"Pergi!" Sabrina terus saja berteriak dan ingin Rafka cepat-cepat pergi dari hadapannya. Ia tidak mau melihatnya lagi."Lebih baik kamu pergi, Nak," ucap nenek Sabrina. Ia khawatir pada kondisi cucunya serta bayi yang ada pada kandungnya."Ayo kita pergi, Raf." Sonu menarik lengan Rafka untuk mengajaknya pergi karena Rafka sejak tadi hanya diam seperti orang bingung saat berhadapan dengan Sabrina. Rafka yang sejak tadi dism akhirnya mengangguk, ia mengikuti teman-temannya pergi tetapi ia masih seperti orang bingung karena terlalu terkejut melihat Sabrina ditambah lagi dia sedang hamil. Entah itu anak kakaknya atau anaknya. Setelah Rafka pergi, Sabrina langsung luruh ke lantai seolah ia tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk berdiri. Badannya terasa sangat lemas dan juga gemetar. Ia sudah pergi sejauh yang ia bisa dan ia sudah memutuskan semua hubungan dengan orang-orang yang ia kenal demi bisa bersembunyi. Namun, tadik seolah masih ingin bermain-main dengannya. Ia dipertemukan ke
Nela malam ini akan menjalankan rencananya. Ia sudah mantap ingin menjebak Bram supaya dia mau menikah dengannya. Ia tidak peduli lagi dengan resiko yang akan ia hadapi nantinya. Ia hanya berpikir dan berharap Bram bisa menjadi miliknya.Nanti malam adalah waktu yang tepat menurut Nela karena nanti malam ada pesta yang diselenggarakan oleh rekan bisnisnya dan tentu saja rekan bisnis Bram juga. Ia akan gunakan kesempatan itu untuk mendapatkan Bram dengan cara memberikan minuman yang akan ia tambahkan obat supaya aksinya berjalan lancar nantinya."Bram, kamu sebentar lagi akan menjadi milikku." Nela bermonolog sembari tersenyum memandangi bungkus obat yang ia peroleh dari orang kepercayaannya.🥀🥀🥀Seno duduk di sofa yang berada di kamarnya sambil memandangi ponselnya, ia berharap ada keajaiban tetapi kenyataannya masih sama. Ia tak juga menemukan dimana Sabrina berada saat ini. Terkadang ia ingin sekali nekad mencari Sabrina tetapi nyalinya belum cukup berani dan ia belum siap untuk
Atta geleng-geleng kepala tak percaya karena dengan diamnya Rafka, sama saja dengan Rafli mengiyakan tentang hal itu."Wah ... parah kamu, Raf."Mendadak Atta sudah tak berminat lagi untuk mencari sinyal ponsel. Ia kali ini lebih berminat untuk mengintrogasi Raflka. "Aku khilaf," balas Rafka gugup.Perbuatan Rafka itu tidak bisa disebut dengan khilaf karena ia telah mempersiapkan dan merencanakan semuanya. "Kamu pikir aku akan percaya dengan kata khilafmu itu?" Atta berkata sinis pada Rafka."Aku juga tidak peduli jika kamu tidak percaya.""Kamu boleh tidak peduli tapi kamu tidak boleh lepas dari tanggung jawab. Mbak Sabrina sekarang hamil.""Bisa saja itu anak dari Kakakku." Rafka mengelak karena ia merasa belum tentu anak itu adalah anaknya. "Bagaimana kalau ternyata itu anakmu?""Tidak, itu tidak mungkin."Rafka ingin menyangkal jika itu memang kebenarannya. Ia merasa belum siap untuk menjadi seorang ayah, lagipula Sabrina juga tak mungkin sudi bersanding dengan dirinya yang tela
Setelah Bram selesai minum, Tito mengajak Bram untuk duduk di sofa yang diperuntukkan bagi tamu undangan VIP.Tentu saja tempat itu tidak terlalu ramai karena memang hanya orang-orang tertentu yang bisa berada di tempat itu. Mereka berdua mengobrol biasa. Namun, lama kelamaan Bram merasakan kepalanya pusing dan pandangan matanya mengabur."Are you ok?" tanya Tito sembari memegang bahu Bram berpura-pura khawatir. Ia harus bersikap normal dan tidak gugup supaya Bram tidak curiga padanya. "Kepalaku sangat sakit." Bram tidak mengerti mengapa tiba-tiba kepalanya begitu sakit secara mendadak. Selama ini, ia tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. "Antar aku pulang!" Bram meminta Tito untuk mengantarkannya pulang karena ia tidak mau mengambil resiko saat dijalan nantinya. "Iya. Aku pasti akan antar kamu pulang." Tito tidak mau kehilangan kesempatan. Misinya sebentar lagi selesai dan ia akan mendapatkan imbalan dari Nela yang nominalnya lumayan banyak.Bram hanya mengangguk, ia m
