"Kita pulang saja." Seno sudah tidak berselera makan lagi. Ia berpikir lebih baik pulang."Bagaimana dengan acara makan malam kita?" Ahmad bertanya saat Seno sudah beranjak dari kursinya."Aku sudah tidak berselera makan lagi. Ayah, Ibu dan semuanya, kami pulang." Seno langsung menarik tangan Sabrina untuk segera pergi dari tempat itu. Hatinya tak tenang dan terus bergemuruh, benci dan juga jijik membaur menjadi satu tapi ia juga tak bisa melepaskan Sabrina begitu saja.Seno tahu, itu bukan salah Sabrina dan bukan kemauan dia. Ia juga ingin menerima dan mencoba ikhlas tapi ia manusia biasa. Ia tetap tak bisa menerima begitu saja. Ia marah dengan keadaan yang kejam terhadap dirinya."Mas, sakit." Sabrina meringis karena pergelangan tangannya terasa sangat sakit. Seno mencengkram pergelangan tangannya cukup kuat. Meski sudah protes tapi Seno seakan tak peduli. Dia terus menarik Sabrina hingga masuk ke mobil. "Aku sudah bilang, kita tidak usah datang. Aku sudah bisa mengira, jika hal
Seno awalnya akan memberikan kabar pada Sabrina sambil pamit tetapi kenyataannya ia lupa karena jadwal pekerjaan hari ini sangat padat. Hingga malam menjelang, Seno masih berkutat dengan berkas-berkas pekerjaan yang harus revisi dan akan diajukan lagi besok pagi."Istirahat dulu sajq. Kamu bisa kerjakan besok pagi-pagi sekali. Kita mulai pertemuan sekitar jam sembilan." Nela yang kasihan pada Seno meminta dia untuk istirahat sejenak."Ini masih ada beberapa lagi, berkas ini akan digunakan besok pagi untuk proyek pembangunan hotel. Aku harus benar-benar mempersiapkan ini, supaya kita berhasil. Mereka meminta beberapa revisi di proposal yang kita ajukan." Seno tidak suka bekerja setengah-setengah jadi ia berusaha untuk menyelesaikannya segera, setelah itu ia baru bisa istirahat dengan tenang dan tidur nyenyak.Nela sangat terkesima dengan semangat Seno dalam bekerja. Meskipun ini bukan perusahaan milik Seno tetapi dia bekerja sangat baik seolah perusahaan ini miliknya. Seno benar-benar
Nela tersipu mendengar pujian dari Seno. Hal ini adalah hal yang wajar bagi Nela. Setiap wanita pasti akan sama seperti dirinya saat di puji lawan jenis. Senang, malu dan salah tingkah."Kamu bisa saja. Baiklah, aku pilih dress ini." Nela memilih apa yang menurut Seno bagus untuknya. Sedangkan Seno hanya mengangguk sebagai jawaban setuju."Kamu tidak ingin memilih sesuatu? Kita di sini masih lama.""Kita tidak pulang malam ini?" tanya Seno cepat. Ia pikir, hari ini mereka langsung pulang."Besok pagi kita kan masih ada meeting. Jika kita pulang, aku capek bolak-balik. Apalagi meeting besok di mulai pagi-pagi.""Ah ya, aku lupa kalau besok masih ada meeting." Seno hampir melupakan hal penting itu padahal sebelum pergi, ia masih sibuk berkutat dengan berkas."Iya, jadi kamu tidak keberatan bukan? Jika kita menginap disini?""Iya, tidak apa-apa.""Baiklah, sekarang pilih beberapa baju untukmu dan kebutuhanmu beberapa hari.""Beberapa hari?" "Iya, kita di sini beberapa hari. Rencananya a
"Apapun itu alasannya, nanti Mas akan tahu sendiri jika saatnya sudah tiba. Aku mohon, bantu aku." Sabrina memohon pada Bram supaya mau membantunya."Aku akan membantu kamu mengurusnya hari ini juga." Sejujurnya tanpa Sabrina memohon, ia akan senang hati membantunya. Ia sangat setuju jika Sabrina berpisah dengan Seno karena peluang untuk mendekatinya semakin besar."Terima kasih, Mas." Sabrina bisa sedikit lega karena satu masalahnya akan beres dan saat ini ia tengah memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tidak mungkin ia akan bertahan di kota ini lagi. Ia ingin pergi jauh dan memulai hidupnya yang baru. Untuk hutang budi pada Bram, akan ia pikirkan nanti saat perasaannya sudah membaik dan hidupnya tertata. Ia pasti akan membalas kebaikan Bram meski ia tahu Bram pasti memiliki rencana untuk mendekatinya tetapi ia tak ingin hidup bersama pria itu karena hidupnya pasti akan makin kacau meskipun dia bilang akan menjaganya. Siapa yang akan bisa menebak, apa yang akan terjadi n
