Rosalind tersenyum mendengar ucapan Kimberly. "Hal penting apa yang ingin adikku ini bicarakan? Hingga tidak ingin melibatkan kakaknya."Kimberly menatap Rosalind yang jelas ingin ikut dalam pembicaraan. Kemudian kepalanya menoleh, pasalnya menyadari tatapan Yuksel yang cukup serius. Namun, tangan menarik pelan gaunnya. Jelas suaminya ini tak ingin pergi."Sebentar saja," ujarnya meyakinkan."Setidaknya biarkan aku menemanimu, pembicaraan apa pun itu aku akan berpura tidak mendengarnya," bujuk Yuksel.Namun, kepala Kimberly menggeleng. "Tolong."Yuksel menarik napas, kemudian menatap pada Aaron. Seolah menyuruh sang mertua untuk tidak macam-macam, melalui pandangan. Bahkan Aaron pun mengangguk, seakan dia mengerti. Yuksel mulai berdiri dari duduk setelah mengusap kepalanya. "Aku di luar ruangan, panggil jika sudah bicaranya."Kimberly menatap heran. "Tidak melanjutkan pekerjaan?""Masih ada yang ingin aku bicarakan pada Ayah mertua, soal bisnis. Bukan begitu, Ayah mertua?" "Ya benar
Di dalam kamarnya. Kimberly terlihat menanti dengan penasaran. Pasalnya Yuksel tak kunjung kembali, setelah 30 menit berbicara dengan ayahnya. Sebenarnya apa saja yang sedang mereka bicarakan. Tubuh Kimberly sampai mondar-mandir, membuat Emma berkomentar."Grand Duke sebentar lagi pasti akan kembali. Sebaiknya Lady menunggu sembari duduk saja."Kepala Kimberly langsung menggeleng. "Tidak bisa, aku baru akan duduk jika Yuksel kembali."Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Membuat pandangan Kimberly tertuju, dan ia langsung menemukan Yuksel mulai memasuki kamarnya. Terburu Kimberly mendekati suaminya."Bukannya sudah janji akan duduk setelah Grand Duke tiba," gumam Emma seorang diri."Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kimberly tak menutup rasa penasarannya."Hanya masalah bisnis, seperti yang ayahmu katakan."Mata Yuksel melirik ke atas meja. Hidangan makan siang yang belum tersentuh sedikit pun oleh tangannya. Membuat Kimberly ikut melirik ke sana dan tersenyum."Bukankah sudah janji akan ma
Yuksel yang telah selesai dengan pekerjaan. Nampak berjalan melintasi tiap lorong, hingga berbelok dan tujuan pria itu begitu jelas. Yakni kamar tidur milik Kimberly.Namun, tangan Yuksel yang hendak meraih gagang pintu. Rupanya tak jadi dilakukan. Karena pintu tiba-tiba saja dibuka oleh pelayan dari dalam. Selain gerakan yang terburu, wajah juga terlihat panik sembari membawa wadah stainless ke luar."Kimberly," sebut Yuksel ikut panik, pasalnya tahu apa yang sedang terjadi.Tepat seperti dugaan Yuksel. Kimberly terlihat muntah di atas ranjang dengan dibantu oleh Madam Ane yang memegangi wadah. Sementara Emma sibuk mengusap keringat di wajahnya serta memijat pelan belakang lehernya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Yuksel langsung mendekat dan menggantikan kesibukan Emma mengurusnya.Karena tak kunjung dapat balasan dari Kimberly yang selesai muntah, membuat Yuksel kembali bertanya, "masih ingin muntah?"Kimberly menoleh pada suaminya kemudian menggeleng dengan lemah. Yuksel menarik napa
Sinar matahari yang masih ramah, pagi itu menyinari kumpulan warga yang sedang sarapan di salah satu kedai. Seolah matahari ikut menggosip di antara mereka."Benarkah? Lady Kimberly mengandung anak pria lain?""Bukankah itu malapetaka bagi keluarga Barnes?"Seorang pria tua menyeringai. "Ada dua kemungkinan. Grand Duke impoten, atau Lady Kimberly yang gatel dan memilih selingkuh."Semua rumor itu terdengar ke telinga Pangeran kelima. Dia terlihat marah dan melempar lembaran berisi berita kehamilan Kimberly yang masih hangat, baru keluar dari mesin cetak. Sementara Yuksel menunjukkan wajah tak kalah marah."Berani sekali rakyat rendahan itu meragukan keturunanku!"Netra Yuksel terangkat. Mata menatap sang ayah yang jelas membela Kimberly karena mengandung keturunan dari Yuksel. Ada untungnya memberi tahu kehamilan lebih awal, jadi Pangeran kelima tidak ikut-ikutan menuduh Kimberly."Orang lain yang mengetahui kehamilan Kimberly, hanya dokter kerajaan, dokter yang Ayah suruh. Selain itu
