Bram pikir ia berada di kamarnya ternyata ia baru sadar kalau saat ini tengah berada di kamar sebuah hotel yang lokasinya tidak jauh dari tempat diadakannya pesta semalam. Ia masih ingat jika saat itu kepalanya tiba-tiba sakit dan ia meminta tolong kepada Tito untuk mengantarnya pulang tapi kenapa ia berakhir bersama Nela?Seketika Bram tersenyum, ia merasa bodoh karena baru menyadari sekarang. "Tito," gumamnya dengan tangan mengepal kuat. "Baiklah, sahabatku telah berkhianat. Tunggu saja pembalasan yang akan aku berikan padamu."Bram tak akan pernah tinggal diam, ia pasti akan membalas semua termasuk pada Nela yang telah lancang padanya. 🥀🥀🥀Seperti biasa, saat pagi hari. Rafka beserta teman-temannya pergi ke sungai untuk sekedar cuci muka atau pun mandi karena di sana tidak ada kamar mandi. Meski ada, mereka harus mencari air dulu dari sungai lalu di tampung ke penampungan. Tak mau repot, Rafka dan teman-temannya memilih mandi sekalian di sungai daripada harus bolak-balik memba
Sejak tadi pandangan Rafka masih saja terarah pada Sabrina. Bahkan ia merasa kesal saat ada pria yang mendekati Sabrina tadi. Rasanya, ia ingin sekali menghajar pria itu saat memegang tangan Sabrina. Ia tidak tahu, perasaan aneh apa ini tapi ia benar-benar marah tanpa sebab."Heh ... Kamu kenapa?" Sonu menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Rafka yang masih fokus melihat ke arah Sabrina. "Lagi cemburu mungkin," celetuk Dean sembari tertawa.."Cemburulah. Calon ibu dari anaknya digangguin," timpal Atta yang berhasil mengalihkan perhatian teman-teman yang lain. "Maksud kamu?" tanya Dean penasaran dengan ucapan Atta, mana mungkin mantan kakak ipar Rafka adalah calon ibu dari anak-anaknya Rafka."Ah tidak ada. Aku kan hanya menimpali," kilah Atta cepat. Ia tidak mau salah bicara lagi karena takut akan menjadi masalah untuk Rafka.Sedangkan Rafka masih diam. Ia ingin mengelak jika Sabrina tengah hamil anaknya. Ia juga belum siap menjadi seorang ayah diusainya yang masih sangat muda,
Tugas sekolah di desa telah usai. Rafka bersiap untuk pulang. Ia tak ingin berlama-lama di desa. Ia harus cepat pulang dan meminta pendapat dari ayahnya mengenai Sabrina. Masalah saat ini sangat berat baginya, ia membutuhkan saran serta pendapat dari orangtuanya karena ia tidak mau salah langkah lagi."Mampir ke tempat Mbak Sabrina dulu gak?" tanya Atta."Iya, nanti kan kita lewatin rumah dia," ujar Dean ikut menanggapi ucapan Atta karena ia pikir, mereka satu arah dan kebetulan kenal."Silaturahmi itu perlu meskipun mantan ipar," timpal Sonu."Mbak Gea aja benci sama Rafka," sahut Atta yang sudah tahu alasan kebencian Sabrina tapi ia tidak mau memberitahukan pada yang lainnya. "Iya juga ya." Sonu dan Dean mengangguk serempak. Mereka lupa kalau Sabrina sekarang sangat membenci Rafka. "Lagian aku juga tidak mau mampir kok." Rafka berjalan mendahului teman-temannya. Ia tidak ada niatan untuk mampir ketempat Sabrina, lagipula Sabrina juga pasti tidak mau melihatnya. Jadi ia tidak mau
Semua menghampiri Wati saat mendengar teriakannya. Meski mereka kesal pada sikap Wati yang sering keterlaluan dan menyebalkan tapi mereka tetap khawatir pada saudara perempuan satu-satunya itu."Ada apa?" Bram mendekati Wati begitu juga dengan Seno beserta Rafka."Dia pencuri!" Wati menunjuk-nunjuk ke arah Revan."Bukan, saya bukan pencuri," sahut Revan cepat, ia menloak tuduhan itu, "saya rekan kerja Ayah kalian," sambungnya."Bohong! Kamu pencuri." Wati tetap tak percaya karena pria itu menurutnya seperti mencurigakan. "Saya berani bersumpah. Saya bukan pencuri. Saya hanya mencari dimana toilet.""Tidak usah berbohong. Toilet itu ada di bawah lalu kenapa ke atas? Ayah juga ada di bawah, bukan? Jadi jelas kamu itu pencuri!" Wati terus membantah penjelasan Revan dan terus menuduhnya sampai Revan mau mengaku.Revan menggelengkan kepalanya. "Saya bukan pencuri." Ia tidak habis pikir, mana ada pencuri seperti dirinya. Pencuri pasti akan kabur begitu melihat orang atau berusaha untuk kab
Nela tersenyum sambil memandangi dirinya sendiri dihadapan cermin yang terpasang di kamarnya."Sebentar lagi aku akan berikan kabar gembira untuk Bram. Aku sangat yakin kalau aku akan hamil," ucap Nela sambil mengelus-elus perutnya.Padahal belum ada satu Minggu sejak kejadian itu. Nela juga belum tes kehamilan tetapi Nela seolah sangat yakin jika ia pasti akan hamil sehingga bertingkah laku seolah-olah ia hamil dengan mengelus-elus perutnya yang masih rata.🥀🥀🥀Rafka duduk di kamarnya sembari memandangi uang yang ada di tangannya. Ia merasa tak enak karena berbohong tetapi ia juga tidak punya keberanian untuk jujur meskipun ia sangat penasaran dengan anak yang di kandung Sabrina. Rafka merasa ada sesuatu yang aneh. Ada rasa bahagia tetapi ia tak tahu dari mana asalnya saat mengetahui Sabrina hamil. Lagipula ia menganggap dirinya terlalu muda untuk menjadi seorang ayah. Ia juga merasa belum sanggup untuk membiayai Sabrina dan juga anaknya kelak jika dia benar-benar hamil anaknya.
