"Lady Arabella menangis seharian di kamar, karena tidur sendirian di kamar Grand Duke."Setelah selesai berbisik, Emma menjauh dari telinga Kimberly. Kepalanya menoleh dan mata menatap Emma yang sudah tersenyum puas. Pasalnya Emma adalah saksi bahwa Yuksel memilih tidur di kamarnya."Dari mana kau tahu, kalau Lady Arabella menangis?"Emma langsung tersenyum. "Seluruh pelayan sekaligus para istri Grand Duke, mereka membicarakan serta mengolok-olok Lady Arabella.""Lama-lama kau jadi tukang gosip ya, Emma," celetuknya sambil tersenyum.Emma ikut tersenyum, kemudian membantu menyisir rambutnya. "Bukankah itu lebih baik ketimbang tidak tahu informasi apa pun, Lady?"Matanya menatap Emma yang masih menyisir rambutnya dari pantulan cermin di hadapannya. "Selama tidak merugikanmu boleh, tapi jika hal yang mereka bicarakan bisa membuatmu dalam bahaya maka jangan ikut-ikutan.""Apalagi sekarang yang sedang mereka gosipkan adalah Lady Arabella. Jika sampai ketahuan kalian bergosip, maka tidak a
Kimberly berdecak kesal, meski begitu ia menatap lekat. Yuksel yang makan dengan lahap, tak peduli dengan rasa dari hidangan. Namun Kimberly yakin, bahkan pengemis jalanan saja tidak akan mencicipi masakannya."Sudah jangan dimakan lagi," ujarnya membuat Yuksel benar-benar berhenti makan.Entah mengapa. Kimberly justru merasa kesal. Hidangan dimakan lahap marah, apalagi langsung berhenti saat diminta. Seolah Yuksel telah menunggu permintaannya ini.Kimberly yang memang mulai memiliki mood berbeda tiap saat, nampak cemberut. Kemudian memutuskan untuk berdiri dari duduk dan pergi ke arah jendela. Membukanya dan membiarkan angin malam menerpa, hingga rambut sedikit berkibar.Emma yang merasa sudah harus pergi mulai pamit, "saya pamit Grand Duke."Emma sempat menatap Yuksel yang memeluk tubuh Kimberly dari belakang. Setelah memastikan kedua majikan tidak bertengkar, Emma mulai benar-benar keluar dari kamar. Menutup pintunya pun amat perlahan."Jangan ditutup," pi
Arabella terus saja melangkah dengan tempo cepat. Sampai membuat pelayan mengikuti dengan sedikit kewalahan. Begitu tiba di kamar, wanita itu langsung menutup pintu dan cukup keras. Membuat sang pelayan terkaget."Lady?" sebut pelayan itu sembari mengetuk pintu."Pergi!" seru Arabella penuh tekanan.Tangan sang pelayan pun terhenti, kemudian perlahan menjauhi pintu. "Jika Lady membutuhkan sesuatu, saya ada di depan pintu.""Aku tidak ingin ditemani, kembalilah ke kamarmu!"Sang pelayan menatap cemas pada pintu yang selain ditutup, rupanya dikunci juga. Perlahan tubuh mulai berbalik dan melangkah pergi. Meski hati ingin menemani, namun jika tidak menuruti keinginan Arabella maka nyawa pelayan itu bisa saja terancam.Sementara Arabella sendiri yang semula menyender pada pintu. Perlahan terduduk ke lantai dengan wajah syok. Ketika mata memandang ke depan, cermin membingkai ekspresi Arabella yang mulai ketakutan dengan jelas."Grand Duke memiliki racun di tubuhnya? Apakah sebentar lagi di
Rosalind tersenyum mendengar ucapan Kimberly. "Hal penting apa yang ingin adikku ini bicarakan? Hingga tidak ingin melibatkan kakaknya."Kimberly menatap Rosalind yang jelas ingin ikut dalam pembicaraan. Kemudian kepalanya menoleh, pasalnya menyadari tatapan Yuksel yang cukup serius. Namun, tangan menarik pelan gaunnya. Jelas suaminya ini tak ingin pergi."Sebentar saja," ujarnya meyakinkan."Setidaknya biarkan aku menemanimu, pembicaraan apa pun itu aku akan berpura tidak mendengarnya," bujuk Yuksel.Namun, kepala Kimberly menggeleng. "Tolong."Yuksel menarik napas, kemudian menatap pada Aaron. Seolah menyuruh sang mertua untuk tidak macam-macam, melalui pandangan. Bahkan Aaron pun mengangguk, seakan dia mengerti. Yuksel mulai berdiri dari duduk setelah mengusap kepalanya. "Aku di luar ruangan, panggil jika sudah bicaranya."Kimberly menatap heran. "Tidak melanjutkan pekerjaan?""Masih ada yang ingin aku bicarakan pada Ayah mertua, soal bisnis. Bukan begitu, Ayah mertua?" "Ya benar