"Lady Arabella?" ulang Kimberly sembari melepaskan pelukan pada suaminya.Kepala Yuksel mengangguk. "Benar sekali Sayang. Aku curiga dia melakukannya. Karena hanya dia seorang yang akan mendapat keuntungan jika sampai terjadi sesuatu padamu."Mendengar penuturan yang masuk akal itu. Membuat Kimberly diam, tentunya dengan tiada dirinya di kediaman ini. Pasti Arabella akan menguasai Yuksel. Matanya menatap Yuksel serius, dan ia tak ingin kehilangan pria ini."Ke mari," ajaknya sembari menarik Yuksel untuk berdiri dari duduk."Mau ke mana?"Yuksel semula memang heran akan dibawa pergi ke mana. Namun, bibir langsung mengulas senyum lebar. Begitu tahu kalau Kimberly berhenti di depan kain tipis dari langit-langit kamar menjuntai hingga ke lantai. Kain dari ahli sihir ini bisa digunakan untuk melindungi nyawa Kimberly."Aku ingin ciuman," pinta Kimberly tak meragu sama sekali."Tentu saja Sayang."Dengan tubuh saling berhadapan dan sama-sama mendekat. Yuksel mulai mencium bibir Kimberly. Me
Berlari. Itulah yang dilakukan oleh Arabella ketika dilepaskan oleh Yuksel. Wanita itu jelas terengah dan merasa lemas, namun sosok Yuksel nampak mengikuti di belakang dengan membawa pedang. Suara pedang yang digesek selama melangkah begitu menakutkan memasuki telinga Arabella."Larilah, jika berhenti aku akan membunuhmu," ancam Yuksel terdengar pelan namun menakutkan.Arabella berteriak ketakutan sembari tak berhenti berlari. Meski tubuh terluka, dia hanya ingin melapor pada Putri mahkota. Mengenai kelakuan kejam dari Yuksel.***"Istri baru Grand Duke sedang mengandung, dipastikan keturunan dari Grand Duke sendiri."Sosok yang menguping di penjara bawah tanah itu berlutut di hadapan seorang penguasa kota Lefan. Beliau seorang raja yang sangat serakah. Hingga mengepalkan tangan begitu mendengar berita itu."Jadi ... maksudmu, tahta milikku ini akan goncang karena bayi yang bahkan belum lahir itu?" Raja mencoba bertanya dengan nada tenang.Mata pria itu tetap tak terangkat. "Meski pun
Kereta Yuksel terlihat berhenti di depan istana kerajaan Lefan. Istana yang biasanya sangat sibuk, hari itu justru begitu sepi. Seolah hanya bangunan yang terbengkalai.Ditemani Aiden, sang pengawal. Yuksel berjalan semakin ke dalam hingga berada di depan pintu pertemuan. Seharusnya ada penjaga yang membuka pintu, tapi kali tersebut tidak ada siapa pun. Yuksel menyeringai."Sepertinya mereka semua ingin hidup panjang," bisik Yuksel ke arah Aiden yang menarik napas pelan."Ayolah Grand Duke, ini terakhir kali Anda mencelakai diri sendiri," sahut Aiden ikut berbisik.Yuksel tersenyum sedikit, kemudian merubah ekspresi menjadi seperti biasanya. Memunculkan aura dingin dan tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Jemari itu mulai membuka pintu istana. Takjub sekali Yuksel begitu pintu sepenuhnya terbuka. Mata mendapati puluhan penjaga di setiap sudut bangunan, para menteri berjejer rapi. Tapi, begitu kaki Yuksel mulai melangkah untuk tujuan menghadap raja. Mereka berbondong melangkah mundur d
Kaki Yuksel terus saja berjalan melewati lorong. Hingga tubuh berhenti ketika berhadapan dengan pintu ruang kerja milik Pangeran kelima. Yuksel bergeming sejenak, kemudian mulai melangkah dengan tangan membuka pintu.Tapi. Baru sedikit saja pintu terbuka, Yuksel sudah bisa melihat sosok sang ayah yang membelakangi. Pangeran kelima menghadap jendela, entah hanya membiarkan angin masuk atau mencoba mengusir kemarahan dengan melihat pemandangan."Masih tahu diri untuk pulang?"Kaki Yuksel terhenti. "Jika tidak pulang, lantas aku harus ke mana? Rumah ini sudah tidak menampung lagi?""Bukankah kau yang membuat rumah ini jadi bukan rumah lagi? Ini akan menjadi bangunan kosong," sindir Pangeran kelima membuat Yuksel tersenyum miris.Dibalik membisunya sang ayah. Rupanya hati benar-benar marah dengan keputusan Yuksel yang sepihak. Namun, Yuksel masih bersikap santai dengan duduk di sofa dan memandang punggung sang ayah."Raja mengusirku ke perbatasan."Ucapan Yuksel berhasil membuat Pangeran