Kereta Yuksel terlihat berhenti di depan istana kerajaan Lefan. Istana yang biasanya sangat sibuk, hari itu justru begitu sepi. Seolah hanya bangunan yang terbengkalai.Ditemani Aiden, sang pengawal. Yuksel berjalan semakin ke dalam hingga berada di depan pintu pertemuan. Seharusnya ada penjaga yang membuka pintu, tapi kali tersebut tidak ada siapa pun. Yuksel menyeringai."Sepertinya mereka semua ingin hidup panjang," bisik Yuksel ke arah Aiden yang menarik napas pelan."Ayolah Grand Duke, ini terakhir kali Anda mencelakai diri sendiri," sahut Aiden ikut berbisik.Yuksel tersenyum sedikit, kemudian merubah ekspresi menjadi seperti biasanya. Memunculkan aura dingin dan tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Jemari itu mulai membuka pintu istana. Takjub sekali Yuksel begitu pintu sepenuhnya terbuka. Mata mendapati puluhan penjaga di setiap sudut bangunan, para menteri berjejer rapi. Tapi, begitu kaki Yuksel mulai melangkah untuk tujuan menghadap raja. Mereka berbondong melangkah mundur d
Kaki Yuksel terus saja berjalan melewati lorong. Hingga tubuh berhenti ketika berhadapan dengan pintu ruang kerja milik Pangeran kelima. Yuksel bergeming sejenak, kemudian mulai melangkah dengan tangan membuka pintu.Tapi. Baru sedikit saja pintu terbuka, Yuksel sudah bisa melihat sosok sang ayah yang membelakangi. Pangeran kelima menghadap jendela, entah hanya membiarkan angin masuk atau mencoba mengusir kemarahan dengan melihat pemandangan."Masih tahu diri untuk pulang?"Kaki Yuksel terhenti. "Jika tidak pulang, lantas aku harus ke mana? Rumah ini sudah tidak menampung lagi?""Bukankah kau yang membuat rumah ini jadi bukan rumah lagi? Ini akan menjadi bangunan kosong," sindir Pangeran kelima membuat Yuksel tersenyum miris.Dibalik membisunya sang ayah. Rupanya hati benar-benar marah dengan keputusan Yuksel yang sepihak. Namun, Yuksel masih bersikap santai dengan duduk di sofa dan memandang punggung sang ayah."Raja mengusirku ke perbatasan."Ucapan Yuksel berhasil membuat Pangeran
"Jadi, semua pelayan bersedia ikut?" tanya Yuksel tak menjauh darinya sedikit pun."Benar Tuan."Mata Yuksel dan Kimberly saling tatap ke arah Aiden yang justru melirik dengan menantikan sesuatu. Membuat Yuksel terpaksa menjauh darinya dan menghela napas. Sementara Aiden justru sedikit tersenyum."Kau ke sini hanya untuk menyampaikan itu saja kan? Lantas kenapa masih di sini dan tidak segera pergi?" cerocos Yuksel sangat berharap Aiden pergi."Saya ke sini sekalian menjemput Tuan.""Menjemput?" ulang Yuksel dengan dahi mengerut."Benar Tuan. Ini soal ...."Mata Aiden melirik ke arahnya terlebih dahulu. Kemudian mulut membisu, seolah Kimberly tidak diizinkan untuk ikut dalam pembicaraan. Yuksel menatap padanya dan mengusap kepalanya."Lanjutkan berkemasnya, aku akan pergi bersama Aiden dulu," ujar Yuksel sembari berjalan meninggalkannya.Kimberly tak bisa menuntut suaminya untuk membuka mulut. Mungkin tak ingin membagi beban dengannya. Karena kepergian ini butuh strategi dan perencanaa
"Aku rasa sudah cukup," ujar Kimberly dengan mata menatap buah plum di keranjang yang Emma pegang."Sudah?" tanya Yuksel menyenderkan tongkat pada pohon.Kimberly tersenyum dengan kepala mengangguk antusias. "Iya."Yuksel meraih keranjang dari tangan Emma, kemudian menuntunnya untuk duduk di kursi taman. Meletakkan keranjang di atas meja. Mata Yuksel menatap pada Emma yang tetap berdiri diam di sekitar Kimberly."Emma, bisakah ambilkan pakaian tebal untuk Kimberly?" "Tidak perlu, aku juga merasa tidak kedinginan," tolaknya.Mata Yuksel menatap padanya dengan serius. Namun, kemudian memilih menunduk dan fokus pada buah di dalam keranjang. Hal itu membuat Kimberly terdiam dan memandang suaminya heran. "Ada apa Yuksel?" Kimberly sampai bertanya."Tidak Sayang. Hanya cemas kau kedinginan saja."Kimberly yakin, ada yang aneh dengan suaminya. Seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, tidak mau bilang. Matanya saling tatap dengan Emma, lantas Emma mengedikan bahu."Besok ayah akan mulai beran