Di dalam kamarnya. Kimberly terlihat menanti dengan penasaran. Pasalnya Yuksel tak kunjung kembali, setelah 30 menit berbicara dengan ayahnya. Sebenarnya apa saja yang sedang mereka bicarakan. Tubuh Kimberly sampai mondar-mandir, membuat Emma berkomentar."Grand Duke sebentar lagi pasti akan kembali. Sebaiknya Lady menunggu sembari duduk saja."Kepala Kimberly langsung menggeleng. "Tidak bisa, aku baru akan duduk jika Yuksel kembali."Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Membuat pandangan Kimberly tertuju, dan ia langsung menemukan Yuksel mulai memasuki kamarnya. Terburu Kimberly mendekati suaminya."Bukannya sudah janji akan duduk setelah Grand Duke tiba," gumam Emma seorang diri."Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kimberly tak menutup rasa penasarannya."Hanya masalah bisnis, seperti yang ayahmu katakan."Mata Yuksel melirik ke atas meja. Hidangan makan siang yang belum tersentuh sedikit pun oleh tangannya. Membuat Kimberly ikut melirik ke sana dan tersenyum."Bukankah sudah janji akan ma
Yuksel yang telah selesai dengan pekerjaan. Nampak berjalan melintasi tiap lorong, hingga berbelok dan tujuan pria itu begitu jelas. Yakni kamar tidur milik Kimberly.Namun, tangan Yuksel yang hendak meraih gagang pintu. Rupanya tak jadi dilakukan. Karena pintu tiba-tiba saja dibuka oleh pelayan dari dalam. Selain gerakan yang terburu, wajah juga terlihat panik sembari membawa wadah stainless ke luar."Kimberly," sebut Yuksel ikut panik, pasalnya tahu apa yang sedang terjadi.Tepat seperti dugaan Yuksel. Kimberly terlihat muntah di atas ranjang dengan dibantu oleh Madam Ane yang memegangi wadah. Sementara Emma sibuk mengusap keringat di wajahnya serta memijat pelan belakang lehernya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Yuksel langsung mendekat dan menggantikan kesibukan Emma mengurusnya.Karena tak kunjung dapat balasan dari Kimberly yang selesai muntah, membuat Yuksel kembali bertanya, "masih ingin muntah?"Kimberly menoleh pada suaminya kemudian menggeleng dengan lemah. Yuksel menarik napa
Sinar matahari yang masih ramah, pagi itu menyinari kumpulan warga yang sedang sarapan di salah satu kedai. Seolah matahari ikut menggosip di antara mereka."Benarkah? Lady Kimberly mengandung anak pria lain?""Bukankah itu malapetaka bagi keluarga Barnes?"Seorang pria tua menyeringai. "Ada dua kemungkinan. Grand Duke impoten, atau Lady Kimberly yang gatel dan memilih selingkuh."Semua rumor itu terdengar ke telinga Pangeran kelima. Dia terlihat marah dan melempar lembaran berisi berita kehamilan Kimberly yang masih hangat, baru keluar dari mesin cetak. Sementara Yuksel menunjukkan wajah tak kalah marah."Berani sekali rakyat rendahan itu meragukan keturunanku!"Netra Yuksel terangkat. Mata menatap sang ayah yang jelas membela Kimberly karena mengandung keturunan dari Yuksel. Ada untungnya memberi tahu kehamilan lebih awal, jadi Pangeran kelima tidak ikut-ikutan menuduh Kimberly."Orang lain yang mengetahui kehamilan Kimberly, hanya dokter kerajaan, dokter yang Ayah suruh. Selain itu
"Lady Arabella?" ulang Kimberly sembari melepaskan pelukan pada suaminya.Kepala Yuksel mengangguk. "Benar sekali Sayang. Aku curiga dia melakukannya. Karena hanya dia seorang yang akan mendapat keuntungan jika sampai terjadi sesuatu padamu."Mendengar penuturan yang masuk akal itu. Membuat Kimberly diam, tentunya dengan tiada dirinya di kediaman ini. Pasti Arabella akan menguasai Yuksel. Matanya menatap Yuksel serius, dan ia tak ingin kehilangan pria ini."Ke mari," ajaknya sembari menarik Yuksel untuk berdiri dari duduk."Mau ke mana?"Yuksel semula memang heran akan dibawa pergi ke mana. Namun, bibir langsung mengulas senyum lebar. Begitu tahu kalau Kimberly berhenti di depan kain tipis dari langit-langit kamar menjuntai hingga ke lantai. Kain dari ahli sihir ini bisa digunakan untuk melindungi nyawa Kimberly."Aku ingin ciuman," pinta Kimberly tak meragu sama sekali."Tentu saja Sayang."Dengan tubuh saling berhadapan dan sama-sama mendekat. Yuksel mulai mencium bibir Kimberly. Me