Setelah menemui Bram di kantornya dan meminta tolong padanya. Sabrina langsung pergi menuju stasiun kereta, ia ingin pergi jauh ke rumah neneknya yang ada di desa.Sabrina pergi diam-diam. Bahkan ia tidak memberitahukan apa pun kepada kedua orangtuanya. Ia butuh waktu sendiri sementara waitu dan ia akan menceritakan semuanya pada kedua orangtuanya saat sudah sampai di rumah neneknya. ia akan ceritakan semuanya yang telah terjadi padanya termasuk nasib buruk yang telah ia dapatkan selama berada di rumah Seno.Memang berat meninggalkan tanah kelahirannya tetapi Sabrina harus lakukan itu. Ia ingin meraih kehidupan yang baru karena itu, ia harus meninggalkan tempat ini dan harus merelakan setiap puing-puing harapan yang hancur dan menguburnya dalam-dalam menjadi sebuah kenangan."Selamat tinggal," gumam Sabrina sembari melihat tiap sudut jalan yang ia lewati. Mungkin suatu saat nanti ia akan merindukannya. 🥀🥀🥀Seno kalang kabut mencari keberadaan Sabrina. Pasalnya, saat ia sampai di a
Ahmad bergegas ke kantor Bram setelah mendapatkan kabar dari asisten Bram kalau kedua anaknya saat ini tengah berkelahi. "Apa yang terjadi?" tanya Ahmad pada asisten Bram saat ia sudah sampai di kantor miliknya Bram."Saya tidak tahu detailnya, Pak. Tadi Pak Seno datang tergesa-gesa, mereka lumayan lama ada didalam. Saat saya mau memberikan jadwal pekerjaan hari ini, saya mengetuk pintu berkali-kali tetapi tidak ada respon. Saya minta maaf karena penasaran, saya lancang membukanya tanpa izin dan saat itu saya terkejut karena Pak Bram dan Pak Seno tengah berkelahi. Saya langsung meminta bantuan security untuk memisahkan mereka berdua," jelas asisten Bram.Ahmad mengangguk paham lalu ia masuk ke ruangan putranya yang masih di jaga para security supaya tidak berkelahi kembali."Kalian ini apa-apaan!" Ahmad berseru kesal melihat tingkah laku anak-anaknya yang menurutnya seperti anak kecil. Padahal usia mereka sudah tidak bisa disebut anak kecil lagi. Mereka sudah dewasa tapi entah masalah
Sebulan Kemudian ....Rasa kehilangan kini Seno rasakan dan rasa itu sungguh menyesakkan hatinya. Ia juga merasa menyesal saat ini dan berharap dapat bertemu dengan Sabrina lagi. Meskipun itu sulit karena orangtuanya mengancam tegas akan mencoret dirinya dari daftar keluarga sehingga ia tidak mencari keberadaan Sabrina dan terpaksa menyetujui perceraian mereka. Seno tak menyangka jika perceraian ini begitu terasa menyakitkan. Ia menyesali waktu yang sudah terlewati, andaikan ia tahu rasanya begitu menyiksa seperti ini. Ia pastikan tidak akan menyia-nyiakan Sabrina seperti yang telah ia lakukan dulu saat mereka masih bersama. Setelah Sabrina pergi, Seno juga memilih untuk mengundurkan diri dari perusahaan Nela karena ia sangat membenci Nela. Ia tak sudi bekerja pada Nela karena dia adalah penyebab utama kepergian Sabrina dan kehancuran rumah tangganya yang baru saja ia akan perbaiki.Seolah tak punya semangat lagi, Seno akhir-akhir ini lebih sering habiskan waktunya untuk melamun dan
Nela uring-uringan karena sampai saat ini Bram tidak mau lagi dengannya. Ia menyesal melakukan hal itu padahal niat awalnya hanya untuk memberikan pelajaran kepada Sabrina tapi justru kini berimbas pada dirinya. Bahkan tak jarang ia dianggap wanita murahan, banyak yang mencoba menggoda dirinya. Semua terjadi karena dengan teganya Bram menyebarkan foto dirinya dan Seno yang ia kirim ke Sabrina. Sehingga banyak yang menganggap ia wanita murahan yang bisa disewa oleh siapa saja.Keluarga besarnya juga membenci dirinya karena telah dianggap mencoreng nama baik keluarga. Foto itu juga, menjadi alasan Bram untuk memutuskan hubungan mereka yang memang sudah rusak.Menyesal? Tentu saja, Nela sangat menyesali perbuatannya yang ia anggap sangat bodoh karena tidak memperhitungkan resikonya sebelum bertindak. Saat itu ia hanya berpikir bagaimana caranya menyakiti Sabrina."Sial!" teriak Nela sambil membuang seluruh barang yang ada di meja kerjanya. Ia tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Pik