Budi gak pernah kasih uang sama a
Mas Bima syok mendengar cercaan dariku. Aku tidak tahu dia sedang berakting atau sungguhan tidak tahu apa-apa tentang itu. Dia menyangkal dan mengatakan jika selama ini masih rutin menjatah uang susu untuk Runi. Bahkan yang sebelumnya memberikan satu kaleng susu, sejak tiga bulan terakhir katanya menganggarkan dua kaleng susu karena tahu kebutuhan asupan bayi itu pun meningkat seiring dengan usianya yang bertambah. “Kamu yakin, Mas? Aku lihat sendiri lho gimana kondisi Rima sama Runi tadi waktu aku ke sana. Mereka tinggal di kos-kosan satu petak. Runi dikasih air putih sebelum aku datang. Dan siang tadi Rima dipukuli massa karena ketahuan hendak mencuri susu di supermarket.” “Kok bisa, sih,” gumam Mas Bima belum mau mengaku. “Rima gak mungkin bohong, Mas. Kata dia, kamu udah dua bulan gak kesana.”“Aku emang gak kesana, tapi aku tetap kasih dalam bentuk uang.” “Kamu
“Pak, memangnya besok kita boleh ikut periksa kandungannya Ibu, ya?” “Boleh, Sayang. Besok kita ramai-ramai periksa kandungan Ibu.” “Yeay!” seru Astuti dan Andini. Kedua putriku sangat senang saat mendengar kabar akan diajak ke dokter kandungan. Mereka menjadi makin lahap menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing. Saat ini kami sedang sarapan bersama di hari sabtu yang cerah. Kedua putriku libur setiap Sabtu dan Minggu. Sedangkan Mas Bima justru biasa bekerja karena setiap akhir pekan, rumah makan biasanya lebih ramai. Cantika yang tidak tahu diri masih saja tidak mau keluar dari rumah kami. Padahal sejak kemarin Mas Bima terlihat masih kesal dengannya. Aku juga menjadi semangat membuatnya cemburu saat ada kesempatan. Seperti saat kemarin kami baru pulang menjemput anak-anak dari sekolah. Aku bersikap seolah masih begitu mesra bersama Mas Bima di depann
Pagi harinya, untungnya Mas Bima tidak lagi terlihat kesal denganku. Dia sudah segar bahkan terlihat habis keramas pagi-pagi. Bukan hanya Mas Bima saja, tetapi Cantika juga. Sepertinya Cantika sengaja menunjukkan rambut basahnya di depanku supaya aku berpikiran tentang hal intim antara dia dan suami kami. Aku pun berusaha cuek meskipun tetap saja membatin secara spontan. Dia gak tau fungsi hair dryer apa, ya? Hobi banget, pamer. Sakit kepala baru tahu rasa! “Pak, kita berangkat ke dokternya jam berapa, sih?” tanya Andini terlihat tidak sabar lagi. “Habis sarapan, ya? Bapak udah ambil nomor antrian buat periksa pagi ini, jadi nanti seharusnya sampai sana udah gak perlu antri lagi.” “Yeay! Gak sabar liat dede bayi di perut Ibu,” sahut Astuti ikut antusias. “Emangnya bisa dilihat, Mbak?” Andini terlihat penasaran. “Bisa, Dik. Nanti pas USG, kita bi
“Sayang, HP aku kok gak ada sinyal, ya?” tanya Mas Bima saat baru mulai menyadari sinyalnya tidak ada. Saat ini kami masih di bagian farmasi untuk menunggu obat dan vitamin yang diresepkan dokter. Aku pun pura-pura mengecek ponselku dan memperlihatkan bagian layarnya yang juga terlihat tidak ada sinyal. “Sama, Mas. Kayaknya di sini sinyalnya susah deh.” “Oh, yasudah kalau begitu. Aku kira HP aku kenapa,” balas Mas Bima tidak terlalu peduli. “Paling di luar ntar udah balik lagi sinyalnya, Mas. Bentar lagi juga udah pulang, kan?” “Iya, Sayang. Aku cuma heran aja kok tumben dari tadi HP-nya anteng banget. Ternyata sinyalnya silang.” “Kamu nunggu pesan dan telepon dari Cantika?” sindirku. Mumpung anak-anakku sedang tidak ada di sekitar kami, aku bisa menyinggung masalah Cantika di depan Mas Bima. Mas Bima pun menyangkal sindiranku.
“Anak-anak tidur semua, ya?”“Iya, Mas. Biar aku bangunkan.”“Gak usah, Sayang. Biar aku yang bawa masuk mereka aja. Aku gendong.” “Serius, Mas? Mereka udah pada gede, lho. Berat.” “Gendong kamu aja mas masih kuat, Apalagi cuma gendong mereka sih,” kata Mas Bima sambil mengerlingkan mata. Sepertinya perasaan Mas Bima sudah baikan. Dia sudah bisa mengajakku bercanda, bahkan menggodaku dengan pandangan mesum. Kau mencebikkan bibir dan Mas Bima hanya terkekeh saja. Baru kemudian dia mulai memindahkan anak-anak ke kamar mereka. Yang pertama dibawa masuk oleh Mas Bima adalah Andini. Aku masih menunggu di samping mobil sampai Mas Bima kembali untuk gantian menggendong Astuti. Baru setelahnya, aku membawa barang yang tersisa di mobil dan mengekor di belakang Mas Bima. “Kamu ngapain jalan?” tanya Mas Bima. “Hah?” aku terkejut tidak pah