Kimberly mengangkat gelas kecil berisi teh. "Tuan Yuksel jangan bercanda.""Aku sama sekali tidak bercanda."Saat itu juga, Kimberly yang menyesap teh langsung tersedak. Tepatnya atas ucapan dari Yuksel yang dianggapnya omong kosong, rupanya sebuah keseriusan. Yuksel ingin menjadikan Kimberly sebagai Grand Duchess. Posisi yang kosong selama bertahun-tahun."Sudah seharusnya istri dari Grand Duke mendapatkan gelar Grand Duchess," ujar Yuksel masih terdengar serius."Itu berlaku hanya jika kau memiliki satu istri saja," sahutnya berusaha mengingatkan.Gelar Grand Duchess tidak bisa mudah didapatkan begitu saja. Meski Kimberly tetap memiliki darah bangsawan, tapi mendapatkan gelar itu melalui pernikahan dirasa kurang pantas. Apalagi mengingat istri Yuksel ada banyak, tentunya ada banyak anggota yang bisa menjadi nyonya rumah."Aku akan menceraikan mereka semua," ujar Yuksel.Kali ini bukan Kimberly yang tersedak, tapi Aiden. Bahkan terbatuk cukup lama karena ucapan dari Yuksel. Membuat m
Yuksel semakin berlari terburu. Apalagi ketika melihat di depan kamar Kimberly ada beberapa pelayan. Yuksel langsung membuka pintu dan terenyuh, begitu melihat Kimberly yang ternyata masih belum terbangun dari tidur. Di sudut lantai samping ranjang, terlihat Emma yang menangis tersedu. Seolah benar-benar telah kehilangan sang nyonya. Langkah kaki Yuksel sedikit tertatih, ketika menghampiri Kimberly."Istriku," sebut Yuksel dengan nada sendu.Dalam beberapa langkah yang sulit. Yuksel telah berhasil melewati Emma dan duduk di tepi ranjang. Terburu mengambil tangan Kimberly dan merasakan denyut nadi yang sangat lemah.Saat itu juga. Semua kesedihan dalam diri Yuksel perlahan lenyap. Pria itu terburu bangkit dari ranjang dan mulai mengusir Emma dengan tangan sendiri. "Tuan! Biarkan saya tetap di sisi Lady, sampai Lady dimakamkan," rengek Emma yang diseret paksa oleh Yuksel untuk keluar."Kimberly tidak meninggal, tutup mulutmu dan hapus air matamu."Emma telah berada di luar kamar. Tepa
Mata Kimberly membulat sempurna. "Hamil?"Yuksel langsung tersenyum lebar. "Iya istriku."Namun, senyum pria ini perlahan luntur begitu mendengar pertanyaan darinya. "Bagaimana bisa?"Yuksel yang semula duduk di kursi. Memutuskan untuk berpindah dan duduk di atas ranjang, di sisinya. Mata menatap Kimberly sangat serius."Kenapa bisa pertanyaan itu keluar dari mulutmu Sayang? Bukankah harusnya sudah berapa minggu?"Kimberly mengerutkan dahi. "Bukan, maksudku. Aku sejak kecil sakit-sakitan, tubuhku sudah lemah. Sejak dulu didiagnosis tidak bisa memiliki anak."Mata Kimberly saling bertatapan dengan Yuksel. "Makanya aku heran."Begitu mendengar ucapannya. Yuksel tersenyum, padahal pria itu sepertinya terlihat ingin memberi tahu. Bahwa Kimberly bisa hamil karena melakukan hal itu dengan Yuksel.Tangan Kimberly kembali digenggam, bahkan kali tersebut dikecup sangat lembut oleh Yuksel. "Itu anugerah, jadi jangan meragukan kehadiran anak kita, istriku."Bibirnya langsung tersenyum. Tentu saj
Selesai diintrogasi oleh pangeran kelima. Madam Ane terlihat keluar dari sana dan bertemu dengan Arabella yang sedang berjalan mendekat. Wanita dari kerabat kerajaan ini nampak menatap Madam Ane dengan sinis, apalagi Madam Ane yang terang-terangan mendukung Kimberly."Minggir, kau menghalangi jalan Nyonya," bahkan pelayan di bawah Madam Ane pun bersikap kurang ajar.Namun, Madam Ane terlihat tak ingin berurusan dengan Arabella. Wanita yang dinikahi tapi hanya dijadikan pajangan di kediaman utama, sama seperti wanita lainnya yang ditempatkan oleh Yuksel di kediaman kedua."Ayah."Baru saja memasuki ruang kerja pangeran kelima. Arabella langsung menyebut dengan manja dan berlari kecil. Hal itu membuat Madam Ane yang masih belum sepenuhnya pergi menyeringai."Tuan Yuksel tidak salah memilih calon nyonya, dia sangat jauh dari kata layak menjadi nyonya rumah," gumam Madam Ane sembari meninggalkan ruang kerja pangeran kelima.Begitu melihat Arabella masuk. Pangeran kelima nampak langsung me
