Napas Zein terlihat menggebu. Di tangannya ada beberapa file dan tab yang ia bawa dari mejanya itu.Ceklek!Zein membuka pintu ruangan dokter tanpa permisi. Hingga semua dokter yang ada di ruangan itu menoleh dan mereka langsung berdiri saat menyadari bahwa Zein lah yang datang ke ruangan mereka."Selamat sore, Prof," ucap mereka, begitu sopan.Zein tidak menjawab. Wajahnya seperti orang hendak perang. Matanya memindai seluruh ruangan itu dan langsung tertuju ke orang yang tadi ada di video.Deg!Orang itu gugup saat Zein menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Ia mengatur napas karena yakin Zein sedang emosi.Semua yang ada di ruangan itu saling melempar pandangan. Mereka bertanya-tanya apa yang membuat Zein sampai datang ke sana. Sebab, selama ini pria itu hampir tidak pernah datang ke tempat tersebut.Awalnya Zein ingin mengamuk. Bahkan menghajar dokter kepala itu. Namun ia masih berusaha menjaga wibawanya. Sehingga Zein marah dengan cara yang cukup elegant.Tap!Zein
"Sore, Dok!" sapa Intan. Ia masih menghormati dokter itu sebagai atasannya. Ia pun tidak tahu bahwa Zein sudah menemui dokter itu.Tentu saja hal itu membuat dokter kepala tersebut semakin ketar-ketir. Apalagi saat Zein melirik ke arahnya dengan tatapan sinis."Dok! Saya mau minta maaf karena sudah bersikap kurang baik pada dokter Intan. Saya tidak bermaksud seperti itu," ucap dokter itu, gugup."Lho, gak perlu minta maaf, Dok. Emang sayanya yang masih amatir. Justru saya yang harus minta maaf karena sudah membuat semuanya jadi berantakan," jawab Intan.Ucapan Intan barusan membuat dokter itu tidak enak hati."Tidak, Dok. Saya yang salah karena telah menempatkan dokter Intan di IGD. Besok saya akan atur lagi penempatannya. Dokter Intan sedang mengandung, jadi akan saya tempatkan di ruangan yang tidak terlalu sibuk," ucap dokter itu, gugup."Tidak perlu. Nanti saya sendiri yang akan memilih posisinya," ucap Zein. Setelah itu ia mengajak Intan pergi.Zein masih kesal pada orang itu. Seh
Seketika lutut dokter itu pun terasa lemas."Dokter jangan bercanda, deh! Masa iya udah nikah? Kapan nikahnya? Aku gak pernah denger, tuh," ucap dokter itu. Ia berusaha untuk tidak mempercayainya."Kapannya sih gak tau. Cuma kalau salah emang belum resepsi. Lagian semua juga udah heboh kok dari kemarin," jawab teman dokter sombong."Makanya aku juga heran kok dokter berani banget julidin istrinya Prof. Kirain udah tau," timpal yang lain."Kalain kenapa gak bilang, sih? Aku mana tau kalau dia istrinya Prof," keluh dokter sombong itu."Ya sebenernya kami bilang atau enggak, gak akan ngaruh kalau dokter gak julid. Ya, semoga aja kamu gak ngalamin kayak kepala dokter, kemarin.""Emang kenapa?" Dokter sombong itu penasaran."Kemarin kan beliau disemprot sama Prof. Kayaknya sih bakal turun jabatan. Secara istrinya udah dijahatin begitu. Sampe pingsan pula."Dokter sombong itu pun langsung pucat. Ia khawatir Intan akan mengadu pada Zein. Apalagi kemarin ia pun sempat julid pada Intan.Sement
Mereka semua langsung menoleh ke arah pintu. Kemudian melihat ada Zein melintas di sana."Waduh, gimana kalau dokter Intan ngadu?" gumam salah seorang dokter."Ya mau gimana lagi? Terima nasib, lah," timpal dokter yang lain.Akhirnya mereka semua cemas dan khawatir Zein akan memarahi mereka.Padahal Zein datang ke sana hanya untuk menjemput istrinya. Berhubung pernikahan mereka sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi, Zein pun tidak sungkan menjemput Intan untuk makan siang bersama."Sayang, hari ini kamu mau makan apa?" tanya Zein saat sudah berada di hadapan Intan.Semua yang ada di dalam ruangan tadi pun menguping. Sebab mereka taku
"Oh iya. Baik, Prof," jawab para suster. Mereka sedikit gugup karena sedang terkesima dengan sikap Zein.Zein pun langsung berlalu meninggalkan tempat itu."Ya Tuhan, di mana ya nyari suami yangkayak gitu? Perhatiannya itu, lho. So sweet banget," ucap salah seorang suster."Kalau pun ada, dia belum tentu mau sama kamu," ledek yang lain."Iih, kamu mah ngerusak mimpi orang lain aja, deh!""Hehehe, lagian Prof itu terlalu perfect. Mimpinya jangan ketinggian."Sementara itu Zein pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Padahal harusnya hari ini ia ada janji dengan asistennya di kantor ikatan dokter untuk membahas rencana peluncuran buku ba
Merea semua saling memandang kala Zein melintas dengan kondisi rambutnya yang basah itu."Basah, Guys," gumam salah seorang suster."Kok bisa, sih?""Ya bisalah. Rumah sakit punya dia, kok.""Iya, sih. Tapi apa gak takut kegap, ya?""Kalau kegap juga pasti yang masuk tanpa izin yang disalahin.""Iya juga, ya. Tapi istrinya lagi sakit gitu. Kasihan, deh.""Kasihan kenapa? Pasti istrinya seneng juga, lah. Masa ngelayanin suami sendiri dikasihanin? Emangnya dia disiksa?""Ya kan lagi sakit pasti lemas."
Seketika wajah Intan merona. Ia sangat malu ketika diingatkan akan hal yang ia sendiri sulit untuk melupakannya itu."Iih, Mas ngapain nginget yang kayak gitu, sih? Gak penting banget, deh," keluh Intan. Ia langsung memalingkan wajah karena malu.Melihat reaksi Intan, Zein pun senang. Ia berdiri dan mendekat ke arah suaminya. "Gak penting gimana? Justru itu sangat penting dan membuat aku jadi ingin segera menghalalkan kamu," bisik Zein.Tubuh Intan langsung meremang. Sontak ia menoleh ke arah Intan. "Maksudnya?" tanya Intan."Karena kamu sudah membangunkan naga yang sedang tidur. Jadi aku ingin minta pertanggung jawaban dari kamu. Tapi kan gak mungkin aku melakukannya sebelum halal," jelas Zein.
Seperti biasa, mereka berdamai ketika sudah selesai bercinta."Mas kenapa sih selalu begitu?" tanya Intan, manja. Ia sebal karena Zein selalu menyalahkannya setiap kali ada pria yang mendekatinya."Maaf ya, Sayang. Mas terlalu cinta sama kamu jadinya cemburu buta. Mas janji akan berusaha untuk lebih mengontrol emosi," jawab Zein.Sebenarnya ia pun tidak ingin seperti itu. Namun entah mengapa jika sedang cemburu dirinya selalu kehilangan kendali. Sehingga pikirannya negatif terus."Tapi tolong jangan diulangi lagi ya, Mas! Kalau gak, nanti aku kabur beneran," ancam Intan."Iya, maaf. Jangan pernah tinggalin aku, ya? Aku gak sanggup," bisik Zein sambil mendekap istrinya.