Bram pikir ia berada di kamarnya ternyata ia baru sadar kalau saat ini tengah berada di kamar sebuah hotel yang lokasinya tidak jauh dari tempat diadakannya pesta semalam. Ia masih ingat jika saat itu kepalanya tiba-tiba sakit dan ia meminta tolong kepada Tito untuk mengantarnya pulang tapi kenapa ia berakhir bersama Nela?Seketika Bram tersenyum, ia merasa bodoh karena baru menyadari sekarang. "Tito," gumamnya dengan tangan mengepal kuat. "Baiklah, sahabatku telah berkhianat. Tunggu saja pembalasan yang akan aku berikan padamu."Bram tak akan pernah tinggal diam, ia pasti akan membalas semua termasuk pada Nela yang telah lancang padanya. 🥀🥀🥀Seperti biasa, saat pagi hari. Rafka beserta teman-temannya pergi ke sungai untuk sekedar cuci muka atau pun mandi karena di sana tidak ada kamar mandi. Meski ada, mereka harus mencari air dulu dari sungai lalu di tampung ke penampungan. Tak mau repot, Rafka dan teman-temannya memilih mandi sekalian di sungai daripada harus bolak-balik memba
Sejak tadi pandangan Rafka masih saja terarah pada Sabrina. Bahkan ia merasa kesal saat ada pria yang mendekati Sabrina tadi. Rasanya, ia ingin sekali menghajar pria itu saat memegang tangan Sabrina. Ia tidak tahu, perasaan aneh apa ini tapi ia benar-benar marah tanpa sebab."Heh ... Kamu kenapa?" Sonu menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Rafka yang masih fokus melihat ke arah Sabrina. "Lagi cemburu mungkin," celetuk Dean sembari tertawa.."Cemburulah. Calon ibu dari anaknya digangguin," timpal Atta yang berhasil mengalihkan perhatian teman-teman yang lain. "Maksud kamu?" tanya Dean penasaran dengan ucapan Atta, mana mungkin mantan kakak ipar Rafka adalah calon ibu dari anak-anaknya Rafka."Ah tidak ada. Aku kan hanya menimpali," kilah Atta cepat. Ia tidak mau salah bicara lagi karena takut akan menjadi masalah untuk Rafka.Sedangkan Rafka masih diam. Ia ingin mengelak jika Sabrina tengah hamil anaknya. Ia juga belum siap menjadi seorang ayah diusainya yang masih sangat muda,
Tugas sekolah di desa telah usai. Rafka bersiap untuk pulang. Ia tak ingin berlama-lama di desa. Ia harus cepat pulang dan meminta pendapat dari ayahnya mengenai Sabrina. Masalah saat ini sangat berat baginya, ia membutuhkan saran serta pendapat dari orangtuanya karena ia tidak mau salah langkah lagi."Mampir ke tempat Mbak Sabrina dulu gak?" tanya Atta."Iya, nanti kan kita lewatin rumah dia," ujar Dean ikut menanggapi ucapan Atta karena ia pikir, mereka satu arah dan kebetulan kenal."Silaturahmi itu perlu meskipun mantan ipar," timpal Sonu."Mbak Gea aja benci sama Rafka," sahut Atta yang sudah tahu alasan kebencian Sabrina tapi ia tidak mau memberitahukan pada yang lainnya. "Iya juga ya." Sonu dan Dean mengangguk serempak. Mereka lupa kalau Sabrina sekarang sangat membenci Rafka. "Lagian aku juga tidak mau mampir kok." Rafka berjalan mendahului teman-temannya. Ia tidak ada niatan untuk mampir ketempat Sabrina, lagipula Sabrina juga pasti tidak mau melihatnya. Jadi ia tidak mau
Semua menghampiri Wati saat mendengar teriakannya. Meski mereka kesal pada sikap Wati yang sering keterlaluan dan menyebalkan tapi mereka tetap khawatir pada saudara perempuan satu-satunya itu."Ada apa?" Bram mendekati Wati begitu juga dengan Seno beserta Rafka."Dia pencuri!" Wati menunjuk-nunjuk ke arah Revan."Bukan, saya bukan pencuri," sahut Revan cepat, ia menloak tuduhan itu, "saya rekan kerja Ayah kalian," sambungnya."Bohong! Kamu pencuri." Wati tetap tak percaya karena pria itu menurutnya seperti mencurigakan. "Saya berani bersumpah. Saya bukan pencuri. Saya hanya mencari dimana toilet.""Tidak usah berbohong. Toilet itu ada di bawah lalu kenapa ke atas? Ayah juga ada di bawah, bukan? Jadi jelas kamu itu pencuri!" Wati terus membantah penjelasan Revan dan terus menuduhnya sampai Revan mau mengaku.Revan menggelengkan kepalanya. "Saya bukan pencuri." Ia tidak habis pikir, mana ada pencuri seperti dirinya. Pencuri pasti akan kabur begitu melihat orang atau berusaha untuk kab