"Kau bilang apa barusan?""Bermalam dengan Grand Duke, Lady Arabella menginginkannya," ulang Madam Ane dengan mata bisa menebak seperti apa reaksi dari sang tuan.Yuksel tersenyum miring. "Apa dia ingin jadi mayat keesokan harinya?"Madam Ane nampak cemas. "Grand Duke. Tolong jangan membahas masalah ini di luar kamar atau ruang kerja."Wajah Yuksel yang semula terlihat ramah begitu keluar dari kamar Kimberly. Namun menjadi dingin setelah mendengar laporan yang diterima dari Madam Ane. Yuksel terlihat tak peduli dan terus berjalan jauh lebih cepat."Terserah, buatkan saja jadwalnya malam ini dan sebarkan pada seluruh istri, kalau aku akan bermalam dengannya."Madam Ane menatap punggung Yuksel dengan kaget. "Grand Duke ingin melakukannya?"Yuksel melirik dengan sorot mata kesal. "Bukankah orang seperti itu harus dibiarkan menang sekali saja."Kimberly yang mendengar itu dari bisikan Emma, langsung terdiam. Malam ini langit terlihat lebih gelap karena tanpa bintang yang menemani. Sama se
"Lady Arabella menangis seharian di kamar, karena tidur sendirian di kamar Grand Duke."Setelah selesai berbisik, Emma menjauh dari telinga Kimberly. Kepalanya menoleh dan mata menatap Emma yang sudah tersenyum puas. Pasalnya Emma adalah saksi bahwa Yuksel memilih tidur di kamarnya."Dari mana kau tahu, kalau Lady Arabella menangis?"Emma langsung tersenyum. "Seluruh pelayan sekaligus para istri Grand Duke, mereka membicarakan serta mengolok-olok Lady Arabella.""Lama-lama kau jadi tukang gosip ya, Emma," celetuknya sambil tersenyum.Emma ikut tersenyum, kemudian membantu menyisir rambutnya. "Bukankah itu lebih baik ketimbang tidak tahu informasi apa pun, Lady?"Matanya menatap Emma yang masih menyisir rambutnya dari pantulan cermin di hadapannya. "Selama tidak merugikanmu boleh, tapi jika hal yang mereka bicarakan bisa membuatmu dalam bahaya maka jangan ikut-ikutan.""Apalagi sekarang yang sedang mereka gosipkan adalah Lady Arabella. Jika sampai ketahuan kalian bergosip, maka tidak a
Kimberly berdecak kesal, meski begitu ia menatap lekat. Yuksel yang makan dengan lahap, tak peduli dengan rasa dari hidangan. Namun Kimberly yakin, bahkan pengemis jalanan saja tidak akan mencicipi masakannya."Sudah jangan dimakan lagi," ujarnya membuat Yuksel benar-benar berhenti makan.Entah mengapa. Kimberly justru merasa kesal. Hidangan dimakan lahap marah, apalagi langsung berhenti saat diminta. Seolah Yuksel telah menunggu permintaannya ini.Kimberly yang memang mulai memiliki mood berbeda tiap saat, nampak cemberut. Kemudian memutuskan untuk berdiri dari duduk dan pergi ke arah jendela. Membukanya dan membiarkan angin malam menerpa, hingga rambut sedikit berkibar.Emma yang merasa sudah harus pergi mulai pamit, "saya pamit Grand Duke."Emma sempat menatap Yuksel yang memeluk tubuh Kimberly dari belakang. Setelah memastikan kedua majikan tidak bertengkar, Emma mulai benar-benar keluar dari kamar. Menutup pintunya pun amat perlahan."Jangan ditutup," pi
Arabella terus saja melangkah dengan tempo cepat. Sampai membuat pelayan mengikuti dengan sedikit kewalahan. Begitu tiba di kamar, wanita itu langsung menutup pintu dan cukup keras. Membuat sang pelayan terkaget."Lady?" sebut pelayan itu sembari mengetuk pintu."Pergi!" seru Arabella penuh tekanan.Tangan sang pelayan pun terhenti, kemudian perlahan menjauhi pintu. "Jika Lady membutuhkan sesuatu, saya ada di depan pintu.""Aku tidak ingin ditemani, kembalilah ke kamarmu!"Sang pelayan menatap cemas pada pintu yang selain ditutup, rupanya dikunci juga. Perlahan tubuh mulai berbalik dan melangkah pergi. Meski hati ingin menemani, namun jika tidak menuruti keinginan Arabella maka nyawa pelayan itu bisa saja terancam.Sementara Arabella sendiri yang semula menyender pada pintu. Perlahan terduduk ke lantai dengan wajah syok. Ketika mata memandang ke depan, cermin membingkai ekspresi Arabella yang mulai ketakutan dengan jelas."Grand Duke memiliki racun di tubuhnya? Apakah sebentar lagi di