Kimberly menoleh dan tersenyum. "Bicara apa? Katakan padaku."Kimberly memang sangat menunggu momen di mana Yuksel mau bicara padanya. Jujur tentang kekhawatiran yang tercipta jelas di wajah. Yuksel menggenggam tangannya erat."Ini soal diriku."Kereta mulai berjalan membuatnya merapat pada suaminya. "Katakan."Yuksel menatap dirinya. "Selama ini aku menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupku."Matanya menatap tangan yang digenggam semakin erat. Kemudian netra terangkat dan saling membingkai dengan Yuksel. Wajah suaminya terlihat sangat serius."Bicaralah dengan santai dan nyaman."Yuksel mengangguk. "Aku adalah cucu dari Raja."Kimberly mengangkat alisnya. "Ini rahasianya? Bukankah semua orang juga tahu kalau kau cucu dari Raja terdahulu.""Raja di ibukota Kairi."Kimberly yang masih belum menyadari langsung mengangguk. "Soal itu semua orang juga--"Hingga matanya terbelalak. "Apa!"Yuksel kaget dengan reaksinya yang langsung berdiri dari duduk. Bahkan sempat membentur atas kereta
Mata Aiden dan Emma saling melirik sejenak. Kemudian terjatuh pada Aaron yang masih membisu dengan pandangan tertuju ke depan. Barisan pohon yang menyejukkan udara. "Tidakkah Tuan Aaron sadar, beliau sendiri yang membuat nyonya seperti itu," bisik Emma sedikit condong ke arah Aiden.Aiden melirik Aaron yang bisa saja mendengar. Mengingat jarak di antara mereka yang hanya dipisahkan oleh meja bundar saja. Kemudian Emma berdiri tegak lagi saat ditatap oleh Aaron."Bukankah tubuhmu pendek, Emma? Masih perlu menunduk?" sindir Aaron berhasil membuat Emma membeku.Perlahan kaki mundur. "Tuan, saya akan melihat nyonya Kimberly."Mata Aaron mengiringi kepergian Emma yang melangkah dengan sangat cepat. Kemudian kembali menatap pada pepohonan. Seolah tumbuhan hijau itu terlalu menarik perhatian."Tidakkah dahan pohon itu cocok untuk bertengger?" tanya Aaron menyadari sesuatu.Aiden mengangguk kecil. "Benar Tuan. Karena hal itu tuan Yuksel sudah memasang jebakan di sana."Aaron mengangguk. "Pem
Kimberly menatap suaminya dengan pandangan memelas. "Aku tidak tahu."Aaron menyipitkan mata. "Tidak mungkin tidak tahu, kalian suami istri."Yuksel menarik napas sembari memegangi kepala. "Ayah mertua akan tahu nanti, untuk saat ini aku tidak bisa bicara.""Kenapa?""Tempat seperti ini memiliki banyak mata dan telinga."Mendengar hal tersebut, Aaron mengangguk. Meski dia terlihat sedikit penasaran, namun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Karena Yuksel sendiri terlihat tidak ingin membahas karena takut ada mata-mata.Yuksel melirik ke arahnya yang langsung menurunkan pandangan. Serta menunduk, fokus menyantap sarapan saja. Yuksel kembali menarik napas, itu bentuk antara kecewa sekaligus kesal padanya."Setelah ini, apakah kita akan langsung melanjutkan perjalanan?" tanya Aaron pada Yuksel."Benar. Tapi demi mengelabui pihak yang ingin menyerang. Aku ingin Ayah mertua datang ke perbatasan untuk menjemput ibu mertua tanpa aku dan Kimberly.""Kenapa?" tanya Kimberly kaget.Yukse
"Kenapa?" tanya Kimberly dengan heran.Baik Aaron maupun Yuksel. Mereka berdua sama-sama berdehem. Seolah yang akan terucap oleh mulut sesuatu yang tidak seharusnya keluar.Julia tersenyum. "Sudah sangat lama ibu tidak bertemu Ayahmu. Kau sudah menikah, apakah masih perlu dijelaskan?"Kimberly lantas menoleh pada suaminya yang mengangguk. Seolah memberi tanda bahwa kedua orang tua butuh waktu berduaan karena sudah lama tidak bertemu. Kimberly cemberut."Baiklah."Sementara Yuksel menatap ke arah Julia. Tidak disangka kalau Kimberly begitu mirip dengan sang ibu. Namun, watak sepertinya menurun dari Aaron. Karena Julia terlihat lemah lembut, meski begitu Yuksel tidak boleh lengah. Harus mencari cara supaya direstui.***Ketika malam harinya. Yuksel untuk kali pertama, seperti menyesal telah tidur satu kamar dengan Kimberly. Pasalnya Kimberly sejak awal memasuki kamar hingga merebahkan diri di atas ranjang, mulut tak pernah diam. Terus saja mengeluh."Kenapa sih tidak peka sekali? Aku ka