Seno tak ingin tinggal diam. Ia berlari menuju ruangan ayahnya. Ia tak mau menunda-nunda apa yang akan ia sampaikan. Ia juga tidak peduli dengan peringatan Bram. Ia hanya peduli dengan reaksi ayahnya nanti. Ia ingin Rafka di usir dari rumah. Hanya dengan itu, ia merasa sedikit puas."Mas Seno!" Rafka juga tak akan tinggal diam. Ia harus mencegah kakaknya sebelum membuat masalah."Apa yang mereka lakukan?" geram Bram karena kedua adiknya tidak mau mendengarkan dirinya. Padahal masih ada Revan di sana. Bram tak ingin keluarganya mendapatkan malu yang dapat menimbulkan efek buruk pada bisnis mereka. Ia takut Revan mencabut kerjasama mereka. "Lebih baik kita ikuti mereka," usul Revan. Ia khawatir ada keributan besar."Saya sungguh minta maaf. Kondisi seperti ini, di luar kendali saya."Bram berusaha bersikap sebaik mungkin supaya ia mendapatkan citra yang baik di hadapan rekan bisnis ayahnya karena ia ingin mendapatkan dukungan penuh saat perebutan hak waris perusahaan nantinya jika ayah
Tidak mau membuang waktu lagi. Semua menuju tempat yang Rafka sebutkan. Mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Rafka.Revan juga ikut bersama mereka karena penasaran. Lagipula ia sudah terlanjur mengetahui rahasia keluarga itu. Jadi lebih baik ikut saja."Apa masih jauh?" tanya Seno tak sabaran. Ia ingin sekali bertemu Sabrina. "Sebentar lagi," balas Rafka kesal karena Seno terus bertanya sejak tadi.Mereka semua menggunakan satu mobil supaya tidak menarik perhatian warga sekitar karena datang ramai-ramai. "Kita berhenti di sini lalu jalan kaki untuk sampai di rumah Mbak Sabrina." Rafka memerintahkan berhenti karena tempat Sabrina memang tidak bisa dilalui mobil. Mereka harus berjalan kaki untuk bisa sampai di sana.Semua mengangguk paham lalu turun dari mobil mengikuti Rafka sebagai penunjuk jalan.Bram rasanya sangat senang, akhirnya ia bisa melihat Sabrina lagi setelah sekian lama. Ia sudah menantikan momen seperti ini sejak lama dan ia berencana untuk datang sendiri nantinya
Ahmad sangat mengerti dan ia juga tak ingin memaksa Sabrina untuk mengatakan saat ini juga karena ia tak ingin Sabrina semakin tertekan."Kalau begitu Ayah permisi dulu. Dua atau tiga hari, Ayah akan kembali kemari dan Ayah harap kamu bisa memberikan jawaban secepatnya." Ahmad pamit untuk pulang. Memberikan jeda waktu adalah pilihan yang bijak menurutnya.Sabrina hanya mengangguk, ia tak yakin akan mengatakan itu karena ia khawatir anaknya akan diambil oleh mereka."Apa Ayah akan mengambil anakku?" tanya Sabrina memastikannya saat Ahmad sudah berada diambang pintu.Ahmad berhenti dan tersenyum. Ia sangat paham ketakutan Sabrina. Lagipula tidak ada seorang ibu yang rela berpisah dengan anaknya dan ia sangat paham tentang itu."Kamu tidak perlu khawatir, Nak. Anak itu tetap akan menjadi anakmu. Tidak akan ada yang bisa mengambilnya darimu."Sabrina melihat ke arah Ahmad untuk menilai ucapnya. Apakah ada kebohongan dengan kata-kata yang baru saja dia katakan tadi."Percayalah, Ayah berj